Keberhasilan Indonesia Sebagai Ketua G20 Diharapkan Ditularkan ke ASEAN
Menlu Retno Marsudi menyambut Sekjen ASEAN, T.M. Kao Kim Hourn dalam ASEAN ACC Meeting di Sekretariat ASEAN, Jakarta 3 Februari 2023. (Kemenlu RI)

Bagikan:

JAKARTA - Mulai 9 sampai 11 Mei 2023, para pemimpin Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) akan kembali duduk bersama membahas apa yang bisa mereka lakukan untuk memberi perlakuan terhadap masalah-masalah yang dihadapi ASEAN saat ini dan nanti. Pertemuan itu akan berlangsung di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.

Ada ekspektasi tinggi kepada Indonesia yang menjadi Ketua ASEAN tahun ini, terutama karena sukses menggelar pertemuan G20, tahun silam.

Setelah 11 tahun tanpa Indonesia duduk di kursi keketuaan, ASEAN, kini diketuai lagi oleh Indonesia, tatkala tantangan-tantangan zaman semakin pelik.

Tantangan-tantangan itu, mulai soal Myanmar, pemulihan pascapandemi COVID-19, sampai kondisi geopolitik yang menyeret kekuatan-kekuatan besar bertabrakan, hingga jauh di Asia Tenggara.

Kendati dihadapkan kepada kendala-kendala besar dalam mengefektifkan keketuaannya dalam G20, terutama perang Ukraina-Rusia dan perekonomian global pascapandemi COVID1-19 yang disergap inflasi dan krisis rantai pasokan, Indonesia sukses mengetuai kelompok 19 negara plus Uni Eropa itu.

Keberhasilan itu, salah satunya dilihat dari kesepakatan G20 membentuk Dana Pandemi senilai 1,4 miliar dolar AS untuk negara-negara miskin guna mengantisipasi ancaman kesehatan global pada masa mendatang.

Presiden Jokowi saat meluncurkan Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023, di Bundaran HI Jakarta pada 29 Januari 2023. (Biro Setpres RI)

ASEAN berharap Indonesia menduplikasi keberhasilan mengetuai G20 itu, dalam lingkup kawasan.

Indonesia juga dianggap tak akan melangkah seperti Kamboja setahun lalu yang tak terlalu efektif memimpin ASEAN dalam menyelesaikan masalah-masalah kawasan, mulai dari soal tatanan ekonomi pascapandemi, persaingan pengaruh antara Amerika Serikat dan China, sengketa teritorial di Laut China Selatan, hingga perubahan iklim yang makin membutuhkan upaya bersama dalam semua tingkat, termasuk level ASEAN.

Untuk soal Myanmar, ASEAN terlihat "jalan di tempat" dalam mengatasi masalah politik dan kemanusiaan di sana setelah pada 2021 junta mengudeta pemerintahan hasil pemilu demokratis.

Di Laut China Selatan, ASEAN juga tak begitu berhasil merumuskan sikap bersama, terutama setelah Kamboja menolak memasukkan istilah "sengketa" dalam resolusi konflik di area ini.

Pemerintahan Perdana Menteri Hun Sen juga tak efektif mendorong perbaikan situasi di Myanmar.

Dia malah mengajak junta menghadiri forum-forum ASEAN justru ketika junta Myanmar tak beritikad baik mewujudkan Konsensus Lima Poin yang sudah disepakati ASEAN.

Kelima poin itu adalah penghentian kekerasan, dialog semua pemangku kepentingan, menunjuk utusan khusus untuk memfasilitasi dialog, mengizinkan ASEAN memberikan bantuan kemanusiaan, dan pemberian akses kepada utusan ASEAN untuk bertemu semua pihak di Myanmar.

Kerangka Sikap Bersama

Indonesia adalah satu dari sejumlah anggota ASEAN yang menolak prakarsa Hun Sen itu. Ketegasan seperti ini mesti dilanjutkan, apalagi situasi di Myanmar semakin ruwet.

Meskipun demikian, ASEAN juga perlu meyakinkan negara-negara yang terlihat menginginkan status quo di Myanmar, seperti China, India, dan Thailand.

Negara-negara yang berbatasan dengan Myanmar itu terlihat tak menginginkan perubahan besar di Myanmar, termasuk mengembalikan pemerintahan yang terpilih lewat pemilu demokratis, tiga tahun lalu.

Belum lagi Rusia yang menjadi mitra penting junta Myanmar dan berusaha hadir di kawasan-kawasan di mana pun di mana Amerika Serikat dan Barat memproyeksikan pengaruhnya.

Solusi Myanmar memang tak bisa diatasi sendirian oleh Indonesia dan ASEAN, serta sebaliknya membutuhkan konsultasi dengan negara-negara yang berkepentingan di Myanmar.

Namun demikian, ASEAN harus meyakinkan junta dan pihak-pihak yang mendukungnya bahwa junta tak bisa terus mencegah ASEAN membantu menyelesaikan masalah Myanmar.

