Detik-detik Terjadinya Tragedi Bintaro 1987: Tabrakan Kereta Api Paling Mematikan di Indonesia
Tragedi Bintaro I (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Salah seorang petugas pengatur perjalanan kereta api (PPKA) di Stasiun Sudimara berlari sambil meniupkan terompetnya untuk mencegah kereta api (KA) 225 jurusan Rangkasbitung-Jakarta Kota lepas landas. Namun upaya itu sia-sia, kereta itu keburu melesat. 

Dari ujung pandangnya, Slamet, masinis KA 225 melihat ada kereta datang dari arah berlawanan yang tak lain KA 220 jurusan Tanah Abang-Rangkasbitung. Sebagian penumpang yang terkejut tanpa pikir panjang langsung melompat dari gerbong kereta. 

Masinis KA 220 berusaha mengerem namun itu sudah terlambat. Adu banteng tak dapat dihindari dan kedua rangkaian kereta itu saling bertubrukan. Saking dahsyatnya, suara tabrakan tersebut menggelegar hingga beberapa belas meter. 

Kecelakaan yang menelan 159 nyawa dan 300 korban luka-luka tersebut dikenal dengan Tragedi Bintaro I. Kejadiannya hari ini, 19 Oktober 33 tahun lalu atau pada 1987. Detik-detik terjadinya musibah yang tercatat sebagai kecelakaan kereta api terparah di Indonesia pasca merdeka tersebut dirangkum dalam Tragedi Kereta Api Bintaro (2019) yang diterbitkan Tempo. 

Penyebabnya

Bila dirunut, kejadian itu bisa ditelusuri dari sekitar pukul setengah tujuh pagi. Mulanya Kereta Api (KA) 220 jurusan Tanah Abang-Rangkasbitung sedikit terlambat saat hendak menuju Stasiun Sudimara. Kereta itu masih perlu beberapa menit lagi untuk menurunkan penumpang di Stasiun Kebayoran.

Pada pukul 6.46, PPKA Stasiun Kebayoran mengabarkan bahwa KA 220 berangkat dari Stasiun Kebayoran menuju Stasiun Sudimara. Kabar ini mengejutkan PPKA Stasiun Sudimara, pasalnya tiga lajur kereta di Stasiun tersebut semuanya terisi, yang salah satunya adalah KA 225. 

“Dalam keadaan seperti itu di stasiun Sudimara tidak mungkin dilakukan persilangan dengan KA 220 yang akan datang dari stasiun Kebayoran seperti lazimnya berlaku sesuai jadwal,” tulis laporan majalah Panji Masyarakat edisi 11-20 November 1987. 

Mengutip Historia, sebelumnya PPKA Sudimara meminta persilangan kereta dilakukan di Stasiun Kebayoran. PPKA Sudimara mengatakan rencana itu sudah disepakati oleh PPKA Kebayoran sebelum KA 220 berangkat dari Kebayoran. 

Namun yang tidak diketahui, terjadi pergantian PPKA di Stasiun Kebayoran, sedangkan di Stasiun Sudimara tetap. PPKA Kebayoran baru inilah yang tidak mengetahui rencana tersebut. Itulah biang malapetakanya.

Slamet Suradio, Jamhari, Umriyadi, dan kondektur KA 225 Adung Syafei dinyatakan bersalah atas peristiwa tersebut. Pada April 1988, mereka berempat mulai disidang. Slamet divonis lima tahun penjara, Adung Syafei dihukum 2,5 tahun penjara, Umriyadi dan Jamhari masing-masing dihukum 10 bulan penjara.

Kecelakaan tersebut memberikan pelajaran bagi pemerintah Indonesia kala itu. PJKA dan Menteri Perhubungan saat itu diketahui membawa perubahan teknologi, kualitas, dan aturan perkeretaapian Indonesia. Beberapa di antaranya adalah komputerisasi perjalanan kereta, pembuatan rel ganda, dan pelarangan naik ke atap gerbong dan lokomotif bagi penumpang. 

Perlu diketahui bahwa banyaknya jumlah korban juga salah satunya disebabkan oleh penumpang yang melebihi kapasitas kereta. Banyak penumpang yang duduk di atas dan bagian depan kereta. Selain membahayakan diri, juga mengganggu masinis yang menjalankan dan melihat persinyalan kereta.