Bagikan:

JAKARTA - Daya tarik Bumi Nusantara itu sungguh tak ada habis-habisnya untuk dikagumi. Mulai dari keindahan alam (termasuk flora dan fauna), keragaman budaya, musik tradisi, dan orang-orang di dalamnya.

Kiranya, itulah alasan yang mampu mengundang kekaguman bagi orang-orang dari ragam suku bangsa untuk hadir, mencicipi, serta menikmati daya magis yang ditawarkan oleh Bumi Nusantara (Indonesia).

Beberapa di antara mereka ada Thomas Stamford Raffles (Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1811-1816) dalam mengenalkan khalayak kepada seluk beluk kekayaan tanah Jawa dengan kuasa mengunjungi dan mengumpulkan naskah kuno nusantara. Kemudian ada Alfreed Ruseel Wallace (Naturalis) yang mengenalkankan kita kepada kekayaan flora dan fauna di Nusantara dengan cara masuk-keluar hutan dari Kalimantan hingga Papua.

Serta ada nama Jaap Kunst yang meneliti terkait aktivitas kesenian (khususnya seni musik) yang menjadi tradisi di Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku, sampai Papua.

Khusus Jaap Kunst, dari dirinya khalayak kemudian menjadi tahu akan kekayaan musik atau tradisi bunyi-bunyian yang ada di Bumi Nusantara, sekalipun tak setenar dua nama di atas. Untuk itu, mari mengenal sosok satu ini.

Bernama lengkap Jakob Kunst, ia lahir di Groningen (Belanda) pada taggal 12 agustus 1891 lalu, dan merupakan anak tunggal dari pasangan musisi pianis. Oleh karena itu, sudah sewajarnya darah seni memang mengalir dalam darahnya.

Bahkan, sejak masih kecil ia sudah tertarik belajar biola. Sehingga, saat usianya beranjak 21 tahun, Groningen Symponie Orkest menjadi wadah berkarya Kunst selama enam bulan.

Menariknya, Saat itu Kunst muda tak hanya lihai memainkan alat musik, tapi juga mulai tertarik melakukan riset seni musik lokal, seperti lagu-lagu rakyat pulau Terschelling, serta mendaulat hasil risetnya, sebagai buku pertamanya pada tahun 1915.

Meski begitu, ia sendiri bukanlah lulusan dari sekolah musik. Terlebih pada tahun 1917, ia dinyatakan lulus dan meraih gelar sarjana Hukum dari Universitas Groningen. Itu otomatis membawanya bekerja di salah satu cabang Amsterdam Bank di Utrecht selama tiga bulan. Kemudian berlanjut selama setahun bekerja di departemen Pendidikan di kantor Walikota Amsterdam.

Karena darah musisi yang mengalir deras, kenikmatan berada di meja kerja tak begitu disukainya. Ia lebih tertarik dengan hal-hal yang berbau musik, bunyi-bunyian, dan tentu saja seni.

Nama Hindia Belanda baru terlintas olehnya saat beberapa masalah hidup mulai berdatangan satu persatu. Mulai dari pertunangan yang gagal, kekangan ikatan keluarga, serta kekecewaan terhadap kantor tempat bekerja.

Itulah sederet alasan yang kadang digunakan oleh orang-orang Belanda untuk mau memikirkan Hindia Belanda sebagai pelabuhan selanjutnya guna menyambung hidup. Betapa tidak, kalau dipikir secera normal, takkan ada orang yang mau menggadaikan kenyamanan di negeri Belanda, guna terombang-ambing sekian lama di atas kapal menuju Hindia.

Tapi tidak bagi Kunst dengan dua orang rekannya sesama musisi yakni Kitty Rolelants (penyanyi), dan Jan Wagenaar (pianis) yang memulai perjalanan ke Hindia pada tahun 1919. Tampaknya, trio musisi ini cukup menikmati Hindia Belanda. Itu terlihat karena dalam kurun waktu delapan bulan saja, mereka tak kurang tampil pada ragam pertunjukkan di klub sosial dan kalangan seni, baik di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.

Kunst boleh saja menikmati waktu demi waktunya di Hindia, karena terpikat dengan suara merdu gamelan yang didengar pertama kali saat Natal ttahun 1919 di Keraton Pakualaman, Yogyakarta. Namun tidak dengan kedua rekannya. Keduanya balik ke Belanda (pada Bulan Mei 1921).

Sehingga pada tahun yang sama (1921), berkah menetap di Hindia menjadi langkah yang tepat untuk Kunst menikah dengan Kathy Van Wely (seorang guru Prancis). Kathy adalah seseorang yang mendukung penuh Kunst dalam penelitian Etnomusikologi di Indonesia.

Selanjutnya, sepanjang tahun 1930-1932, Kunst memulai langkahnya mengelilingi Indonesia untuk meneliti sembari mendokumentasikan kegiatan-kegiatan seni mulai dari Batak, Nias, Bengkulu, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Maluku, hingga Papua.

