Bagikan:

JAKARTA – Pemprov DKI Jakarta berencana menghentikan proyek pembangunan Intermediate Treatment Facility (ITF) dan menggantinya dengan membangun fasilitas pengelolaan sampah Refused Derived Fuel (RDF) plant di Rorotan, Jakarta Utara.

Sebab, proyek ITF tak kunjung terlaksana hingga saat ini. Jadi, kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Asep Kuswanto, proses yang sudah berjalan harus ditunda bahkan dibatalkan.

“Sudah saatnya Pemprov DKI mengambil langkah lain dengan memprioritaskan pembangunan RDF plant,” ucap Asep kepada awak media pada 27 April 2023.

Pembangunan ITF sudah digagas sejak era Gubernur Fauzi Bowo sebagai upaya mengatasi permasalahan sampah Ibu Kota yang jumlahnya mencapai 6.200 ton per hari ketika itu. Melalui ITF, sampah akan diolah terlebih dahulu sehingga volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir Bantargebang bisa jauh berkurang.

ITF merupakan fasilitas pengolahan sampah dengan konsep waste to energy yang didukung dengan teknologi ramah lingkungan. Dengan berbasis teknologi, sampah juga dapat memiliki nilai tambah, mampu menghasilkan energi listrik untuk masyarakat.

Sesuai dengan masterplan pengelolaan sampah Provinsi DKI Jakarta tahun 2012-2032, ITF akan dibangun di 4 lokasi, yakni di Sunter, Cakung, Marunda, dan Duri Kosambi. Namun, dalam prosesnya proyek tersebut mangkrak kabarnya karena sistem pelelangan yang tidak jelas hingga anggaran yang hilang di APBD.

Proyek pembangunan ITF Sunter mangkrak. (Antara/Livia Kristianti)

Presiden Jokowi pada 2016 kemudian menerbitkan Perpres 18 tentang Perencanaan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di tujuh kota di Indonesia termasuk Jakarta. Seiring itu, Pemprov DKI melalui Pergub 5 Tahun 2016 pun sudah menunjuk PT Jakarta Propertindo (JakPro) sebagai pelaksana pembangunan proyek ITF.

Namun, realitasnya belum ada satu pun proyek ITF yang terealisasi hingga saat ini. PT Jakarta Solusi Lestari (JSL), anak usaha dari PT JakPro yang ditunjuk menjalankan proyek, menurut Asep, tak juga menemukan mitra yang sesuai.

“Prosesnya terlalu lama. Saya mendampingi untuk ITF Sunter saja dari tahun 2016, sampai sekarang belum ada apa-apanya,” kata Asep.

Sehingga, memprioritaskan RDF plant merupakan solusi terbaik. Selain biayanya lebih rendah dan pembangunannya tidak memakan waktu lama, proyek ini nantinya juga dapat berjalan mandiri.

Sebab, hasil dari pengolahan sampah melalui RDF plant bisa menjadi bahan bakar industri, setara dengan batu bara muda.

“Contohnya RDF plant yang sudah soft launching di Bantargebang. Kami bekerjasama dengan beberapa perusahaan. Hasil dari pengolahan sampah itu akan dibeli oleh PT Indocement dan Semen Indonesia,” kata Asep.

RDF di Bantargebang diklaim mampu mengolah sampah hingga 2.000 ton. Ke depannya, bahkan tidak hanya pabrik semen. Kalau operasionalnya semakin baik dan produksi semakin meningkat, menurut Asep, “Perusahaan listrik tenaga uap juga kemungkinan berminat kerjasama.”

Adapun pembangunan RDF di Rorotan masih dalam proses penjajakan bersama Biro Kerjasama Daerah (KSD). Rencananya, pembangunan fasilitas tersebut akan memanfaatkan lahan seluas 6 hektare milik Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta yang posisinya jauh dari pemukiman warga.

“Semoga, konstruksinya bisa berjalan tahun depan,” imbuh Asep.

Cocok untuk Produksi Semen

RDF plant adalah teknologi turunan dari penambangan sampah. Prosesnya terdiri dari 4 tahapan utama, yakni proses pemecahan, pengeringan, pemisahan, dan proses pemadatan.   

Proses pemecahan sampah dilakukan dengan mereduksi ukuran sampah. Menurut Dumbaugh dalam United States Patent ukuran RDF sekitar 6 inci dan dapat direduksi lagi sampai ukuran 2 inci.

