JAKARTA - Jika ada negara yang paling bersinggungan dengan bangsa Indonesia hari ini, itu adalah China. Memanasnya sengketa wilayah di Laut Natuna, Kepulauan Riau menaikkan tensi masyarakat Indonesia terhadap China kala kapal-kapal nelayan berbendera merah berbintang rutin mencuri ikan dengan pengawalan kapal penjaga pantai mereka. Parahnya, China enggan mengakui zone ekonomi eksklusif (ZEE) Natuna sebagai bagian dari wilayah Laut China Selatan.
Aksi nelayan China dan otoritas resmi pemerintahannya itu terpantau intensif sejak 19 hingga 24 Desember 2019 lalu. Padahal, Pengadilan Internasional lewat United Nations Convention of the Law of the Sea (UNCLOS) telah menetapkan "Nine Dash Line" milik China yang telah ada sejak 1947 itu tidak memiliki dasar historis yang kuat.
Didasari UNCLOS tahun 1982 itu, sikap politik luar negeri Indonesia tegas. Pemerintah menolak klaim ZEE di wilayah Laut Natuna dan Laut China Selatan. Selain itu, keputusan pengadilan arbitrase Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait klaim negara-negara di Laut China Selatan juga memperkuat keteguhan Indonesia soal teritori dan kedaulatan laut negeri.
Anggota Komisi I DPR RI Charles Honoris turut menyinggung mentahnya klaim historis China. "Klaim historis China atas ZEE Indonesia dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di Natuna tidak dikenal oleh UNCLOS dan juga pernah dimentahkan melalui putusan Permanent Court of Arbitration di tahun 2016," jelasnya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga didorong bersikap tegas agar China menghormati norma dan hukum internasional yang telah disepakati bersama bangsa-bangsa dunia. Terkait tepat atau tidaknya klaim historis yang diungkap oleh China, tentu butuh waktu yang lebih panjang untuk menyimpulkan. Namun, kami dapat memberi gambarannya secara singkat.
Memesona sejak lama
Kawasan Natuna telah sejak lama jadi kawasan 'seksi' di dunia. Sumber daya alam dan letaknya yang strategis di lintas jalur perniagaan amat mencuri perhatian. Tak terkecuali Raja Prancis Charles X. Tepat sebelum jatuh, ia mengamanatkan Cyrrille Pierre Theodore Laplace --seorang veteran Angkatan Laut Kerajaan Prancis yang matang di berbagai medan pertempuran-- untuk menjalankan sebuah ekspedisi maritim.
Kejadian itu direkam Bernard Dorleans dalam Orang Indonesia dan Orang Prancis dari Abad XVI Sampai Abad XX. “Ekspedisi maritim yang baru ini mengemban dua misi, yakni misi resmi menyangkut pemeriksaan hidrografi untuk menyempurnakan atlas Asia Tenggara dan misi yang lebih resmi, yakni misi politik ekonomi rahasia untuk menandai wilayah-wilayah strategis guna membangun jaringan basis logistik Prancis di Laut Cina Selatan,” terimbuh.
Ekspedisi dengan kapal La Favorite itu mengarungi pelayaran ke timur dengan tujuan China. Di sepanjang pelayaran, kapal bersandar transit di Manila dan Makao. Di pelayaran pulang, Theodore Laplace melanjutkan kembali pelayaran ke selatan, Laut China Selatan untuk menelusuri wilayah Indocina. “Berdasarkan instruksi dari Prancis, Laplace membawa misi untuk menemukan Pulau Natuna di sebelah barat Borneo, suatu daratan yang tidak pernah dijelajahi bangsa Eropa,” tulis Dorleans.
BACA JUGA:
Momen ketika armada Prancis benar-benar menyentuh wilayah Natuna diketahui dari catatan harian Theodore Laplace, Voyage Autour du Monde par les Mers de L’Indie et de Chine Execute sur la Corvette de l’Etat La Favorite Pendant Les Annees 1830, 1831 et 1832. Dalam catatan itu terulis:
Pada tanggal 12 (Maret 1831, red.), saat fajar, bagian dari kepulauan (Natuna) ini yang secara umum ditandai dengan Natuna Utara, muncul dalam pengamatan kami. Pulau utama dari kepulauan ini dinamakan Pulau Laut oleh penduduk setempat, dan tidak lebih dari 8 mil panjangnya dari timur laut sebagai ujung utaranya ke barat daya sebagai ujung selatannya.
Ekspedisi itu memberikan mereka kesan yang begitu mendalam. Bersandar di daratan Natuna mengenalkan mereka pada keramahan penduduk serta kecakapan orang-orang melayu dengan pengetahuan yang khas. Mengutip Natunakab.co.id, Pulau Bungaran yang jadi salah satu wilayah administrasi Natuna adalah kawasan yang paling ramai saat itu.
Daratan Bungaran adalah tempat persinggahan kapal-kapal yang hendak merapat ke Sriwijaya dari Laut China Selatan. Sejak permulaan abad ke-13 rute ini ramai digunakan. Sejumlah kegiatan dagang juga cukup berkembang di sana.
Hal itu dibuktikan dari ribuan temuan keramik China, Vietnam, Thailand dan juga Eropa serta beberapa temuan lainnya. Tak tidak heran bila banyak orang yang berdatangan ke Pulau Bunguran, termasuk pemerintah Belanda.
Maka, wajar jika negara seperti China saat ini melakukan klaim historis Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna. Namun, keputusannya jelas, hukum Internasional dalam UNCLOS 1982 dan keputusan pengadilan arbitrase PBB terkait klaim negara-negara di Laut Tiongkok Selatan yang mendaulat Indonesia sebagai pemilik ZEE di perairan Natuna.