JAKARTA – Polemik mengenai royalti hak cipta lagu kembali mengemuka pasca Ahmad Dhani bersuara keras meminta para Event Organizer (EO) membayar royalti apabila artisnya menyanyikan lagu-lagu Dewa 19 saat pertunjukan. Tak terkecuali EO yang menggelar pertunjukan Once Mekel.
Dia pun akan mengambil tindakan tegas untuk para EO yang tetap membandel. Sebab, ini pelanggaran menyalahi aturan yang berlaku.
“Sewaktu di WAMI (Wahana Musik Indonesia), saya juga sudah mengingatkan itu. Udah berapa kali saya omong,” kata Dhani, pentolan grup Dewa 19 dalam keterangan resminya.
Aturan yang dimaksud Dhani adalah Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Pasal 3 aturan tersebut menyatakan, setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Bentuk layanan publik yang bersifat komersial sebagaimana dimaksud meliputi seminar dan konferensi komersial, restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek, konser musik, pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut, pameran dan bazar, bioskop, nada tunggu telepon, bank, dan kantor.
Serta, pertokoan, pusat rekreasi, lembaga penyiaran televisi, lembaga penyiaran radio, hotel, kamar hotel, fasilitas hotel, dan usaha karaoke.
Dia pun mendorong Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) terus berperan aktif dalam penghimpunan dan penyaluran royalti. Sehingga ke depannya, pengelolaan royalti bisa berjalan lebih baik.
Tidak ada lagi para musisi pencipta lagu yang mengalami penderitaan seperti Yon Koeswoyo, vokalis dan gitaris Koes Plus yang kesulitan membayar pengobatan dan perawatan rumah sakit pada masa tuanya.
Atau seperti Syam Permana, pencipta lagu dangdut populer di era 90-an yang harus menjadi pemulung untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari karena uang dari royalti jauh dari cukup. Padahal, lagu-lagu ciptaan Syam sempat dinyanyikan oleh para pedangdut tersohor Tanah Air seperti Meggy Z, Hamdan ATT, Ine Shintya, hingga Inul Daratista.
Saat ini, kata Manajer Lisensi LMKN Yessy Kurniawan, LMKN sudah membentuk Sistem Administrasi Pelinsesian Online yang di dalamnya terdapat informasi mengenai database penggunaan lagu, pengguna komersial, keuangan, dan lisensi mulai dari perhitungan royalti hingga sertifikat lisensi.
Dengan begitu, EO serta pengguna karya cipta lainnya bisa dengan mudah membayarkan royalti.
“Mereka bisa langsung mendapatkan sertifikat elektronik dari LMKN sebagai tanda royalti sudah dibayarkan lewat sistem itu. Hasilnya, distribusi dari yang dibayarkan EO itu dioper langsung kepada pemilik lagu," ujar Yessy dalam Diskusi Publik dan Konferensi Pers bersama DKI dan LMKN di Jakarta pada 6 April lalu.
Sehingga nantinya, tidak ada alasan bagi EO untuk tidak melapor daftar lagu atau musik yang hendak dimainkan.
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Anggoro Dasananto pun mengingatkan mekanisme pengelolaan royalti dengan terbitnya PP Nomor 56 Tahun 2021 adalah melalui LMKN.
Sehingga, untuk mendapatkan royalti tersebut, pencipta atau pemegang ciptaan harus menggabungkan diri terlebih dahulu ke LMKN.
"Penyaluran royalti ini penting untuk meningkatkan kesejahteraan hidup para musisi Indonesia. Mekanismenya, ya gabung dulu bersama LMKN,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Dikelola Swasta
Permasalahannya, masih banyak musisi pencipta lagu yang tidak menyepakati pengelolaan royalti oleh LMKN tersebut. Aliansi Musisi Penulis Lagu Indonesia (AMPLI) saja sempat meminta pemerintah membatalkan PP Nomor 56 tahun 2021 dan Permenkumham 20 tahun 2021 yang mengatur tata kelola royalti.
Alasan AMPLI lebih menekankan mekanisme pembentukan dan pengelolaan pusat lagu dan musik yang dikenal dengan Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) oleh pihak swasta.
Memberikan kewenangan SILM ke lembaga privat seperti melanggengkan praktik pengambilalihan fungsi negara oleh perusahaan yang terfokus pada profit.
“Bukannya dalam UU Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 masalah royalti harusnya diurus dan ditangani secara transparan oleh lembaga-lembaga non-komersial, ya?” tulis AMPLI dalam petisinya bertajuk ‘Revolusi Industri Musik Indonesia Dimulai dari Royalti’
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta telah memberikan landasan hukum bagi pembentukan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang berbentuk badan usaha nirlaba dan juga LMKN yang berbentuk lembaga bantu pemerintah sebagai lembaga penarik, penghimpun, dan pendistribusian royalti.
