JAKARTA - Viral banyak pelajar di Ponorogo yang diduga hamil di luar nikah membuat prihatin. Beberapa diantaranya bahkan dengan berani meminta dispensasi untuk melangsungkan pernikahan.
Para pelajar tersebut diketahui melakukan hubungan seks tersebut ketika rumah sedang kosong ataupun di hotel tempat wisata. Rendahnya edukasi kesehatan reproduksi, terutama di masa kini, amat berbahaya bagi remaja, karena sifatnya yang masih ingin coba-coba dan mudah terbujuk.
Psikolog Klinis Anak dan Remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjojo menyatakan bahwa perlu ada keterbukaan komunikasi dalam keluarga saat membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
“Sangat disayangkan hal ini masih terjadi, apalagi di usia dimana anak masih seharusnya membangun dirinya sendiri dulu, bukan membangun keluarga,” kata Vera dikutip dari Jakarta, Selasa, 17 Januari.
Vera mengaku miris, karena seharusnya para pelajar di bawah umur tersebut, masih bisa mengembangkan berbagai potensi dan kemampuan yang ada dalam dirinya. Ia menduga maraknya seks bebas di kalangan pelajar tersebut, disebabkan oleh orang tua yang sibuk bekerja, sehingga kurang mengawasi anak dan kurangnya pendidikan seks, akibatnya anak kurang mawas dalam menjaga diri.
“Di samping pendidikan agama dan pengawasan orang tua, sebenarnya pendidikan seks juga penting,” katanya.
BACA JUGA:
Oleh karenanya, orang tua harus bisa membangun pola asuh yang membuat anak nyaman untuk bercerita mengenai apapun, termasuk hal yang berkaitan dengan rasa ingin tahu akan seks, berpacaran, aktivitas di media sosialnya, juga hubungan dengan temannya.
Menurut Vera, anak sangat membutuhkan akses keterbukaan untuk membicarakan kesehatan reproduksi. Remaja perlu mengetahui konsekuensi dari suatu perbuatan hingga cara menghindarinya.
Sebab, remaja kemungkinan akan menghadapi tekanan dari teman atau pacarnya jika melakukan penolakan. Maka dari itu, diharapkan orang tua tidak ragu memberikan edukasi kesehatan reproduksi pada anak, tentunya tetap beriringan dengan kaidah-kaidah pendidikan agama.
Diharapkan orang tua dapat memberikannya sedini mungkin sebelum pubertas agar anak lebih mawas dan antisipatif karena sudah tahu konsekuensi/akibat dari suatu tindakan.
“Di sini orang tua perlu membantu anak untuk mencari cara menolak dan lebih fokus pada mengembangkan kelebihan diri yang dimiliki,” ujarnya.
Saat memberikan edukasi kesehatan reproduksi, orang tua bisa menciptakan suasana nyaman guna membangun sebuah momen bicara santai dengan anak secara rutin, untuk membuat pengawasan terhadap apa yang terjadi di dunia anak.
Vera menambahkan edukasi kesehatan reproduksi merupakan tanggung jawab semua pihak. Sekolah misalnya, dapat membantu orang tua memberikan edukasi tersebut melalui sesi rutin di sekolah. Guru juga harus membuat para pelajar merasa memiliki akses untuk sekadar bertanya atau berdiskusi.
“Tanggung jawabnya tidak hanya pada pemerintah, tapi semua pihak, orang tua terutama, sekolah, lingkungan masyarakat, sosial media, dan platform lainnya yang dikonsumsi remaja. Semuanya bertanggung jawab atas pendampingan dan memberikan input yang sesuai dengan usia anak,” ujarnya.