JAKARTA - Siklus pelecehan atau siklus kekerasan merupakan konsep yang pertama kali didokumentasikan pada tahun 1970-an oleh psikolog Lenore E. Walker.
Melalui observasi ekstensif dan proses wawancara dengan wanita yang pernah mengalami pelecehan dan kekerasan dalam rumah tangga. Walker mengidentifikasi beberapa tahapan yang cenderung berulang dalam hubungan yang dipenuhi kekerasan. Yakni, membangun ketegangan, insiden kekerasan, rekonsiliasi, dan tahap tenang.
Model siklus kekerasan ini telah menjadi referensi bagi para profesional kesehatan mental, namun tidak ditujukan untuk mencakup semua pengalaman terkait kekerasan. Tahapan siklus pelecehan mungkin tidak selalu terjadi dalam urutan yang sama, atau beberapa di antaranya mungkin tidak terjadi dalam beberapa kasus. Untuk lebih lanjut, simak penjelasannya berikut ini.
Membangun ketegangan
Selama tahap ketegangan, pasangan yang melakukan kekerasan akan mulai menunjukkan tanda-tanda pelecehan. Serta perilaku kekerasan yang secara perlahan mulai meningkat intensitas dan frekuensinya.
Hal ini bisa terjadi karena pemicu stres eksternal seperti masalah keuangan, tantangan interpersonal di tempat kerja atau lingkungan lain, atau tantangan kesehatan. Perilaku yang ditujukan pelaku kekerasan biasanya berupa ledakan emosi, mudah tersinggung, tidak sabar, dan gampang marah.
Saat ketegangan mulai terlihat, korban kekerasan mulai merasa cemas. Korban biasanya mulai berhati-hati dengan kata-kata dan tindakan yang dilakukan demi meredakan ketegangan pelaku pelecehan dan mencegah insiden kekerasan.
Insiden kekerasan
Insiden kekerasan terjadi karena masalah-masalah di fase ketegangan tak dapat diatasi. Tahap ini merupakan upaya pelaku kekerasan secara terang-terangan mendapatkan kembali kuasa dan kendalinya.
Insiden kekerasan bisa saja berbeda antar satu hubungan dengan hubungan lain. Ini dapat mencakup:
- intimidasi
- ancaman kekerasan
- memecahkan barang-barang di rumah
- penghinaan, pemanggilan nama, dan kekerasan verbal lainnya
- kekerasan fisik
- kekerasan seksual
- mempermalukan dan menyalahkan
- taktik manipulasi seperti perlakuan diam atau gaslighting
- penghinaan
- isolasi sosial
- penyalahgunaan keuangan
- pengabaian emosional
Tahap insiden bisa meningkat pada setiap siklus. Misal, di awal siklus hanya terjadi intimidasi dan penghinaan. Namun lama kelamaan bisa terjadi kekerasan fisik.
BACA JUGA:
Rekonsiliasi
Setelah kejadian pelecehan, pelaku merasa ketegangannya mulai mereda. Hal ini bisa menjadi pengalaman yang sangat bertolak belakang bagi korban kekerasan. Setelah ketegangan mereda, pelaku merasa ingin memperbaiki perilakunya. Pelaku akan meminta maaf, menghujani korban dengan kasih sayang, atau berjanji tidak akan melakukan kekerasan lagi.
Selama fase ini, pasangan yang melakukan kekerasan akan tampak benar-benar menyesali perbuatannya dan berkomitmen memperbaiki diri. Karena rasa peduli, tak heran jika korban cenderung mempercayai apa yang dikatakan pelaku dan memberi pelaku kesempatan lagi.
Ada kemungkinan pelaku kekerasan mulai melakukan hal-hal yang terkesan romantis, suportif, dan penuh kasih sayang selama tahap rekonsiliasi.
Tenang
Selama fase tenang, pasangan akan terus memberikan perhatian. Namun, Anda akan melihat perubahan sifat pasangan dari yang awalnya menyesal jadi membela diri. Perilaku kasar biasanya diminimalisir dalam fase ini. Tapi Anda akan melihat pasangan mulai melakukan hal-hal seperti;
- mengalihkan tanggung jawab atas kekerasan tersebut (“Saya minta maaf, tapi ini semua karena si anu.”)
- membenarkan perilakunya (“Jika dia tidak melakukan itu, saya tidak akan begitu marah.”)
- bertindak gaslighting (“Itu sebenarnya bukan masalah besar.”)
Korban kekerasan biasanya dibuat bingung pada fase ini. Pasalnya, pasangan seperti ingin memperbaiki keadaan, tapi seperti ada nada menampik yang tak bisa dipahami. Setelah masa tenang, ada kemungkinan korban mengalami ketegangan lagi, karena siklus pelecehan kembali dimulai.
Dari laman Psych Central, Rabu, 18 Oktober, disebutkan bahwa tahapan kekerasan mungkin tak selalu sama bagi semua orang. Tapi yang pasti, model ini dapat membantu menggambarkan bagaimana perilaku kekerasan dalam hubungan dapat terjadi dan berulang seiring berjalannya waktu.