Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah Jerman kembali memberikan kompensasi sebesar 662 juta dolar atau setara Rp9 triliun untuk membantu korban holocaust yang saat ini berjuang melawan pandemi COVID-19. Kompensasi itu akan diberikan kepada sekitar 240 ribu penyintas peristiwa kekejaman persekusi rezim Nazi di bawah Adolf Hitler.

Melansir Assosiated Press, Rabu, 14 Oktober, mereka yang akan diberi kompensasi adalah orang Yahudi yang kini tinggal di Israel, Amerika Utara, Eropa Barat, hingga negara-negara bekas Uni Soviet. Proses pencairan dana diprediksi akan memakan waktu hingga dua tahun ke depan, sesuai klaim Conference on Jewish Material Claims Against Germany.

Tuntutan kompensasi dikencangkan oleh para penyintas yang kini lansia. Selain karena usia mereka yang sudah tua, para penyintas kebanyakan mengalami masalah medis serius akibat kehidupan terdahulu di kamp-kamp konsentrasi Nazi yang minim nutrisi dan penuh siksaan.

Sisi lainnya, penyintas holocaust kebanyakan juga hidup jauh terisolasi dari masyarakat karena trauma psikologis yang diderita. Ada yang kehilangan keluarga hingga mereka yang kesulitan menjalani kehidupan karena selalu diliputi bayang-bayang penganiayaan masa lalu.

“Ada tanggapan standar semacam ini untuk para penyintas, bahwa kami telah melalui yang lebih buruk. Saya telah melalui yang lebih buruk dan jika saya selamat dari Holocaust, melalui perampasan makanan dan apa yang harus kami alami, saya akan melalui ini,” ucap Wakil Presiden Eksekutif Claims Conference, Greg Schneider.

“Tapi jika Anda menyelidiki lebih dalam, Anda memahami kedalaman trauma yang masih ada di dalam diri orang-orang,” tambahnya.

Schneider juga mengungkap realita bahwa para penyintas holocaust banyak hidup di bawah garis kemiskinan. Dan pandemi COVID-19 semakin memperparah kondisi itu. Bagi mereka, jangankan membeli masker atau alat pelindung lain, untuk makan sehari-hari saja amat sulit.

“Mereka sedang tertatih-tatih dalam membuat keputusan setiap bulan. Sebab, mereka harus memutuskan antara membeli makanan, obat-obatan, dan sewa rumah,” kata Schneider.

Rencananya, masing-masing korban akan menerima kompensasi sebanyak dua kali, masing-masing sebesar 1.400 dolar dalam dua tahun. Sedangkan total keseluruhan dana yang disiapkan oleh Jerman mencapai 662 juta dolar.

Menjamin penyintas

Selain dana untuk membantu penyintas melewati pandemi COVID-19, Jerman juga telah menyetujui menambah pendanaan layanan kesejahteraan sosial bagi para penyintas sebesar 36 juta dolar. Dengan itu, total dana yang dikeluarkan Jerman untuk layanan kesejahteraan sosial penyintas pada tahun 2021 adalah 651 juta dolar.

Akan tetapi, Kementerian Luar Negeri Jerman belum memberi komentar tentang hasil akhir negosiasi terkait bantuan. Yang jelas, dana besar untuk layanan kesehatan yang dimaksud akan digunakan untuk mendanai perawatan lebih dari 83 ribu korban holocaust, termasuk menjamin makanan, obat-obatan, transportasi ke dokter, hingga program mengurangi isolasi sosial untuk para penyintas.

Jerman, sejak 1952 telah membayar lebih dari 80 miliar dolar untuk membayar ganti rugi kepada penyintas Holocaust. Upaya itu dilakukan Jerman sebagai bentuk tanggung jawab atas dosa masa lalu kekejaman Nazi kepada orang Yahudi.

Kekejaman kamp konsentrasi

Kamp konsentrasi Auschwitz (Sumber: Commons Wikimedia) 

Salah satu penyintas holocaust yang selamat adalah Victor E. Frankl. Dalam mahakaryanya berjudul Man’s Search For Meaning (1946), Frankl menceritakan kehidupan mengerikan hidup dalam kamp Nazi Auschwitz yang terkenal kejam, penuh siksaan, dan kekurangan gizi pada era 1930-an.

“Bunuh diri hampir-hampir tak ada gunanya, karena harapan hidup sebagian besar tawanan benar-benar kecil. Seseorang tidak bisa merasa yakin dirinya masuk dalam sekelompok kecil orang-orang yang bisa lolos dari berbagai seleksi. Para tawanan di Auschwitz yang sudah melalui periode syok yang pertama tidak lagi takut terhadap kematian. Bahkan kamar gas pun setelah beberapa hari telah kehilangan kengeriannya, sebaliknya, kamar gas bisa menyelamatkan mereka dari tindakan bunuh diri,” tulis Frankl.

Tak hanya itu. Dalam tiap kerja paksa yang dilakukan di sekitar kamp, serdadu Nazi tak segan-segan mencambuk siapa saja yang tampak kurang giat bekerja. Lantaran sering mendengar jeritan tawanan yang dipukul serdadu Nazi. Frankl bahkan menganggap hal itu biasa. Pemandangan itu sama biasanya dengan melihat tawanan digiring dengan popor senapan.

“Tawanan tersebut sering mendengarkan jeritan, dan melihat salah satu rekannya sesama tawanan dipukul jatuh, berdiri kembali, dan sekali lagi terjatuh,” tambahnya.

Ada pun hukuman yang sering diberikan oleh serdadu Nazi kepada tawanan yang tak patuh ialah dengan menghukum mereka untuk berada di luar di tengah udara musim dingin bersalju sepanjang malam. Tak jarang, anggota tubuh para tawanan tampak mati rasa sehingga siksaan itu membuat mereka benar-benar ingin mengakhiri kehidupannya.

Selain hukuman, kekurangan gizi menjadi masalah lainnya yang dihadapi oleh para tawanan Nazi. Sebab, jatah makanan yang dibagikan oleh serdadu Nazi begitu terbatas dan nyaris tak ada nilai gizinya. Oleh sebab itu, banyak di antara seharian hanya memiliki makanan sehingga gairah seksual nyaris tak dirasakan hampir semua tawanan.

“Selain dampak dari rasa terkejut yang diderita tawanan di awal kehidupan kamp adalah hilangnya gairah seksual merupakan satu-satunya jawaban dari fenomena yang cenderung teramati oleh seorang psikolog di kamp konsentrasi yang seluruh penghuninya kaum pria,” tutup Frankl.