JAKARTA - Hari ini, 27 September 1940, negara-negara Poros, Jerman, Italia dan Jepang mempererat aliansi mereka dengan menandatangani Pakta Tripartit di Berlin. Perjanjian tersebut sejatinya merupakan upaya Nazi untuk menggalang kekuatan di kawasan Eropa Timur sebelum Perang Pasifik pecah. Tapi kenapa Jepang, negara non-Eropa bisa ikut-ikutan?
Pakta Tripartit menjamin setiap anggota aliansi wajib memberikan bantuan jika salah satu anggota aliansi diserang oleh negara manapun. Ada dua pengakuan besar dalam perjanjian tersebut: Jepang mengakui kepemimpinan Jerman dan Italia dalam pembentukan tatanan baru di Eropa, sementara Jepang diberikan kekuasaan atas Asia Timur Raya.
Mengutip Fernando R. Srivanto dalam Kolaborator Nazi (2008) menjelaskan, Pakta Tripartit merupakan usaha Nazi Jerman menggalang kekuatan Poros di kawasan Eropa Timur dan Balkan. Para penanda tangan perjanjian tersebut antara lain Slovakia, Albania, Hongaria, Bulgaria, Rumania dan Yugoslavia.
Aliansi Poros mirip dengan apa yang dilakukan seperti negara-negara Sekutu. "Namun pada praktiknya aliansi tersebut tidak lebih dari sekadar kolaborasi untuk mendukung Nazi Jerman. Singkatnya, tetap saja Nazi yang memegang kendali secara total," tulis Srivanto.
Menurut Srivanto, motif kolaborasi tersebut bukan sekadar alasan ideologis, melainkan kekuasaan. Bukan juga semata-mata politis, tapi ekonomis.
Baik individu maupun kelompok fasis yang berkolaborasi dengan Nazi Jerman menunjukkan motif yang berbeda-beda. "Akhirnya, kerja sama dengan Nazi merupakan sebuah pilihan bagi orang-orang yang mementingkan faktor-faktor praktis, seperti petualangan dan ketenaran dalam perhitungan singkat menjelang pecahnya Perang Dunia II," tertulis. Lalu apakah kepentingan praktis itu menjadi salah satu alasan untuk "manut" kepada Jerman dan ikut menandatangani Pakta Tripartit? Bisa jadi.
Pertimbangan Jepang
Mengutip laman Ensiklopedia Holocaust, para mitra utama Poros (Jerman, Jepang, dan Italia) memiliki dua kepentingan utama yang sama. Pertama yakni ekspansi wilayah dan pembentukan kerajaan melalui penaklukan militer dan perombakan tata kehidupan Internasional pasca-Perang Dunia I, dan penghancuran Komunisme Soviet.
Hal itu tercermin ketika Nazi dan Kekaisaran Jepang menandatangani Pakta Anti-Komintern pada 25 November 1936. Setahun kemudian baru Italia bergabung dengan pakta tersebut pada 6 November 1937.
Selain itu, Argumen Srivanto soal motif kepentingan praktis dalam kolaborasi dengan Nazi ada benarnya. Tampaknya hal itu pula yang membuat Jepang, mau menandatangani Pakta Tripartit.
Mengutip BBC, Jepang sebenarnya sudah ketar-ketir terhadap Jerman setelah negara tersebut menyerbu Prancis dan seluruh Eropa barat pada 1940.
Jepang khawatir Jerman akan memegang kendali juga atas Indochina dan Hinda Belanda. Padahal wilayah tersebut merupakan bagian dari jalur pasokan vital Jepang untuk sumber daya manusia dan material mereka.
Negara Sakura khawatir Nazi akan memengaruhi kepentingan mereka di Asia Tenggara. Mereka juga tidak optimis tentang niat jangka panjang Hitler.
BACA JUGA:
Oleh karena itu, Menteri Luar Negeri Matsuoka menganjurkan penguatan hubungan politik dengan negara-negara fasis. Karena itulah Jepang akhirnya menyepakati Pakta Tripartit.
Pada saat yang sama, Jepang dihadapkan pada pengepungan ABCD (Amerika, Britania Raya (Inggris), China dan Belanda) yang mengancam "pasar" Jepang dan kepentingannya di Asia. Dengan demikian, Jepang merasa perlu memperkuat posisinya mereka.