JAKARTA - Sebuah studi psikologi baru di Amerika Serikat menunjukkan bahwa berutang dengan teman dapat menjadi bumerang bagi suatu hubungan persahabatan.
Studi yang dilakukan Ashley Angulo dan koleganya tentang "Friendship fallout and bailout backlash: The psychology of borrowing and lending" yang dipublikasikan "Journal of Consumer Psychology" pada 2024 menemukan bahwa perasaan tidak bebas mungkin dirasakan pengutang setelah teman yang meminjamkan sejumlah uangnya merasa berhak mengawasi untuk apa uang mereka dibelanjakan.
"Sebagai pemberi pinjaman, teman bakal merasa bahwa mereka memiliki kendali terhadap pengutang," kata Angulo dalam laman Psychology Today dilansir dari ANTARA.
Ketika uang itu adalah hadiah atau pembayaran, orang tidak akan menghakimi teman tersebut terlepas dari apakah uang itu digunakan untuk buku pelajaran yang diperlukan atau permainan yang menyenangkan. Namun jika uangnya berasal dari pinjaman, orang-orang akan lebih marah pada teman mereka karena menghabiskan uangnya untuk gim dibandingkan untuk buku. Tidak hanya itu, penulis juga menemukan bahwa perasaan tersebut tetap berlaku bahkan setelah pengutang sudah melunasi pinjamannya.
BACA JUGA:
Dengan kata lain, teman masih mungkin "marah" ketika mengetahui pengutang membelanjakan uang untuk sesuatu yang dianggap remeh dan tidak diperlukan, meski uang yang dipinjamkan telah dikembalikan. Perasaan berhak untuk mengawasi tetap ada, bahkan setelah transaksi pinjaman itu sudah diselesaikan.
Di sisi lain, para pengutang merasa bahwa pemberi utang sebetulnya tidak berhak mengawasi penggunaan uang yang mereka pinjamkan. Atau, meskipun sulit, mereka lebih suka mengumpulkan dana darurat sehingga tidak perlu berutang, daripada meminjam dan kemudian berurusan finansial dengan temannya. Kemarahan dan hak untuk mengawasi tidak cocok dengan persahabatan yang sehat.