Bagikan:

JAKARTA – Majelis Kode Etika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah menyatakan peneliti BRIN Andi Pangerang Hasanuddin terbukti melanggar kode etik Aparatur Sipil Negara (ASN). Selanjutnya, Andi akan menjalani sidang penentuan hukuman disiplin paling cepat pada 9 Mei 2023.

"Meski yang bersangkutan sudah menyesali perbuatannya, kami tetap memproses sesuai aturan yang berlaku,” kata Kepala BRIN Laksana Tri Handoko dalam keterangan resminya pada 26 April 2023.

Bagaimanapun, ASN harus menjadi cerminan. Mampu bertingkah laku sesuai kode etik dan kode perilaku ASN, baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan sehari-hari.

“Kami berkomitmen menegakkan hal itu di lingkungan BRIN. Setiap periset diberi kebebasan berpendapat secara akademis, namun ada kode etik yang tetap harus dipatuhi. Semoga ini menjadi pembelajaran bagi setiap ASN agar hal serupa tidak terulang kembali di masa depan oleh siapapun dan kepada siapapun," tutur Tri.

Selain sanksi etik, Andi pun terancam terjerat UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah telah melaporkannya ke kepolisian pada 25 April lalu. Andi diduga telah melakukan ujaran kebencian.

Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko. (Antara/Hafidz Mubarak)

"Perlu saya halalkan gak nih darahnya semua Muhammadiyah? Apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda kalender Islam global dari Gema Pembebasan? Banyak bacot emang!!! Sini saya bunuh kalian satu-satu. Silakan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan! Saya siap dipenjara. Saya capek lihat pergaduhan kalian," pernyataan Andi di Facebook.

Komentar tersebut dinilai menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu atau kelompok tertentu berdasarkan SARA dan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

Andi, menurut Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, terancam melanggar Pasal 27 UU ITE, khususnya ayat 3 dan ayat 4.

Pasal 27 ayat 3 melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah membuat laporan terhadap peneliti BRIN terkait fitnah, pencemaran nama baik, dan ujaran kebencian di Bareskrim Polri, Jakarta pada 25 April 2023. (Antara/Laily Rahmawaty)

Sementara Pasal 27 ayat 4 melarang setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman. Ancaman penjara maksimal 6 tahun.  

“Ancaman pembunuhan jelas terancam pasal. Apa yang disampaikan AP bentuk kebodohan. Tandanya, dia tidak memahami nilai-nilai demokrasi, khususnya tentang kebebasan. Boleh berbeda sepanjang tidak melanggar hukum,” tutur Fickar dalam keterangannya pada 26 April 2023.

Bila proses hukum berlanjut dan Andi menjadi terdakwa, apakah Andi akan diberhentikan secara tidak hormat?

Saat dihubungi VOI pada 27 April 2023, Koordinator Komunikasi Publik BRIN Dyah Rachmawati Sugiyanto hanya menjawab singkat terkait itu, “Kita tunggu tahap berikutnya ya mas.”

Klarifikasi Thomas Djamaluddin

Pemeriksaan etik juga sudah dilakukan terhadap Thomas Djamaluddin. Meski sudah meminta maaf, Thomas pun terancam menjalani proses hukum setelah dilaporkan ke polisi oleh warga Muhammadiyah bernama Ewi pada 25 April lalu.

Laporan polisi tersebut terkait dengan pernyataan Thomas di akun facebooknya, “Sdh tidak taat keputusan pemerintah, eh masih minta difasilitasi tempat shalat ied. Pemerintah pun memberikan fasilitas.”

Namun, menurut Thomas, tidak ada kekeliruan atas pernyataan tersebut. Itu berdasarkan fakta dan berita yang beredar di media. Tanpa tendensi apapun.

“Muhammadiyah memang tidak taat pada keputusan Pemerintah atau tidak ikut Pemerintah, dengan menyatakan idul fitri lebih dahulu. Pemerintah tidak mempermasalahkannya,” tulis Thomas mengklarifikasi di blog pribadinya pada 26 April lalu.

Terkait dengan pernyataan ‘minta difasilitasi’ merujuk dari pernyataan Ketua PP Muhammadiyah di pemberitaan media. Di laman muhammadiyah.or.id, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan negara harus hadir menjadi pihak yang adil dan ihsan dalam memandang dan memberikan fasilitas jika terjadi perbedaan waktu Hari Raya Idulfitri 2023 di Indonesia.

Peneliti BRIN yang juga seorang profesor di bidang astronomi, Thomas Djamaluddin. (Antara) 

Haedar menyatakan itu sebagai tanggapan atas munculnya penolakan salat Idulfitri di sejumlah fasilitas umum pada 21 April 2023.

“Negara harus hadir … memberikan fasilitas bermakna minta difasilitasi oleh negara/pemerintah. Pemerintah pun memberikan fasilitas. Semoga jelas dan tidak ada persepsi seolah saya memojokkan Muhammadiyah,” kata Thomas.

