Bagikan:

JAKARTA – Para pendiri bangsa Indonesia, termasuk Ir Soekarno atau yang akrab disebut Bung Karno tentu bukanlah orang sembarangan. Banyak bukti berserakan yang memaparkan kehebatan, kecerdasan, dan ketulusan mereka dalam berjuang bagi bangsa dan negara, serta keteguhannya dalam prinsip.

Prof. Dr. Subroto dalam bukunya ‘Indonesia di Tanganmu’ saja terkagum-kagum dengan kedahsyatan naskah redaksi dalam pembukaan UUD 1945 yang menjadi warisan mereka.

Lihat paragraf pertama, ‘Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa’, merupakan bukti para pendiri bangsa adalah mereka yang berpikiran merdeka di tengah gejala penjajahan dalam berbagai bentuk pada masa itu.

Lalu paragram keempat, ‘…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…’.

Pembukaan UUD 1945 seperti mercusuar yang dengan jelas memberi arah dan hendak menjadi seperti apa bangsa Indonesia ke depannya. Ini bukan sekadar kata-kata yang indah tapi miskin makna, tetapi sarat akan maksud dan tujuan.

“Silakan elaborasi dan gali lebih lanjut setiap kata dan setiap paragraf dari isi Pembukaan UUD 1945 milik kita, termasuk bagian terakhirnya yang berisi butir-butir Pancasila yang adalah dasar negara Indonesia,” kata Subroto.

Poster Hari Pahlawan 2022. (Istimewa)

Namun, dalam perjalanannya, dinamika politik Indonesia pada fase pascakemerdekaan mencerai-beraikan para pendiri bangsa. Bung Karno pun yang kala itu dinobatkan sebagai Presiden RI terkena imbas. Tragedi berdarah pada 30 September 1965 menjadi titik balik perjuangan Bung Karno.

Tuduhan keterlibatannya dalam tragedi tersebut mengemuka dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Ini tertuang dalam TAP MPRS RI Nomor XXXIII/MPRS/1967.

“Bahwa berdasarkan laporan tertulis Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 dalam suratnya No R-032/67 tanggal 1 Pebruari 1967, yang dilengkapi dengan pidato laporannya dihadapan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat, Sementara berpendapat, bahwa ada petunjuk-petunjuk, yang Presiden Sukarno telah melakukan kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan G-30-S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G30-S/PKI,” bunyi TAP MPRS tersebut dalam Menimbang poin c.

MPRS akhirnya memutuskan mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno.

“Melarang Presiden Sukarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya Ketetapan ini menarik kembali mandat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dari Presiden Sukarno serta segala Kekuasaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945,” seperti yang tertera pada Bab I Pasal 3 TAP MPRS tersebut.

Gelar Pahlawan Nasional

Sejarah membuktikan, pemikiran Bung Karno dalam konsep nasionalis bernegara tak lekang termakan zaman. Sudah semestinya, rakyat Indonesia menghormati dan menghargai perjuangannya.

Pada 1986, Presiden Soeharto lewat Keputusan Presiden Nomor 86/TK/1986 menganugerahkan gelar pahlawan proklamator untuk Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. 

Sebagai penegas, Majelis Permusyawaratan Rakyat, pada 2003, kemudian menerbitkan Ketetapan MPR Nomor 1/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.

Seperti yang tertulis dalam Pasal 6, ketetapan itu menyatakan TAP MPRS RI Nomor XXXIII/MPRS/1967 tidak berlaku lagi. “Tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.”

Atas dasar itulah, pada 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi gelar pahlawan nasional untuk Bung Karno. Ini mengakhiri perdebatan apakah pahlawan proklamator sekaligus pahlawan nasional.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat memberikan gelar pahlawan nasional kepada Bung Karno dan Bung Hatta di Istana Negara, Jakarta pada 7 November 2012. (Antara/Widodo S. Jusuf)

Puan Maharani selaku cucu Bung Karno berharap, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soekarno menghentikan gerakan desoekarnoisasi. ”Kita tempatkan Bung Karno pada posisi yang sepantasnya sebagai salah satu founding father negara bangsa Indonesia.”

“Bung Karno adalah yang mengingatkan kita semua bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya,” ucap Puan kala itu.

Dalam keterangannya terkait Hari Pahlawan tahun 2022 di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin, 7 November 2022, Presiden Joko Widodo pun menegaskan Bung Karno tidak pernah mengkhianati bangsa dan telah memenuhi syarat penganugerahan gelar kepahlawanan.

“Ini merupakan bukti pengakuan dan penghormatan negara atas kesetiaan dan jasa-jasa Bung Karno terhadap bangsa dan negara, baik sebagai pejuang dan proklamator kemerdekaan, maupun sebagai Kepala Negara di saat bangsa Indonesia sedang berjuang membangun persatuan dan kedaulatan negara,” ucap Jokowi dalam keterangan resminya.

Namanya Mendunia

Bung Karno, kata Emha Ainun Nadjib, hanyalah satu penggalan kecil dari sejarah panjang peradaban Nusantara. Namun, ia adalah tonggak terbesar eksistensi Indonesia. Bung Karno adalah monumen besar kehormatan dan jiwa agung bangsa Indonesia.

Bagaimana bangsa Indonesia memaknai sejarahnya bahwa mereka pernah memiliki, mengagumi dan mencintai orang besar seperti Bung Karno? Seberapa besar kesungguh-sungguhan mereka untuk benar-benar mendengarkan dan belajar kepada beliau?

“Apakah bangsa Indonesia punya kesetiaan untuk menjalankan aspirasi-aspirasi kebangsaan beliau? Juga punya keteguhan dan disiplin untuk mempertahankan pemikiran beliau dalam menjalankan Pemerintahan dan pembangunannya?” ucap Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dalam tulisannya Pengkhianatan Terhadap Bung Karno.

Tak hanya di dalam negeri, sepak terjang Bung Karno di kancah internasional pun telah diakui negara-negara dunia. Sesuai kalimat yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945, ‘…ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan…’

Pengamat Politik dari Universitas Muhammadiyah Malang, Hutri Agustino menganggap Bung Karno sebagai seorang visioner.

Bung Karno memberikan cendera mata keris kepada Fidel Castro saat berkunjung ke Havana, Kuba pada 1960. (Life)

“Saat dunia terbelah dengan pemikiran liberal dan kapitalis yang diusung negara-negara blok barat dan komunis sosialis yang diusung negara-negara blok timur, Bung Karno justru tampil sebagai salah satu pelopor menciptakan gerakan Non-Blok,” kata Hutri kepada VOI beberapa waktu lalu.

Dengan mengusung konsep politik luar negeri bebas aktif, bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri secara apriori pada satu kekuatan dunia serta secara aktif, Bung Karno telah menjadikan Indonesia yang kala itu baru merdeka sebagai negara yang disegani.

Karismanya telah mendunia. Sejumlah negara bahkan mengabadikan namanya sebagai simbol penghargaan. Di Mesir, Bung Karno diabadikan sebagai nama jalan di daerah Agouza, Giza. Juga di Maroko, Jalan Rue Soekarno di Rabat.

Di Pakistan, sebagai nama tempat Soekarno Square Khyber Bazar di Pheswar dan Soekarno Bazar di Lahore. Di Rusia, sebagai nama Masjid di Kota Saint Petersburg.  Sedangkan Kuba, mengabadikan nama Bung Karno sebagai gambar perangko resmi saat hari ulang tahun ke-80 Fidel Castro.

Selamat Hari Pahlawan. Pahlawanku, teladanku.