Review Film Balada Sepasang Kekasih Gila, Tema yang Unik Tapi Kurang Ciamik
Film Balada Sepasang Kekasih Gila (Foto: KlikFilm)

Bagikan:

JAKARTA - Film Balada Sepasang Kekasih Gila dibuka dengan adegan Djarot yang diperankan oleh Denny Sumargo dalam ruang isolasi. Raungan teriakan dalam ruang sempit yang gelap langsung meneror penonton dan diajak mengetahui cara penanganan ODGJ di rumah sakit jiwa.

Lantas sosok Lastri yang diperankan oleh Sara Fajira muncul diolok dan dilempari batu oleh anak-anak karena gila. Anggy Umbara memperkenalkan karakter Lastri lewat suara anak lelaki yang akan terus menjadi pemandu film ini sampai akhir.

Barangkali suara inilah yang memberi jeda pada usaha Anggy memaparkan kondisi yang dialami oleh orang-orang gila. Lastri lantas dieksploitasi, diperkosa bersama-sama oleh lelaki bejat.

Kesialan nampaknya menjadi jalan hidup Lastri, setelah dipenjara, Lastri dijebak menjadi seorang wanita tuna susila. Lastri mempertanyakan dirinya sendiri. Dengan bantuan obat, untuk sementara, Lastri bisa mengendalikan pikirannya. Lastri kembali gelisah dan tak tenang karena merasa menjadi gila lebih bermartabat daripada menjadi WTS.

Secara bergiliran, dalam durasi yang cukup panjang lebih dari separu film, Lastri dan Djarot dipaparkan kehidupannya. Kali ini Djarot bisa bebas dari rumah sakit jiwa. Namun bebas dalam sendiri tak membuatnya bisa mandiri.

Bahkan ketika Djarot mencoba memulung, ada saja orang yang mencuri hasilnya. Djarot terlunta-lunta, kelaparan sampai mempertanyakan Tuhan ada dimana.

Sebagai pemeran orang gila, Denny Sumargo dan Sara Fajira menunjukkan totalitas dan usaha mereka untuk menghidupkan karatker. Selain penampilan, Denny mengubah warna vokal. Sara Fajira tampil manis dalam fase yang berbeda-beda dari gila, hampir gila, normal, hingga gila lagi.

Sebenarnya tema yang diangkat Anggy Umbara dan Han Gagas sebagai penulis skenario ini cukup unik. Tak banyak film Indonesia yang mengajak penontonnya menyelami kehidupan orang gila, terpaksa gila, atau 'digilakan' keadaan. Mereka nampak sangat serius mencoba menggambarkan bagaimana orang gila juga masih punya rasa.

Selain itu, isu pelecehan seksual beberapa kali ditegaskan dalam film ini. Anggy dengan satir memperlihatkan bagaimana pelaku pelecehan seksual itu tidak melihat korbannya. Orang gila saja diperkosa! Pakaian lusuh dan kotor, penampilan gak karuan tetap menjadi korban mereka. Ngilu melihatnya bahkan traumatik bagi perempuan yang menontonnya.

Jadi kalau ada yang berfikir pemerkorsaan itu terjadi karean pakaian korban, harus berfikir ulang dengan nonton film ini. Agak sulit menangkap makna ini jika tidak menonton film ini dengan tenang dan santai. Karena tak bisa dipungkiri itu terjadi di masyarakat.

Mungkin karena tema yang begitu berat inilah film Balada Sepasang Kekasih Gila kehilangan kenikmatan sebagai sebuah karya visual dan audio. Bertele-tele dalam perkenalan karakter juga membuat bounding penonton pada kisah cinta dalam film ini tidak terasa.

Meskipun mencoba mencairkan suasana dengan komedi keadaan, nampaknya sebagai kekasih Lastri dan Djarot gagal terbangun. Apalagi ketika Anggy mencoba menempatkan mereka menjadi normal dalam ikatan pernikahan, ini menjadi kian janggal.

Maju mundur narasi psikologis Djarot dan Lastri membuat bingung. Apalagi ketika mereka harus dipaksakan selalu dalam kemalangan. Untungnya, 1 jam 30 menit waktu menonton ini tidak sia-sia dengan kejutan ending yang menohok di dada.