Bagikan:

JAKARTA - Para ilmuwan baru-baru ini meneliti tikus guna melihat apa dampak diet ketogenik terhadap organ dalam tubuh. Orang yang menjalani diet ketogenik – atau keto – biasanya mengonsumsi makanan yang tinggi lemak dan rendah karbohidrat. 

Meski orang yang mengikuti jenis diet ini sering kali mengalami penurunan berat badan secara signifikan dalam jangka waktu singkat, para ahli medis mengkhawatirkan potensi risiko diet keto. Para ilmuwan dalam penelitian ini menemukan bahwa tikus yang menjalani diet ketogenik mengalami peningkatan tingkat penuaan sel di organ tubuh mereka.

Para peneliti dari UT Health San Antonio, TX, dilansir dari Medical News Today, Kamis, 30 Mei, baru-baru ini menerbitkan sebuah makalah di Science Advances yang mengamati efek diet ketogenik, juga dikenal sebagai “keto,” pada tikus.

Dengan meningkatnya angka obesitas di Amerika Serikat, banyak orang beralih ke pola makan yang menurut mereka dapat membantu menurunkan banyak berat badan. Diet keto, secara tradisional digunakan untuk mengobati epilepsi, adalah salah satu diet yang mendapatkan popularitas.

Beberapa ciri khas diet keto antara lain mengonsumsi lemak dalam jumlah lebih banyak dan  mengurangi asupan karbohidrat. Para peneliti yang melakukan penelitian ini mengamati lebih dekat diet ketogenik dengan melakukan percobaan pada tikus. Untuk melihat apa dampak diet tersebut terhadap kesehatan. Mereka terutama tertarik pada apakah pola makan berkontribusi terhadap penuaan sel.

Temuan mereka menunjukkan bahwa ketika membandingkan sekelompok tikus yang menjalani diet ketogenik dengan tikus dalam kelompok kontrol. Tikus yang menjalani diet ketogenik mengalami tingkat penuaan lebih tinggi pada organ tubuhnya.

Scott Keatley, ahli gizi terdaftar dan pemilik praktik nutrisi swasta di New York City, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, menjelaskan terkait temuan penelitian ini.

“Temuan ini penting karena memberikan pemahaman mekanistik tentang bagaimana diet ketogenik jangka panjang berpotensi menyebabkan penuaan sel dan disfungsi pada organ penting seperti ginjal dan jantung,” komentarnya.

“Hal ini menggarisbawahi perlunya pertimbangan yang cermat mengenai durasi dan komposisi diet ketika merekomendasikan diet ketogenik, terutama untuk pasien yang memiliki masalah organ atau mereka yang berisiko terkena penyakit kronis,” lanjut Keatley.

Dia juga mencatat bahwa uji coba longitudinal pada manusia adalah langkah selanjutnya untuk memastikan apakah diet ketogenik pada epilepsi menyebabkan penuaan sel.

“Penting bagi masyarakat memahami bahwa meskipun diet ketogenik telah terbukti memberikan manfaat, khususnya dalam menangani epilepsi dan mendorong penurunan berat badan sebagai diet yang dibatasi kalori. Efek jangka panjangnya belum sepenuhnya dipahami dan dapat mencakup risiko kesehatan yang signifikan,” kata Keatley. 

“Siapa pun yang mempertimbangkan pola makan seperti itu harus melakukannya di bawah bimbingan medis,” tutup Keatley.