Lagipula, komentar tersebut juga tidak ada kaitannya dengan pernyataan AP Hasanuddin. Dalam arti, pernyataan yang dibuat oleh AP Hasanuddin bukan karena terprovokasi oleh tanggapannya, tetapi oleh banyak komentar lain.

“Menurut informasi AP Hasanuddin, di bawah tanggapan saya banyak komentar lain. Tetapi ada yang menghapus, sehingga tampak seolah-olah komentar AP Hasanudin langsung terkait dengan tanggapan saya. Kalau diperhatikan, AP Hasanuddin bukan menanggapi saya, tetapi menanggapi Ahmad Fauzan,” Thomas melanjutkan klarifikasinya pada 27 April 2023.

“Saya tidak tahu diskusi sebelumnya karena record-nya sudah dihapus, termasuk komentar Ahmad Fauzan yang ditanggapi AP Hasanuddin. Bisa jadi ada diskusi panas yang akhirnya memicu ancaman AP Hasanuddin,” tambah profesor riset astronomi-astrofisika BRIN ini.

Unggahan Thomas Djamaluddin di akun facebooknya, yang kemudian dijawab oleh Andi Pangerang Hasanuddin. (Facebook)

Adapun mengenai laporan polisi yang ditujukan olehnya, Thomas tidak mempermasalahkannya.

“Itu merupakan hak pelapor dan saya pun punya hak untuk menjelaskan semuanya,” ucapnya kepada VOI pada 27 April 2023.

Intinya, tidak ada kebencian atau kedengkian terhadap Muhammadiyah. Bagaimanapun, Muhammadiyah merupakan aset bangsa yang telah memberikan andil besar dalam sejarah perjuangan bangsa.

Yang diutarakan Thomas hanyalah sikap kritis terhadap kriteria wujudul hilal, yang dianggapnya sudah usang secara astronomi. Serta sikap ego organisasi, yang menghambat dialog menuju titik temu.

“Saya mengulang-ulang setiap ada perbedaan hari raya untuk mengingatkan bahwa perbedaan ini mestinya bisa diselesaikan, tidak dilestarikan,” katanya.

Pemerintah Harus Turun Tangan

Perbedaan penentuan 1 Syawal di Indonesia sudah terjadi sejak lama. Sehingga menurut Ketua Bidang Kerukunan Majelis Ulama Indonesia, Yusnar Yusuf, bukan saatnya lagi memperdebatkan itu.

“Selama menggunakan dua metode hisab dan rukyat sulit mencari titik temu. Metodenya saja berbeda, kriteria yang digunakan untuk mengukur berbeda, hasilnya juga berbeda,” katanya kepada VOI pada 27 April 2023.

Muhammadiyah mematok kriteria wujudul hilal tidak sampai 1 derajat. Hanya 0,01 derajat muncul saja, Muhammadiyah sudah menyatakan itu sebagai wujudul hilal.

Sementara menteri agama sejumlah negara seperti Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura, menetapkan ketinggian hilal 3 derajat karena kekuatan cahaya bulan di bawah 3 derajat masih kalah dengan cahaya mega (syafaq). Kuatnya cahaya mega membuat Hilal yang masih di bawah 3 derajat itu sulit untuk dapat teramati.

“Sekitar 7 tahun lalu, patokannya 2 derajat, lalu dinaikkan menjadi 3 derajat. Alasan lain karena perbedaan zona waktu di Indonesia antara barat, tengah, dan timur mencapai 1-2 jam. Maka diambillah kesimpulan menjadi 3 derajat,” tutur Yusnar.

Ilustrasi salat Id, tanpa campur tangan pemerintah pelaksanaan Hari Raya Idulfitri kemungkinan akan terus berbeda. (Antara/Teuku Dedi Iskandar)

“Bila peneliti BRIN ingin mengusulkan penyeragaman atau mencari titik tengah, silakan saja. Misal Muhammadiyah di 1 derajat, kemudian pemerintah juga menurunkan, sehingga sama-sama pada derajat yang sama, selesai masalah,” tambahnya.

Namun memang tidak mudah. Tanpa adanya campur tangan pemerintah, nikmati saja perbedaan yang ada. Toh, tidak ada hukum negara dan agama yang dilanggar.

Kecuali, pemerintah membuat aturan khusus lewat Undang-Undang atau Perppu dalam penetapan 1 Syawal, 1 Ramadan, atau Hari Raya Idul Adha.

“Seperti di negara Malaysia, penetapan Hari Raya Lebaran hanya boleh diputuskan oleh pemerintah bukan organisasi masyarakat. Jadi tidak ada lagi yang duluan atau belakangan, semua serempak. Tak perlu lagi ada sidang isbat,” terang Yusnar.

“Kalau lewat metode enggak bakal ketemu, namanya saja hisab dan rukyat. Kalau memang tidak ada titik temu, ya sebagai muslim kita harus menghormati perbedaan yang ada. Jangan jadikan ini sebagai perdebatan atau konflik,” imbuhnya.