Kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen kesohor sebagai penjaga moral di Batavia. Sebagai calvinis taat, ia memerangi segala bentuk kemaksiatan. Barang siapa yang melangsungkan kegiatan amoral akan diganjar hukuman. Dari hukuman sadis hingga penjara. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), salah satunya. Pelaku KDRT jadi yang paling banyak diadili. Maskapai dagang Belanda VOC tidak pernah mentoleril KDRT. Tiada ampun bagi pelaku yang melanggengkan KDRT, apalagi secara keterlaluan.
Gubernur Jenderal Gubernur Jenderal VOC dua kali --1619-1623 dan 1627-1629— Jan Pieterszoon Coen adalah sosok paling dikenal dalam masa penjajahan Belanda di Nusantara. Ia peletak dasar kolonialisme di Nusantara. Ia berperan besar menaklukkan Jayakarta dan membangun kota baru pada 1619. Batavia namanya.
Kekuasaannya itu membuatnya bermimpi menjadikan Nusantara sebagai sumber kejayaan Belanda di masa mendatang. Namun, mimpi itu segera ditampar oleh realita menyakitkan. Kota Batavia yang dimpikannya sebagai tanah koloni bermartabat, justru tak sepenuhnya diisi oleh orang-orang Eropa yang beradab.
Coen menyadari orang Belanda yang dapat ke negeri koloni banyak muatan negatifnya. Sebab, kebanyakkan di antaranya bukan berasal dari keluarga bangsawan atau terpelajar. Mereka rata-rata berasal dari keluarga berpendidikan rendah dan juga miskin. Lebih-lebih banyak di antaranya orang Belanda yang dapat terlampau malas dan bodoh.
Karenanya, negeri koloni hanya dijadikan mereka sebagai sarana pelampiasan nafsu duniawi semata. Maksiat dilanggengkan: pelacuran, perselingkuhan, homoseksual, pergundikan, dan lainnya. Sedang nilai-nilai agama dianggap sepi. Coen berang bukan main. Narasi itu tak sesuai mimpinya membangun Batavia sebagai kota yang menganut nilai-nilai religius.
“Pada awalnya hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk mengendalikan situasi tersebut. Para prajurit dan pelaut telah tercerabut dari Tanah Airnya, kekurangan wanita, dan ditempatkan di kantor-kantor dagang terpencil di daerah dengan peradaban yang asing.”
“Mereka mendengar desas-desus tentang harem yang berasal dari pertemuan-pertemuan awal para pedagang senior dengan para putri bangsawan Asia, sementara atasan mereka sendiri mengambil para budak untuk kebutuhan pribadi. Dalam keadaan seperti itu, nilai-nilai moral yang mereka bawa dari tanah airnya mulai memudar dan tidak bisa diterapkan lagi,” ungkap Jean Gelman Taylor dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia (2009).
Tak Pandang Bulu
Kemaksiatan yang meralela segera tambal Coen. Ia mengeluarkan sebuah aturan penting. Aturan itu ditujukan kepada serdadu VOC, kemudian pada tahun-tahun berikutnya dilebarkan kepada seluruh warga Batavia, apapun jabatannya.
Mereka dilarang melanggengkan kegiatan maksiat. Peraturan itu terpaksa dikeluarkan Coen mengingat kondisi Batavia yang sedang tak baik-baik saja. Alias penuh dosa. Terutama karena meningkatnya kasus aborsi, KDRT, dan budak-budak wanita yang mencoba membunuh tuannya.
Aturan itu bahkan dilanjutkan oleh penerus Coen. Barang siapa yang melanggar kemaksiatan akan diganjar hukuman yang tegas. Bahkan cenderung kejam. Pun tanpa pandang bulu, pria atau wanita. Kasus Catrina Casembroot pada 1639 jadi contohnya.
Catrina yang dikenal sebagai seorang janda dituduh melakukan perzinahan dengan banyak pria. Tindakan itu dilakukannya saat suaminya masih hidup. pengadilan pun menuduh Catrina menggunakan ilmu hitam untuk menggaet banyak pria. Alhasil, pengadilan memutuskan untuk menghukum mati Catrina.