Artinya, pembentuk undang-undang telah menyadari sepenuhnya bahwa masalah royalti sebagai amanah dari pencipta, haruslah diurus dan ditangani secara transparan oleh lembaga-lembaga non-komersial.
Ternyata, Permenkumham 20 tahun 2021 sebagai aturan pelaksana dari PP Nomor 56 tahun 2021 justru memperkenankan pihak ketiga berbentuk korporasi masuk dalam pengelolaan royalti. Bahkan, diberi wewenang yang lebih luas.
Sehingga peran korporasi bukan hanya sebagai vendor untuk membangun SILM, tetapi juga mengambil alih seluruh kewenangan dan fungsi LMKN dengan atribut sebagai pelaksana harian.
“Belum lagi ada tambahan potongan baru sebesar 20 persen sebagai dana operasional. Jelas bertentangan dengan UU Hak Cipta dan sangat merugikan para pencipta lagu,” kata inisiator AMPLI, Indra Lesmana dalam keterangan resminya pada 2021.
Korporasi yang dimaksud adalah PT Lentera Abadi Solutama (PT LAS). Pada Mei 2021, LMKN menjalin kerjasa dengan PT LAS. AMPLI menuding penunjukan PT LAS sarat kepentingan karena tanpa melalui tender. Prosesnya juga tidak transparan karena tanpa melibatkan musisi dan pencipta lagu.
Permenkumham 9 Tahun 2022
Kini aturan pelaksana telah berganti menjadi Permenkumham No.9 Tahun 2022. Namun, AMPLI dalam surat terbuka pada Juli 2022 tetap menganggap ini belum menjawab berbagai permasalahan yang ditimbulkan dari aturan pelaksana sebelumnya beserta implementasinya.
Hal yang menggembirakan hanya kembalinya potongan dana operasional yang pada Permenkumham 20 Tahun 2021 berubah menjadi 40 persen, kembali diubah menjadi sebesar 20 persen pada pasal 22 dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Hak Cipta No.28 Tahun 2014.
Adapun mengenai keterlibatan pihak swasta masih samar. Permenkumham 9 tahun 2022 memang telah mengganti pasal yang menyatakan pelaksana harian dapat berbentuk badan usaha berbadan hukum yang bergerak di bidang keuangan, manajemen, teknologi informasi, lisensi, pengelolaan royati, dan/atau hukum dalam aturan pelaksana sebelumnya.
Menggantinya dengan pelaksana harian berasal dari tenaga profesional yang berpengalaman dalam Pengelolaan Royalti bidang lagu dan/atau musik; perwakilan LMK yang tidak menjadi komisioner LMKN; dan unsur pemerintah yang melakukan pengelolaan dan pengawasan di bidang hak cipta dan hak terkait. Seperti yang tertera dalam Pasal 9 ayat (3).
Pelaksana harian dipimpin oleh general manager yang ditetapkan oleh ketua komisioner LMKN melalui mekanisme seleksi terbuka.
Namun, bagaimana Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara LMKN dengan PT Lentera Abadi Solutama (PT LAS) yang tertera dalam aturan pelaksana sebelumnya?
Apakah perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga yakni PT Lentera Abadi Solutama (PT LAS) secara otomatis batal dengan berlakunya Permenkumham No.9 Tahun 2022? Apakah fungsi pelaksana harian PT LAS yang diputuskan berdasarkan Permenkumham No.20 Tahun 2021 juga otomatis dibatalkan?
Jika dibatalkan, bagaimana dengan pertanggung jawaban dana operasional-yang bisa mencapai 40 persen dari total royalti yang sudah dihimpun oleh PT LAS?
Walaupun hanya sekitar satu tahun, penghimpunan royalti yang dilakukan oleh PT LAS menimbulkan berbagai permasalahan di lapangan, terbukti dengan ditolaknya royalti yang dihimpun oleh PT LAS, oleh salah satu LMK. Jika dibiarkan berlarut-larut, khawatir akan menimbulkan ketidakpercayaan dan kebingungan antar sesama LMK dan juga antara para pencipta lagu dan pemegang hak terkait kepada LMK.
BACA JUGA:
“Secara tegas kami menginginkan perjanjian kerjasama antara LMKN dan PT LAS yang merujuk pada Permenkumham No.20 Tahun 2021 juga dibatalkan, dikarenakan proses penunjukannya tidak transparan dan terkontaminasi konflik kepentingan,” tulis AMPLI.
Ada baiknya juga agar bisa lebih independen, unsur pemerintah dalam LMKN ditiadakan. AMPLI menganggap, “Tak seharusnya wasit ikut berperan menjadi pemain.”