Ini karena perubahan positif di Myanmar tak saja hal yang niscaya demi perdamaian di negara itu dan kawasan, tapi juga bakal membantu menciptakan suasana positif di ASEAN yang membuat persoalan-persoalan kawasan yang lebih berat lainnya bisa disikapi dalam kerangka bersama yang lebih kuat dan lebih efektif.

Masalah kemanusiaan di Myanmar adalah salah satu pekerjaan rumah besar ASEAN yang belum mampu diselesaikan. (The New York Times)

Seperti dituliskan Antara, di antara persoalan-persoalan berat itu adalah dinamika geopolitik yang semakin panas oleh tabrakan kepentingan antara kekuatan-kekuatan besar, seperti Amerika Serikat, China, Rusia, dan India. Bahkan Uni Eropa, Australia, Jepang, dan Korea Selatan.

Tumbukan kepentingan itu merambah ke mana-mana, dari masalah keamanan sampai ekonomi di mana Asia Tenggara tak bisa lari dari pengaruh eksternal ASEAN.

Itu termasuk Kerangka Kerja Ekonomi Indo Pasifik(IPEF) yang melibatkan banyak negara di Asia timur, tapi mengecualikan China dan Rusia, dan Dialog Keamanan Empat Pihak atau Quad antara Australia, India, Jepang, dan Amerika Serikat.

Masih ada AUKUS, yang merupakan pakta keamanan trilateral antara Australia, Inggris, dan Amerika Serikat yang diumumkan 15 September dua tahun lalu.

Akan halnya China dan Rusia, kedua negara ini juga aktif bermanuver, yang salah satunya lewat latihan militer gabungan. Ini pun bukan tanpa sebab.

Masalah Taiwan, ancaman nuklir Korea Utara, sengketa wilayah antara Jepang dan China di sebuah kepulauan sebelah selatan Jepang, dan upaya Jepang mendapatkan kembali wilayah bagian utaranya yang diduduki Rusia beberapa bulan sebelum Perang Dunia Kedua berakhir, adalah di antara penyebabnya.

Agar Tak Jalan di Tempat

Persoalan-persoalan itu memang jauh terjadi di luar teritori ASEAN, tapi dampaknya sudah pasti mencapai Asia Tenggara.

Sejumlah negara ASEAN sendiri berkonflik sengit dengan China di Laut China Selatan, terutama Filipina dan Vietnam. Ini situasi-situasi yang mesti dihadapi dan diredakan ASEAN.

Lain hal, situasi-situasi seperti itu acap membuat anggota-anggota ASEAN berbeda pendapat, sehingga kemudian menempuh langkah sendiri-sendiri di luar kerangka ASEAN.

Mereka menganggap ASEAN tidak cukup tegas dalam bersikap, termasuk dalam soal wilayah-wilayah yang disengketakan di Laut China Selatan.

Sikap yang tidak padu ini sendiri menguntungkan kekuatan-kekuatan besar yang berebut pengaruh di Asia Tenggara.

Dalam konteks ini, melangkah dalam visi bersama yang kuat menjadi kebutuhan mendesak.

Bukan saja demi keutuhan dan integritas ASEAN, tetapi juga demi menjadikan organisasi kawasan ini sebagai platform yang menjadi mekanisme regional utama bagi negara-negara Asia Tenggara.

Brimob Polda NTT melakukan simulasi pengoperasian kendaraan taktis saat Apel Gelar Pasukan Operasi Komodo Turangga 2023 untuk pengamanan pelaksanaan KTT ASEAN 2023 di Labuan Bajo, NTT. (Antara/Kornelis Kaha)

Indonesia sendiri, selama mengetuai ASEAN tahun ini, berpegang kepada tema “ASEAN Matters: Epicentrum of Growth” yang memuat tiga elemen penting, yang meliputi upaya memperkuat kapasitas dan efektivitas ASEAN, persatuan ASEAN, dan sentralitas ASEAN.

Akan lebih baik jika semua itu didahului upaya mengatasi masalah-masalah mendesak kawasan saat ini, termasuk mengembalikan demokrasi dan tatanan inklusif di Myanmar, dan formulasi langkah bersama di Laut China Selatan.

Ini bisa menjadi salah satu jawaban untuk pertanyaan mengenai relevansi ASEAN, selain bisa menjadi menjadi titik baru dalam menjadikan anggota-anggota ASEAN terikat dalam mekanisme kawasan.

Persoalan merasa terikat menjadi mendesak karena terlalu banyak masalah kawasan yang terlihat "jalan di tempat", termasuk isu Myanmar dan gesekan-gesekan di Laut China Selatan yang kian keras.

Untuk itu, ASEAN ada baiknya memikirkan cara mengimbuhkan perasaan terikat pada semua anggota, jika bukan unsur pemaksa, dalam setiap konsensus, walau tak perlu seperti berlaku di Uni Eropa.