JAKARTA - "Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya." Itu adalah kutipan paling terkenal dari seorang filsuf legendaris Friedrich Nietzsche. Tapi ungkapan itu tidak bisa ditelan mentah-mentah. Ada kritik sosial yang terkandung dalam gagasan yang sering dikaitkan dengan kelahiran faham nihilisme itu.
Nietzsche lahir pada hari ini 15 Oktober medio abad 19 atau pada 1844. Ia besar di lingkungan keluarga yang religius.
Kakeknya adalah seorang penulis buku yang membela Protestanisme dan punya posisi penting di gereja. Sedangkan Ayahnya, Carl Ludwig Nietzsche, seperti dikutip Britannica diangkat menjadi pendeta di Röcken atas perintah Raja Friedrich Wilhelm IV dari Prusia.
Ayah Nietzsche meninggal pada 1849, sebelum ulang tahun Nietzsche yang kelima. Ia menghabiskan sebagian besar masa kecilnya dalam keluarga yang terdiri dari lima wanita: ibunya, Franziska, adik perempuannya, Elisabeth, nenek dari pihak ibu, dan dua bibi.
Selain keluarga, latar belakang pendidikan Nietzsche juga sarat nilai religi. Ia diterima di Schulpforta, sekolah asrama Protestan terkemuka di Jerman. Dia unggul secara akademis dan menerima pendidikan klasik yang luar biasa di sana.
Setelah lulus pada 1864, ia pergi ke Universitas Bonn untuk belajar teologi dan filologi klasik. Terlepas dari upaya untuk mengambil bagian dalam kehidupan sosial universitas, dua semester di Bonn gagal, terutama karena pertengkaran sengit antara dua profesor klasik terkemuka, Otto Jahn dan Friedrich Wilhelm Ritschl.
Pada 1865 ia dipindahkan ke Universitas Leipzig, bergabung dengan Ritschl, yang telah menerima pengangkatan di sana. Di Leipzig ini lah Nietzsche mengubah jalan hidupnya.
Ia menemukan karya Arthur Schopenhauer Die Welt als Wille und Vorstellung (Dunia sebagai Kehendak dan Representasi). Penemuan tersebut berpengaruh besar terhadap Nietzsche yaitu dari filologi ke filsafat. Saat mendalami ilmu filasafat itulah kemudian ia menelurkan ungkapan kontroversialnya. Ia menyebut bahwa Tuhan telah mati.
Arti sebenarnya
Seperti disarikan dari tulisan Yulius Aris Widiantoro yang bertajuk Nihilisme sebagai Problem Eksistensial (2009) ungkapan Nietzsche bisa dipahami sebagai penggambaran bagaimana ia memahami dunia sebagai realitas yang perlu dijalani tanpa mempersoalkan baik dan buruk sebagai standar moral yang mutlak. Menurutnya, manusia telah lama berada dalam cengkraman kekuatan supernatural atau ketuhanan yang tanpa disadari telah melucuti semua potensi vital manuia.
Manusia perlu nuansa baru, yakni nuansa yang bebas dari segala macam nilai dan nuansa yang lebih akomodatif bagi seluruh kreativitas masing-masing individu. Sejak itu, Tuhan seperti tak lagi akomodatif dan aspiratif bahkan dianggap menakutkan karena selalu mengamati perilaku manusia, sehingga ruang kebebasan manusia terpojok dan nyaris hilang padahal ekspresi kebebasan itulah yang mengidndikasikan betapa luhurnya keberadaan manusia.
Nietzsche sadar betul bahwa manusia harus melepaskan diri dari intervensi ilahi dan sejumlah nilai tertentu menuju pada tahapan atau kehidupan tanpa nilai karena justru hidup tanpa nilai itulah syarat mutlak untuk mewujudkan hidup penuh makna.
Pemikiran Nietszhe sering kali dikaitkan kelahiran pemikiran nihilisme. Pemahaman menjabatkan tentang bagaimana manusia berupaya melepaskan ketergantungan pada siapapun dan apapun kecuali pada kekuatan diri sendiri.
BACA JUGA:
Nihilisme juga yang turut memunculkan perasaan skeptis terhadap semua tatanan kosmis/Tuhan yang tidak relevan jika dilekatkan pada perkembangan zaman. Faham itu menganggap dengan adanya Tuhan, usaha manusia untuk mengembangkan diri menjadi terhalang atas nama Tuhan dan moralitas.
Hampir separuh hidup Nietzsche dihabiskan untuk menjadi akademisi. Ia menjadi profesor di Universitas Basel Swiss dan mengundurkan diri pada 1879 karena kesehatannya menurun. Nietzsche meninggal pada 25 Agustus 1900.