Keputusan ini tak jauh beda dengan perselingkuhan yang dilakukan Annika da Silva. Perselingkuhan itu membuka tabir baru bahwa wanita di Batavia banyak menjadi korban KDRT. Tapi, Annika da Silva lebih dulu dianggap bersalah karena ia dituduh telah meracuni suami sendiri.
“Lalu bagaimana hukuman bagi para pezinah dan peracun itu? setelah dengan teliti mempertimbangkan surat-surat serta bukti-bukti yang dikemukakan dalam persidangan, terutama pembuktian yang dikemukakan Dewan Legislatif. Maka hukuman yang dijatuhkan kepada mereka antara lain dibenamkan dalam tong berisi air atau diikat pada tiang lalu dicekik sampai mati. Wajah mereka kemudian dicap dan semua harta milik mereka disita,” tulis Achmad Sunjayadi dalam buku [Bukan] Tabu di Nusantara (2018).
Hukuman Bagi Pelaku KDRT
KDRT jadi pelanggaran amoral lainnya yang banyak banyak diadili pengadilan Batavia. Sejarawan Hendrik E. Niemeijer mengamini hal itu. Hampir tiap saban hari kasus KDRT terjadi. Penyebabnya beragam. Paling banyak KDRT dilakukan karena problema kemiskinan, pergundukan, dan perselingkuhan.
Kasus KDRT yang dilakukan oleh Moses Thomasz, misalnya. Pertikian antara suami-istri ini dipicu karena Moses acap kali sering mabuk dan main wanita. Istrinya tak tahan dan benci kepada sang suami. Karena itu, Moses Thomasz gelap mata.
Ia sampai mengikat tangan istrinya di bawah kedua kakinya dan memasung sebuah tongkat di antara kedua tangan. Suatu bentuk ikatan yang biasa dilakukan untuk menggotong babi. Setelahnya, istrinya dihajar habis-habisan: dipukul dan tendang.
Warga setempat yang mendengar pertikaian itu segera melaporkan KDRT yang dilakukan Moses pada otoriritas terkait. Pangadilan Batavia pun bergerak. Hakim langsung saja menjatuhkan hukuman kepada Moses hukuman cambuk dan delapan hari kurungan penjara. Hukuman itu diberikan supaya Moses dapat menyesali perlakuan kasarnya.
Mayoritas pelaku KDRT akan mendapatkan hukuman campuk dan kurungan delapan hari. Sebagaimana yang dialami Moses. Tapi, beda cerita ketika perlakuan kasar terhadap pasangan terus dilakukan di kemudian hari. Pengadilan Batavia takkan segan-segan memberi hukuman yang amat berat.
Jacob Isaakxz, misalnya. Awalnya Jacob yang dikenal sebagai warga Mardjker dijatuhi hukuman serupa seperti yang dialami Moses. Tak seperti Moses, Jacob malah tak tobat-tobat. Perlakuan kasar terhadap istrinya, Anna Jansz malah makin intens. Apalagi ketika Jacob dipengaruhi oleh minuman keras.
Istrinya akan dibuat babak belur. Tapi Jacob kelewatan. Kepala istrinya sampai dipukul oleh benda tumpul sehingga jatuh pingsan. Ia belum tobat. Perlakukan kasar itu pun terus berlanjut hingga hari-hari lainnya. Pun tiada pilihan lain bagi pengadilan Batavia selain menghukum Jacob dengan hukuman penjara selama enam tahun lamanya.
“Kali ini dakwaan terhadapnya adalah bahwa suatu hari yang cerah dia menghunuskan pedangnya dan menyerang istrinya. Anna Jansz bersama anak-anaknya masih sempat lari keluar rumah petak mereka sementara suaminya memporak-porandakan perabotan rumah dengan kapak.”
“Laki-laki yang sudah menjadi kalap itu ditangkap pihak berwajib suruhan kepala lingkungan ketika sedang asyik membakar pakaian istrinya dan buku doanya sendiri. Kali ini kesabaran para hakim pengadilan sudah habis dan Jacob dijebloskan ke dalam penjara untuk enam tahun,” ungkap Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.