Bagikan:

JAKARTA - Air adalah hidup. Dalam pikiran dangkal, ia adalah pelepas dahaga atau pemenuh hidrasi. Dalam pikiran yang lebih dalam, air adalah pemberi kehidupan yang dijaga lewat budaya dan tradisi. Dalam pikiran yang sesat, air adalah banjir. Maka, hujan sejatinya lawan yang perlu dihalau lewat taburan garam kimia.

Di Nusantara, sejak dulu manusia hidup dan berbudaya bersama air. Di Nusa Tenggara Timur, misalnya. Dalam salah satu tradisi penyambutan tamu di Desa Doka, Maumere, Kabupaten Sikka, para penduduk setempat melibatkan air sebagai urusan sakral upacara.

Tepat sebelum tarian penyambutan Molowaru dimainkan, mereka yang dianggap tamu penting oleh masyarakat akan disambut dalam upacara penyambutan. Para tamu kemudian diminta mendatangi perwakilan masyarakat dengan seorang tetua adat yang diapit oleh dua wanita sembari membawa beberapa lembar daun dan wadah untuk air.

Daun dicelupkan oleh tetua adat ke dalam wadah air. Lalu, percikannya diarahkan kepada para tamu di dua titik, satu di kepala yang bermaksud membersihkan seluruh pikiran jahat, lainnya di bagian dada --merujuk letak hati-- yang berarti membersihkan jiwa. Bagi masyarakat Desa Doka, air adalah lambang kehidupan. Amat sakral. 

Selanjutnya, upacara dilakukan dengan mengalungkan tenun ikat khas Sikka kepada masing-masing tamu. Musik mulai dimainkan, penari mulai bergerak, dan para tamu ikut larut dalam euforia kebahagiaan ala pesta penyambutan masyarakat Doka.

Seiring lestarinya tradisi nenek moyang, penyakralan nilai terhadap air pun makin terbumikan. Masyarakat terdidik secara budaya untuk menjaga sumber daya air mereka dari kerusakan. Eksploitasi sungai, barangkali adalah hal paling tolol di kepala mereka.

Gelora yang sama turut dilakukan oleh masyarakat Mollo, atau yang dikenal dengan nama etnis Suku Dawan di Pulau Timor, NTT. Salah satu hal yang menarik dari etnis Suku Dawan adalah filosofi hidup yang mereka adaptasi secara turun-temurun dari leluhur. Filosofi itu berkaitan erat dengan kelangsungan sumber daya air.

Aktivis lingkungan Mollo Aleta Baun menjelaskan, filosofi yang diamini para anggota Suku Dawan tertuang dalam empat bagian: Oel Fani On Na’ (air adalah darah), Nasi Fani On Nafua (pepohonan adalah rambut), Afu Fani On Nesa (tanah adalah daging), dan Fatu Fani On Nuif (batu adalah tulang).

Keempat filosopi tersebut mampu membentuk pemahaman bahwa orang Mollo menghargai, menghormati, menjaga dan memperlakukan alam layaknya tubuh mereka sendiri. Alam adalah bagian yang tak terpisahkan dalam aliran darah mereka.

Di Lebak, Banten, kita mengenal Suku Baduy sebagai kelompok yang paling apik merawat air dan hutan. Keselarasan hidup mereka dengan alam menghindarkan mereka dari segala bentuk bencana. Nlai apik yang dikenal dari Suku Baduy adalah bagaimana mereka memanfaatkan sumber daya alam secara cukup, jauh dari eksploitasi.

Lestari air di Jakarta

Jakarta sempat jadi daerah yang cukup baik menjaga air. Apa pula pilihannya. Kota ini hidup di tengah aliran-aliran sungai. Kebanyakan nama wilayah juga identik dengan air. Sejarawan JJ Rizal dalam Jakarta Kota Air mengungkap:

Beberapa tempat di Jakarta misalnya banyak menggunakan nama rawa, ada rawa belong dan rawa sari. Terus banyak juga menggunakan kata kali. Dan perlu diketahui juga, peradaban pertama dan tertua orang Jakarta itu justru berada di sungai, terbukti dengan semua penemuan arkeologis yang menandakan kehidupan pertama manusia itu semua di berada aliran Ciliwung.

JJ Rizal menambahkan, konsep itu kemudian terkemas dengan ragam istilah dunia modern. Naturalisasi, normalisasi, atau kota penyerapan, misalnya. Menurut JJ Rizal, hal itu membuktikan bahwa air sejatinya adalah berkah. Hidup tanpanya adalah pilihan konyol.

“Sehingga dia harus diambil, dia harus panen, harus disimpan, apalagi Jakarta saat musim panas sangat kering, kalau musim hujan sangat basah.”

Dahulu, Ciliwung bukan sungai belaka, namun juga menjadi lajur tranportasi air yang di dalamnya dihidupi oleh tukang perahu maupun tukang getek. Tukang-tukang itulah yang menjelaskan profesi-profesi yang hidup dimasa lalu. Oleh mereka sungai itu bukan cuma ruang suci, tetapi ruang rezeki, dan semuanya yang berkaitan dengan sungai sebagai peradaban tinggi, turut digambarkan dalam sastra-sastra di betawi dulu.

Sayangnya, pikiran ini di rusak oleh Belanda yang kala itu menguasai Sunda Kelapa dengan membawa serta pikiran bahwa air sudah semestinya dibuang ke laut, atau dengan cara di kanalisasi. “Jadi kalau ada yang ngomong sistem kanal itu berhasil. Ingat, orang Belanda itu gagal, mereka gagal bikin kota Batavia, dan Batavia harus pindah dan karena kotanya menyerupai kota Amsterdam dengan banyak kanal-kanal,” ungkap Rizal.

Pindahnya pusat pemerintahan dari Kawasan Kota Tua, menuju arah selatan di abad ke 19, membuat orang Belanda belajar membangun rumah dengan konsep arsitektural tropis, dengan menyediakan ruang taman yang besar. Seperti konsep arsitektural orang betawi, yang begitu identik menjadikan rumah adalah bagian kecil dari arsitektural ruang yang dominan oleh pohon dan ruang biru.

Sayangnya, mereka yang mendiami Jakarta saat ini cenderung tak paham atau enggan belajar dari kearifan lokal dalam menjaga lingkungan seperti Masyarakat Mollo, Doka, atau Baduy. “Hal yang ada malah sekarang berbalik, rumahnya itu manfaatin sungai, sungai dianggap tong sampah raksasa, oleh karenanya kita membuat permusuhan dalam periode yang panjang," JJ Rizal.