JAKARTA - Pemerintah dan parlemen harus bersinergi memperkokoh kesatuan dan sentralitas ASEAN guna mengatasi dinamika geopolitik kawasan dan kondisi dunia yang kian mengkhawatirkan. Bila negara anggota ASEAN tidak mampu menghadirkan solusi, kredibilitas dan relevansi ASEAN akan terus dipertanyakan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tegas menyampaikan itu dalam pertemuan para pemimpin ASEAN bersama perwakilan ASEAN Inter-Parliament Assembly (AIPA) di Hotel Sokha Phnom Penh, Kamboja, Kamis (10/11).
ASEAN dituntut untuk menavigasi rivalitas kekuatan besar yang kian menajam.
“Kita tidak ingin melihat perang di kawasan, perang akan menjauhkan cita-cita kita Indo-Pasifik sebagai epicentrum of growth,” kata Presiden Jokowi dalam siaran pers.
Sengketa Laut China Selatan
Tak dapat dipungkiri, dinamika geopolitik kawasan, khususnya di Laut China Selatan memang seringkali memanas. China mengklaim kepemilikan atas teritori wilayah tersebut dengan dasar sembilan garis putus-putus (nine dash line) yang membentang sejauh 2.000 km dari daratan China melewati Taiwan hingga sejumlah negara ASEAN, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia.
Padahal, menurut Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, hukum internasional tidak mengakui itu.
Amerika Serikat selaku ‘polisi dunia’ geram dan menganggap China sudah berlebihan. Tak jarang keduanya saling pamer kekuatan militer. Bahkan, negara-negara sekutu Amerika Serikat seperti Inggris hingga Jerman, tahun lalu, sudah menempatkan kapal perang mereka di Asia Pasifik, termasuk di Laut China Selatan.
Korea Utara sebagai sekutu abadi China pun sering memprovokasi dengan unjuk kekuatan nuklirnya.
Retno sempat mengatakan sudah beberapa kali menyampaikan protes teritori laut di utara Pulau Natuna, baik langsung maupun dalam forum-forum resmi. Konvensi Hukum Laut Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) sudah menetapkan perairan Natuna sebagai Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia. Atas dasar itu, perairan di wilayah Pulau Natuna diberi nama Laut Natuna Utara pada 2017.
Retno meminta, ”Setiap negara menghargai hukum internasional yang tercantum dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang sudah ditetapkan pada 1982.”
Menurut Presiden Jokowi, tidak ada kompromi dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia. “Namun, upaya penanganan harus memprioritaskan usaha diplomatik damai.”
Begitupun Filipina. Presiden Ferdinand Marcos Jr tegas tak akan membiarkan China menginjak-injak hak maritime negaranya.
"Kami memiliki keputusan yang sangat penting yang menguntungkan kami dan kami menggunakannya untuk terus menegaskan hak teritorial kami. Ini bukan klaim. Ini sudah menjadi hak teritorial kami," ucap Marcos dilansir dari AFP.
Perdana Menteri Malaysia, Ismail Sabri Yaakob juga akan terus menempuh jalur diplomasi. China harus mematuhi ketentuan hukum yang berlaku. Laut China Selatan harus tetap menjadi daerah bebas untuk perdagangan. Kebebasan navigasi perlu dihormati oleh semua pihak di sana.
"Kita juga sedang meminta Code of Conduct ini dipercepat supaya tidak timbul isu terkait," ujar dia dilansir dari Antara, Agustus lalu.
Jalur Diplomasi
Sebelumnya, Penasihat Hukum untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik Departemen Luar Negeri AS, Robert Harris menyarankan kepada Indonesia untuk menjajaki secara intensif penyelesaian damai terkait sengketa Laut China Selatan melalui ASEAN.
Menurut Robert, sejak 2019, China mengklaim sepihak penguasaan zona maritim Laut China Selatan dan sudah 11 negara termasuk AS yang menolak hal tersebut.
Sebab, klaim atas wilayah Laut China Selatan yang luas serta apa yang disebut China sebagai ‘perairan internal’ dan ‘kepulauan terluar’, seluruhnya tidak sesuai dengan hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982.
Keputusan majelis arbitrase internasional pada 12 Juli 2016 juga telah memutuskan bahwa RRC harus menghentikan kegiatan yang melanggar hukum dan memaksa di Laut China Selatan.
“Oleh karena itu pihaknya mendorong negara-negara yang telah menolak serta berhubungan langsung dengan zona maritim tersebut seperti Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Filipina agar menjajaki penyelesaiannya dalam forum-forum yang dinaungi ASEAN,” tuturnya.
Seperti diberitakan Ani News, China dan ASEAN sebenarnya telah menyepakati Declaration of Conduct (DoC) di Laut China Selatan pada 2002. Namun setelah dua dekade berlalu, belum ada kesepakatan mengenai Kode Etik atau Code of Conduct (CoC) yang menjadi pedoman untuk menjaga hak dan kepentingan semua pihak di Laut China Selatan.
Keketuaan Indonesia
Dalam pertemuan para pemimpin ASEAN bersama perwakilan AIPA, Presiden Jokowi juga menyampaikan keinginan Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023 untuk berkontribusi membangun ASEAN yang lebih kuat, yang mampu menghadapi tantangan masa depan yang makin kompleks.
Mampu melindungi kawasan dari guncangan eksternal dan mampu mempertahankan independensi ASEAN di tengah rivalitas kekuatan besar.
“Saya harapkan dukungan parlemen negara ASEAN terhadap keketuaan Indonesia. Bersama kita buktikan kepada rakyat kita dan dunia, ASEAN tetap relevan,” ungkap Presiden Jokowi.
Jokowi telah menyelesaikan sejumlah rangkaian pertemuan hari pertama Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Phnom Penh, Kamboja. Termasuk melakukan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Singapura dan Presiden Asian Development Bank.
“Total pertemuan dan kegiatan yang akan dihadiri oleh Presiden lebih dari 20, ditambah empat pertemuan bilateral, yaitu dengan Perdana Menteri Singapura, Presiden Dewan Eropa, Sekjen PBB, dan Presiden Asian Development Bank,” ujar Retno dalam keterangannya di Phnom Penh pada 9 November 2022.
KTT ASEAN ke-40 dan ke-41 pada 10-13 November 2022 akan dilakukan dalam bentuk plenary dan retreat. Pada sesi pleno, KTT akan membahas mengenai penguatan kapasitas institusi dan efektivitas ASEAN.
“Sementara untuk retreat, terdapat dua isu besar yang akan dibahas, yaitu hubungan ASEAN dengan pihak luar, tentunya termasuk tantangan eksternal yang dihadapi oleh ASEAN dan masalah Myanmar,” Retno menandaskan.