Setelah itu, proses berlanjut ke pengeringan dengan mengalirkan gas bertekanan tinggi untuk menghilangkan kadar air dan menghilangkan bau busuk sampah.

Kemudian ke proses pemisahan komponen dengan mereduksi kembali sampah yang telah dikeringkan agar tak tercampur kandungan besi dan alumunium. Dalam proses ini, sampah juga dicampur cairan khusus yang dapat membunuh mikroorganisme pembusuk.

Terakhir, proses pemadatan menggunakan mesin. Padatan RDF yang dihasilkan dapat berupa pellet atau briket dengan densitas tinggi, memiliki tingkat kekuatan yang baik, lebih stabil, homogen dan tahan lama. Estimasinya, 750 ton sampah dapat menghasilkan 120-192 ton bahan bakar RDF.

Pembangunan fasilitas pengolahan sampah Landfill Mining dan RDF Plant di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi. (Antara/Fakhri Hermansyah)

RDF yang mengandung plastik dan kertas, menurut pengamat masalah sampah dan lingkungan Enri Damanhuri, memang cocok untuk bahan bakar produksi semen karena memiliki nilai kalor tinggi.

Nilai kalor plastik, kata Enri seperti dikutip dari Majalah Tempo, bisa mencapai 10 ribu kilo kalor per kilogram (kkal/kg), sementara kertas setara dengan batu bara sebesar 6.000 kkal/kg. Sedangkan sampah rumah tangga seperti sisa makanan dan kayu memiliki nilai kalor yang sama dengan batu bara kalor rendah, 4.400 kkal/kg.

Selain itu, pembakaran RDF di pabrik semen beroperasi pada temperatur di atas 1.500 derajat Celsius sehingga dioksin tidak terbentuk. Memang pembakaran RDF di pabrik semen akan menghasilkan 15-20 persen residu berupa abu, tetapi ini justru menguntungkan karena abu menjadi bagian dari produk semen yang akan dihasilkan.

“Kalau untuk PLTU masih tahap uji coba karena PT PLN lebih selektif terhadap RDF yang mengandung plastik. Mungkin saja ada peralatan yang terganggu, terutama dalam hal ketahanan bila menggunakan RDF mengandung plastik,” ucapnya pada 24 Februari lalu.

Berkaca dari Jerman

Tak dapat dipungkiri, sampah merupakan permasalahan serius yang dihadapi seluruh negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), volume timbulan sampah di Indonesia pada 2022 mencapai 19,45 juta ton.

Bila tidak teratasi dengan baik, timbulan sampah dapat berakibat buruk bagi lingkungan, mencemari tanah, air, dan udara. Sehingga metode pengolahan sampah tak lagi cukup hanya dengan membuang, meratakan, dan memadatkannya. Butuh metode lain yang lebih berwawasan lingkungan dan dapat menghasilkan manfaat lebih.

Sejumlah negara seperti Jerman terbilang berhasil mengatasi permasalahan tersebut. Selama dua dekade, pemerintah Jerman terus berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai nilai tambah sampah sebagai sumber bahan baku dan energi yang bermanfaat.

Berbagai aturan dibuat, termasuk memperbaharui Undang-Undang Manajemen Siklus Tertutup. Dalam aturan ini, pemerintah juga memberikan tanggung jawab pengolahan sampah kepada produsen dan distributor produk.

Pengelolaan sampah di Jerman sudah menerapkan pemilahan sampah secara benar. (DW/picture-alliance/dpa/J.Wolf)

Hasilnya terbilang efektif. Terjadi peningkatan kesadaran memilah sampah, penggunaan teknologi terbarukan, dan kapasitas untuk daur ulang. Bahkan, melansir jurnal Waste Management in Germany-Development to a Sustainable or Circular Economy, 14 persen bahan mentah yang digunakan dalam dunia industri di Jerman berasal dari sampah saat ini.

Jerman juga berhasil menerapkan skema daur ulang yang mampu mengurangi total sampah nasional sebesar 1 juta ton setiap tahunnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Tentu mewujudkan itu butuh komitmen kuat dari pemerintah, stakeholder, dan masyarakat.

Bila berkaca dari Jerman, pemerintah mesti membuat kebijakan terkait pengolahan sampah yang baik, bekerja sama dengan stakeholder yang berorientasi pada lingkungan dan energi terbarukan. Juga membuat aturan ketat soal pemilahan sampah, dari produsen, distributor, hingga konsumen.