Bersamaan dengan itu, pada tahun 1932, ia pindah ke Batavia dan mendapat pekerjaan sebagai kurator alat music di Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional), tempat ia menyimpan ribuan koleksi alat musik yang dikumpulkan selama perjalanannya, rekaman, foto-foto, film untuk dijadikan bahan riset.

Niat Mulia Jaap Kunst

Semua sejarah tentang Kunst didapat tak lain karena ada acara diskusi dan pameran bertajuk “Melacak Jejak Jaap Kunst” di Museum Nasional, yang berlangsung dari 28 November 2019 - 10 Januari 2020.

Melalui acara tersebut, para pengunjuk kemudian paham, bahwa ia memiliki niatan yang sangat mulia dalam melakukan tur keliling Nusantara karena merasa khawatir akan punahnya seni musik tradisi Nusantara takkan tersisa untuk generasi yang akan datang.

"Selama ini mempelajari dan melakukan kajian tentang musik Indonesia serta merekamnya untuk generasi di masa depan masih dimungkinkan. Namun dalam beberapa tahun, di banyak tempat mungkin kesempatan ini sudah tidak ada lagi. Bahkan sekarang, banyak wilayah di mana dahulu tumbuh subur musik asli/lokal yang kompleks telah punah," Jaap Kunst pernah berpendapat.

Hal itu menjadi bukti terkait upaya yang dilakukan olehnya sudah sedemikian terlambat. Karena ia telah menemukan fakta terkait banyak di antara musik tradisi yang sudah hilang.

Nusi Lisabila, Kurator Pameran, turut angkat bicara. “Pada tahun 1930, dia (Kunst) merasa sudah telat datang ke Nias. Karena ia melihat sudah banyak hal-hal yang hilang. Tradisi yang hilang," ujar Nuri.

Nuri menambahkan, generasi sekarang sudah selayaknya berterima kasih pada sosok Jaap Kunst karena Kunst mengumpulkan pribadi, dari uang pribadi. "Sampai-sampai, katanya ia mengurangi jatah makannya untuk bisa membeli macam-macam dan bisa pergi ke mana-mana," tutur Nuri.

Senada seperti yang diungkap oleh Nuri, Musikolog Palmer Ken yang ditemui saat pemeran di Museum Nasional mengungkap pendapatnya. “Hal yang unik dari Jaap Kunst ialah ia orang satu-satunya etmusikolog yang berani keluar dari rumah masuk ke lapangan, masuk kampung, masuk desa, untuk cari musik," ujar Palmer.

Jika dibandingkan masa sekarang, sungguh kondisi yang banyak berbeda. Karena hanya dengan mengandalkan jaringan internet kita dapat menelusuri musik-musik tradisi tanpa harus beranjak, sebagai awalan langkah survei sebelum akhirnya terjun ke lokasi.

Selain itu, berbekal waktu yang tak banyak, alat rekam cenderung unik, serta tak praktis (berat, gampang pecah, rekaman sangat terbatas). Bagi Kunst, tak begitu masalah. Ia tetap semangat menelusuri para pemusik tradisi dalam proses latihannya hingga ikut langsung dalam ritual.

Hasilnya, tepat sebelum ke Belanda (untuk cuti bersama keluarga pada 7 maret 1934), Kunst telah memindahkan koleksi arsip musikologi yang dikelolanya. Sekitar 1000 alat musik, 325 rekaman silinder lilin, 700 positif kaca dan 450 slide telah dipindahkan ke Museum Nasional.

Sayangnya, karena alasan kesehatan dan tak tersedianya anggaran penelitian ke pedalaman Nusantara kembali, rencana Kunst kembali ke Hindia tak dapat terlaksana. Oleh karenanya, ia mulai menikmati hidup kembali di tanah kelahiran sebagai kurator di departemen antropologi Budaya pada Koloniaal Instituut (Tropenmuseum) di Amsterdam, Belanda pada tahun 1936.

Beranjak pada Tahun 1942 menjadi dosen khusus (tanpa gaji) di jurusan Musikologi Komparatif di Universitas Amsterdam dengan mengajar mata kuliah sejarah dan teori musik Jawa, menjadi dosen tamu di berbagai belahan dunia (seperti Prancis, Amerika Selatan & Amerika Utara) berbicara terkait musik. Hingga akhirnya Kunst meninggal akibat kanker, tepat pada usianya yang ke-69 tahun.

Meski Kunst tak pernah kembali lagi ke Indonesia, melalui semangatnya, penelitiannya, serta lusinan buku yang dihasilkan (Music in Nias, Music in Java, dan lain-lain), akan tetapi berkat orang-orang seperti Jaap Kunst lah ragam musik-musik unik bisa dinikmati hingga hari ini.

Filsuf Nietzsche (Filsuf) pernah bilang: “Without music life would be a mistake". Dari situ kita dapat kembali membuka cakrawala berpikir, bahwa hidup sungguh indah dengan hadirnya ragam musik, tak terkecuali musik tradisi.