Bagikan:

JAKARTA – Perempuan Indonesia bebas mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, bebas menekuni profesi apapun, dan bebas menapaki karier tanpa batasan. Sayangnya, slogan ini tidak diimbangi dengan perlindungan yang baik. Perempuan dalam realitasnya masih menjadi golongan yang sangat rentan pelecehan dan diskriminasi.

Tengok Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang dirilis pada 7 Maret lalu. Terdapat 457.895 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2022 yang didominasi oleh Kekerasan Berbasis Gender (KBG). Angka KBG tertinggi berasal dari ranah personal mencapai 99 persen atau 336.804 kasus.

“Orang-orang terdekat yang memiliki relasi personal, atau orang-orang yang seharusnya memberi perlindungan kepada perempuan dan anak justru menjadi pelaku kekerasan,” kata Siti Mazuma, Sekretaris Nasional Forum Pengada Layanan (FPL), dalam acara Peluncuran Catahu Komnas Perempuan 2023 di Hotel Santika Premiere, Jakarta.

Tengok pula di lingkungan kerja. Sejumlah kesaksian menyebut masih banyak perempuan yang mengalami diskriminasi upah. Bahkan, ada perusahaan yang membatasi jenjang karier perempuan hanya untuk jabatan-jabatan tertentu.

Alasannya hanya karena perempuan dianggap tidak bisa berpikir logis dan lebih mengandalkan intuisi sehingga tidak bisa berada di posisi strategis.

Selain itu, banyak juga perempuan yang tidak mendapatkan haknya untuk menikah, melahirkan, menyusui, dan cuti haid. Alih-alih memberikan cuti panjang, perusahaan malah mencari cara agar perempuan yang hamil mengundurkan diri sebelum melahirkan.

Terdapat 457.895 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2022 menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan. (Antara)

Walaupun sudah ada Undang-Undang (UU) yang mengatur hak hingga kesejahteraan buruh, termasuk buruh perempuan, nyatanya tak sedikit yang masih belum mendapatkan kesejahteraan.

“Mereka tahu aturan, tapi mereka tidak menjalankan aturan tersebut,” kata Pendiri komunitas Perempuan Pekerja Yuri Muktia.

Begitupun untuk perempuan Indonesia yang menjadi pekerja migran. Masih banyak yang rentan mengalami kekerasan. Komnas Perempuan mencatat sebanyak 813 kasus kekerasan terhadap perempuan pekerja migran sepanjang 2016-2022. Artinya, ada lebih dari 100 perempuan Indonesia yang teraniaya di luar negeri setiap tahun.

Solusi Lewat Aturan Baru

Terkait ragam permasalahan tersebut, pemerintah terus mencari cara, antara lain melalui penerbitan beragam aturan baru. Contohnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang disahkan pada 12 April 2022.

Sistem pembuktian dalam UU TPKS berbeda dengan tindak pidana biasa, khususnya dalam sistem pembuktiannya. Pengakuan korban saja cukup jadi bukti, tetapi menurut pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, “Bila pelakunya masih hidup.”

Selain mendapatkan hukuman yang setimpal, pelaku juga wajib membayar restitusi atau pembayaran ganti kerugian. Restitusi dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian material dan/atau imaterial yang diderita korban atau ahli warisnya.

Restitusi dapat diberikan dalam 4 bentuk, yakni:

  1. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
  2. Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual;
  3. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau
  4. Ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual.

Korban kekerasan seksual dalam undang-undang ini juga memiliki hak khusus. Merujuk Pasal 69 UU TPKS, hak korban atas pelindungan mencakup 7 hal, yaitu:

  1. Penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan;
  2. Penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan pelindungan;
  3. Perlindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan;
  4. Pelindungan atas kerahasiaan identitas;
  5. Perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan korban;
  6. Perlindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik; dan
  7. Perlindungan korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas tindak pidana kekerasan seksual yang telah dilaporkan.

Aturan selanjutnya yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang terbit pada 30 Desember 2022. Melalui aturan ini, pemerintah tetap tak menghilangkan hak-hak perempuan.

Kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi dan kebebasan fundamental perempuan.  (Antara/Hafidz Mubarak A/foc)

Seperti yang tertera dalam Pasal 153 ayat (1), pengusaha dilarang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja kepada pekerja/buruh dengan alasan:

  1. Berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
  2. Berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. Menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
  4. Menikah;

    e. Hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;

  5. Mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu Perusahaan;
  6. Mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama;
  7. Mengadukan Pengusaha kepada pihak yang berwajib mengenai perbuatan Pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
  8. Berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; dan
  9. Dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena Hubungan Kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

“Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) batal demi hukum dan Pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan,” bunyi Pasal 153 ayat (2).

Sementara untuk pekerja migran indonesia, sebenarnya sudah ada beragam aturan, satu di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Namun, Komnas Perempuan pada peringatan Hari Buruh Migran Internasional 2022 tetap meminta pemerintah dan DPR segera membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga sebagai upaya mewujudkan perlindungan komprehensif, baik untuk PRT migran dan PRT dalam negeri.

Pemerintah pun harus memastikan adanya mekanisme pengawasan yang melibatkan masyarakat dan lembaga-lembaga negara yang relevan, termasuk lembaga negara Hak Asasi Manusia.

Serta, memastikan kebijakan di internasional maupun regional terintegrasi ke dalam kebijakan nasional secara nyata dan implementatif termasuk dalam upaya pemenuhan hak maternitas perempuan pekerja migran.

Kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi dan kebebasan fundamental perempuan. Penegasan terhadap hal ini telah disepakati oleh masyarakat internasional melalui Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada tahun 1979.

Kini, tinggal hanya penegakan hukumnya yang harus digalakkan untuk benar-benar mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia.