Bagikan:

JAKARTA - Cabai rawit adalah cabai pedas dan beraroma yang digunakan dalam banyak masakan di seluruh dunia. Cabai termasuk dalam genus Capsicum, sama halnya dengan paprika, jalapeños, dan habaneros.

Penelitian menyoroti capsaicin, senyawa bioaktif utama dalam cabai, karena manfaat kesehatannya yang menjanjikan, khususnya untuk kesehatan kardiometabolik. Bukti menunjukkan bahwa hal ini berpotensi membantu mengelola obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular.

Namun, beberapa penelitian observasional berskala besar, termasuk studi cross-sectional komprehensif yang dilakukan di pedesaan Tiongkok. Telah mengungkapkan hubungan yang signifikan antara frekuensi asupan makanan pedas dan obesitas secara keseluruhan.

Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah konsumsi cabai menurunkan atau meningkatkan risiko obesitas?

Untuk mengeksplorasi hal ini, sebuah penelitian yang diterbitkan di Frontiers in Nutrition, dilansir dari Medical News Today, Senin, 10 Juni, meneliti hubungan antara asupan cabai dan risiko obesitas di Amerika.

Mirip dengan penelitian observasional lainnya, penelitian baru ini menemukan bahwa seringnya konsumsi cabai dikaitkan dengan indeks massa tubuh (BMI) yang lebih tinggi dan risiko obesitas, terutama pada wanita dan orang dewasa di atas 60 tahun.

Meskipun temuan yang tidak konsisten mengenai peran cabai terhadap obesitas hingga saat ini, para ahli menawarkan penjelasan potensial atas hasil yang bertentangan tersebut.

Studi ini menganalisis data dari 6.138 orang dewasa Amerika berusia 20 tahun ke atas dari Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional (NHANES) tahun 2003 hingga 2006. Para peneliti mengecualikan individu hamil dan mereka yang datanya hilang atau tidak dapat diandalkan mengenai konsumsi cabai, BMI, dan total asupan kalori.

Para peserta melaporkan sendiri faktor demografi dan gaya hidup seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan keluarga, status merokok, penggunaan alkohol, aktivitas fisik, dan kondisi kesehatan seperti diabetes dan hipertensi.

Sekitar 51 persen peserta adalah perempuan, dan lebih dari 34 persen mengalami obesitas berdasarkan status BMI mereka. Dengan menggunakan kuesioner frekuensi makanan, survei NHANES mengevaluasi frekuensi konsumsi cabai selama 12 bulan sebelumnya.

Berdasarkan tanggapan mereka, peneliti membagi peserta menjadi 3 kelompok:

  • tidak mengonsumsi cabai sama sekalii: nol kali per bulan (17 persen)
  • asupan cabai sesekali: kurang dari sekali seminggu (74 persen)
  • sering mengonsumsi cabai: minimal seminggu sekali (9 persen)

NHANES juga memperkirakan kebiasaan asupan nutrisi peserta dengan mengumpulkan data makanan selama setidaknya 2 hari berturut-turut dan menghitung rata-rata total kalori, protein, karbohidrat, lemak, gula, dan serat.

Setelah mengumpulkan data dari survei, para peneliti melakukan serangkaian analisis statistik mengikuti pedoman Pusat Pengendalian Penyakit (CDC). Tujuan mereka adalah menyelidiki hubungan antara konsumsi cabai dan prevalensi obesitas di kalangan populasi orang dewasa secara umum di Amerika Serikat.

Studi tersebut mengidentifikasi perbedaan signifikan dalam faktor demografi dan gaya hidup, serta risiko obesitas, di antara ketiga kelompok konsumsi cabai.

Para peneliti mengamati variasi dalam usia, jenis kelamin, etnis, pendidikan, status perkawinan, pendapatan, asupan alkohol, aktivitas fisik, status diabetes, dan kebiasaan makan. Meskipun rata-rata BMI antar kelompok juga serupa (sekitar 28,3 hingga 29,0), frekuensi konsumsi cabai yang lebih tinggi dikaitkan dengan risiko obesitas yang lebih besar.

Sekitar 30 persen orang yang jarang makan cabai mengalami obesitas, dibandingkan dengan sekitar 35 persen orang yang sesekali makan cabai dan hampir 38 persen orang yang sering mengonsumsi cabai.

Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa, rata-rata, orang yang sering makan cabai memiliki BMI 0,71 unit lebih tinggi dibandingkan orang yang tidak makan cabai. Analisis peneliti yang sepenuhnya disesuaikan juga menunjukkan bahwa kelompok dengan konsumsi cabai tertinggi memiliki risiko obesitas 55 persen lebih besar dibandingkan non-konsumen.

Dari semua faktor demografi dan gaya hidup, hanya gender yang mempunyai pengaruh besar terhadap pengaruh konsumsi cabai terhadap BMI. Selain itu, dampak konsumsi cabai terhadap risiko obesitas lebih nyata terjadi pada wanita dan individu berusia 60 tahun ke atas.

Namun penelitian ini bersifat observasional sehingga peneliti tidak menemukan hubungan sebab akibat antara frekuensi konsumsi cabai dan risiko obesitas.