Bagikan:

JAKARTA - Rasanya baru kemarin album The Beast dirilis dan bikin heboh jagat musik Tanah Air. Tahun ini, usia band rock Edane sudah menginjak angka 30. Tak dimungkiri, tanpa sosok yang satu ini, Edane tidak mungkin bisa bertahan dan melahirkan karya-karya cadas berkualitas. Dialah Eet Sjahranie.

Lahir di Bandung, 3 Februari 1962 dengan nama Zahedi Riza Sjahranie, Eet Sjahranie mulai menyukai musik ketika tinggal di kota Samarinda saat ikut ayahnya yang menjabat Gubernur Kalimantan Timur.

Eet Sjahranie adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara. Saat berusia sekitar enam tahun, dia belajar gitar pada seorang tukang parkir di depan sekolahnya. Sejak saat itu, Eet Sjahranie belajar gitar akustik secara otodidak.

Eet Sjahranie mengaku, awalnya dia bingung untuk memilih instrumen apa yang akan digelutinya. Akhirnya. dia memilih gitar setelah hatinya tergugah melihat Koes Plus. “Melihat aksi panggung Yok dan Yon Koeswoyo menjadi kenikmatan bagi diri saya,” ujar Eet Sjahranie satu saat dikutip dari beberapa sumber.

Perkenalan Eet Sjahranie dengan gitar elektrik terjadi ketika ayahnya membelikan sebuah gitar Yamaha SG di hari ulang tahunnya. Bersamaan dengan itulah musik rock mulai merasuki jiwanya. Dengan gitar elektrik, dia mulai tahu sound-sound ‘aneh’. Referensi musiknya pun sedikit demi sedikit mulai bertambah. Bukan hanya lagu-lagu Indonesia, tapi juga lagu-lagu Barat seperti milik Deep Purple, Led Zeppelin, dan The Beatles.

Tahun 1978, masa jabatan ayahnya sebagai gubernur selesai dan Eet Sjahranie pun diboyong hijrah ke Jakarta. Di bangku SLTA, Eet Sjahranie membentuk sebuah band rock bernama Cikini Rock Band. Adapun Cikini Stone Complex - cikal bakal Slank - adalah band adik kelas Eet Sjahranie di Perguruan Cikini.

Cikini Rock Band kemudian mengikuti festival SLTA se-Jakarta. Tak disangka, Eet Sjahranie dapat gelar gitaris terbaik. Di situlah dia bertemu Iwan Madjid yang kemudian mengenalkannya kepada Fariz RM dan Darwin. Tak lama, mereka sepakat membentuk grup band bernama WOW. Tapi sayang, tak lama kemudian, Eet Sjahranie malah pergi ke Amerika.

Di Negeri Paman Sam, Eet mengambil workshop recording sound engineering di Chillicote, Ohio selama tiga bulan. Di sana dia dikabarkan belajar langsung dengan gitaris-gitaris top dunia semacam Steve Vai dan Eddie Van Halen. Tapi, sang legenda membantah pernah berguru kepada dua virtuoso gitar dunia itu.

Eet Sjahranie menegaskan, dirinya baru tahu nama Eddie Van Halen ketika dia tinggal di Amerika. Bahkan hingga detik ini, dia tidak tahu bagaimana memainkan lagu Eruption yang ada di dalam album debut Van Halen.

Di Amerika, Eet Sjahranie bertemu kawan-kawan lamanya, antara lain Fariz RM, Iwan Madjid, serta Ekki Soekarno. Dan ketika kembali ke Indonesia, pada 1988 dia bergabung dalam band pengiring Fariz RM bernama Superdigi. Selain itu, dia juga sempat bergabung dengan Ekki Soekarno, menggarap album Kharisma I dan Kharisma II, dan singgah di band Cynomadeus bersama Iwan Madjid.

Saat menggarap album Ekki Soekarno, Eet Sjahranie bertemu Yockie Suryo Proyogo yang lantas mengajaknya untuk masuk ke God Bless, menggantikan Ian Antono. Suntikan tangan Eet Sjahranie dalam album Raksasa (1989) berhasil mengubah God Bless jadi band yang lebih segar dan garang. Tak ada lagi lagu-lagu bernuansa rock progresif ala Genesis seperti dalam Huma di Atas Bukit, misalnya.

Selain menjadi player, Eet Sjahranie juga ditawari produser rekaman untuk menggarap beberapa proyek bergenre rock. Salah satunya, proyek duo bernama ‘EdanE’ bersama vokalis Ecky Lamoh. Namun, karena saat itu ada duet lain bernama ‘IdanI’ (Ian Antono & Ikang Fawzi), Eet Sjahranie mengurungkan niatnya dan lebih memilih untuk membentuk band hard rock bernama Edane. Duo ini lantas dilengkapi oleh Fajar Satritama (drum) dan Iwan Xaverius (bas).

Bersama Edane, Eet Sjahranie mencurahkan segala kemampuannya dalam bermain gitar. Impiannya menjadikan musik rock Indonesia - paling tidak secara musikal sama kualitasnya dengan grup-grup rock dari Barat - berusaha dia wujudkan. Hasilnya, semua orang mengakui, Eet Sjahranie sukses menciptakan musik rock yang bermutu. Cabikan jemarinya yang berteknik tinggi serta eksperimen distorsi sound-nya yang kaya dalam album-album Edane membuat banyak orang berdecak kagum. 

Kini, Edane tinggal menyisakan dua personel orisinal; Eet Sjahranie dan Fajar Satritama. Adapun personel lainnya adalah Ervin Nanzabakri (vokal) dan Hendra Zamzami (bass). Dengan formasi ini, Eet Sjahranie dkk akan terus menggeber musik-musik cadas untuk memanjakan kuping para penggemarnya. Baginya, tidak alasan untuk menurunkan kadar distorsi dalam lagu-lagu Edane. Itulah Eet Sjahranie, jawara gitar yang selalu jadi sosok spesial bagi pecinta musik rock Indonesia.