JAKARTA - Jack Dorsey tergelincir. Macam tak mau kalah dengan Mark Zuckerberg dan keterlibatannya dalam skandal Cambridge Analytica, Dorsey dan Twitter dituding kuat membantu politik China lewat bantuan fitur berbayar mereka: promoted tweets.
Ucapan Dorsey di hadapan senat tahun lalu tentang Twitter yang tak akan mengikuti jejak kotor Zuckerberg dan Facebook malah jadi bumerang yang menghantam balik kredibilitasnya. Apalagi, kita ingat bagaimana Dorsey amat nyaring berbicara soal netralitas sebagai landasan filosofi micro blogging-nya.
Keterlibatan Twitter dalam membantu politik pemerintahan China terendus dalam investigasi yang dilakukan sejumlah jurnalis dan praktisi media sosial global. Investigasi itu mendapati fitur promoted tweets dimanfaatkan untuk membantu politik pemerintahan China di pertengahan 2019.
Pada masa itu, investigasi menemukan propaganda yang dilakukan China lewat akun Global Times berseliweran --lewat fitur promoted tweets-- masif di Twitter. Global Times adalah salah satu media China yang dikontrol dan dikendalikan penuh oleh pemerintahan.
Menurut pantauan, setidaknya fitur promoted tweets mendorong kemunculan konten-konten propaganda Global Times hingga lebih dari 50 kali di linimasa ratusan juta akun pengguna Twitter dunia, sekalipun mereka tak mengikuti Global Times. Lewat konten-konten propaganda itu, China berupaya membantah tuduhan internasional dengan menunjukkan kondisi Xinjiang soal isu Uighur dalam versi mereka.
Promoted tweets memaksa ratusan juta pengguna Twitter mengonsumsi propaganda China berbentuk adegan seorang manula miskin di Xinjiang yang menerima alat bantuan medis gratis dari pemerintah China. Global Times lewat bantuan Twitter berusaha menggiring opini publik bahwa apa yang terjadi di Xinjiang hari ini justru semakin harmonis dan penuh sukacita pascatragedi teror "kepala babi" antara ras Uighur dengan etnis Han.
Hal ini mengundang kritik keras bagi kebijakan Twitter. Jika melihat aturan main, terms of service Twitter sejatinya mengatur bahwa mereka tak berkewajiban menerima order berbau politik via media-media yang ditengarai menjadi alat politik rezim di berbagai negara, termasuk Global Times yang dikendalikan pemerintah China. Kebijakan ini dibentuk sebagai refleksi atas skandal Facebook yang dituding membantu perpolitikan Rusia dan merugikan pemerintahan Donald Trump.
The greater China sebagai pangsa bisnis Twitter
The greater China adalah sebutan Twitter untuk menggambarkan zona pangsa bisnis di dataran China sebagai salah satu pundi pemasukan Twitter yang kabir se-Asia Pasifik. Huawei dan Xiaomi adalah salah satu klien kakap Twitter.
The greater China yang memiliki kantor perwakilan di Singapura dan Hong Kong memang gurih untuk bisnis Twitter. Meski diblokir di kalangan publik China, peningkatan omset Twitter dikabarkan meningkat. Hal ini bahkan memaksa Twitter menambah armada tim suport mereka tiga kali lipat dalam satu tahun terakhir.
Tak cuma promoted tweets. Twitter juga meyediakan pelatihan intensif bagi para pejabat, politikus, hingga diploma di lingkar kekuasaan rezim Xi Jinping. Temuan ini memperkuat tudingan bahwa Twitter benar-benar memfasilitasi propaganda pemerintah China. 'Pujian' untuk rezim Xi Jinping yang cerdik memanfaatkan momen pemblokiran Twitter di kalangan publik internal China.
Situasi itu dimanfaatkan dengan menggunakan Twitter sebagai salah satu mercusuar untuk menyiarkan propaganda demi propaganda kepada dunia luar lewat media bayaran yang dipelihara pemerintah. Dan Twitter dimanfaatkan untuk meminimalisir persepsi publik internasional soal kacaunya Xinjiang akibat tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah China.
Jika melihat sisi teoritis, China sejatinya tengah memeragakan damage control. Daratan yang dulunya koloni Turkemnistan Timur --Xinjiang-- digambarkan seakan baik-baik saja. Damage control adalah pengendalian kerusakan atau kekacauan. Konsep lumrah yang dilakukan berbagai elit politik pascamunculnya kekacauan yang diakibatkan oleh praktik politik mereka. Dalam kondisi macam ini, media massa adalah instrumen pamungkas.
Propaganda China dan Twitter berlawanan dengan fakta bahwa upaya menyingkirkan ras Uighur untuk memberi tempat kepada etnis Han --yang sejatinya pendatang-- nyata terjadi. Kenyataan yang telah dibuktikan oleh investigasi banyak jurnalis global.
Menuju Orwellian State?
Orwellian State adalah istilah yang dinukul novel fenomenal George Orwell berjudul 1984 rilisan tahun 1949. Istilah Orwellian State digunakan untuk menggambarkan situasi sebuah negara yang dikuasai rezim pemerintahan yang mutlak mengontrol seluruh aspek kehidupan publik.
Seluruhnya, mulai dari apa kebebasan menulis dan memilih bacaan, tontonan, hingga apa yang dapat dilihat dan tidak. Pemerintah rezim Orwellian State juga mengendalikan cara publik berpikir hingga menentukan bagaimana publik bertindak dalam keseharian mereka.
Apa yang terjadi pada China hari ini semakin mendekati ramalan Orwell 71 tahun silam. Tentang kekhawatirannya pada dominasi power and control yang akan tumbuh di sebuah negeri. Xi Jinping dan rezimnya seakan merepresentasikan distopia Orwell yang dilabeli science fiction lewat 1984.
Kini, nasib ras Uighur makin tersingkirkan. Mereka jelas membutuhkan pantauan aktivis kemanusiaan global untuk memperjuangkan hak-hak hidup dan berkehidupan. 'The Chairman Of Everything', --sebutan Xi Jinping di negerinya-- adalah distopia bagi alam demokrasi.
Lewat proposalnya dulu sebelum terpilih menjadi presiden seumur hidup China, Xi Jinping menyatakan hasratnya membangun konsep dan gaya sosialisme baru untuk jadi solusi mendorong kemajuan peradaban rakyat China di masa depan. Konsep ini terus dipupuk di seluruh lapis masyarakat, mulai dari ibu rumah tangga hingga para buruh dan pegawai kantoran.