JAKARTA – Misophonia adalah rasa marah, jengkel, atau cemas setelah mendengar suara sehari-hari. Suara sehari-hari dalam konteks ini, misalnya bersin, batuk, bersendawa, suara napas, suara mencecap makanan, hingga suara permen karet.
Rasa kesal pada suara tertentu tersebut di atas, membuat tidak nyaman. Misophonia bahkan dapat membuat seseorang tidak hanya merasakan tekanan mental tetapi juga fisik. Apa yang menyebabkan seseorang mengalami misophonia?
Dilansir PsychCentral, Senin, 21 Februari, para peneliti mempelajari bahwa misophonia berkaitan dengan kerja neuron di otak. Peka terhadap suara hingga memicu respons tertentu, ada tiga definisi, salah satunya misophonia. Dalam DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder 5th Edition), misophonia tidak termasuk diagnosis formal. Namun para peneliti telah mengusulkan kriteria untuk mendiagnosis fenomena ini.
Selain misophonia, terdapat kondisi sensitif terhadap suara yang didefinisikan secara berbeda. Pertama, hyperacusis ialah sensitivitas atau toleransi rendah tentang suara dalam volume tertentu. Kedua, phonophobia ialah ketakutan akan suara-suara tertentu.
Gejala misophonia akan berbeda-beda pasa setiap orang. Tetapi ada tanda-tanda fisik dan emosional yang umum dialami. Tanda tersebut merupakan respons terhadap suara tertentu, misalnya bersin dan batuk. Reaksi terhadap suara berulang ini, tidak harus datang dari orang lain. Ada juga seseorang dengan misophonia yang merasa kesal dengan suara sengau hewan.
BACA JUGA:
Gejala fisik yang dialami orang dengan misophonia antara lain tekanan di dada, berkeringan, peningkatan denyut jantung, keinginan untuk menghentikan suara, meniru suara tersebut, hingga menghindari situasi di mana suara yang membuatnya terganggu. Seseorang mungkina akan terus-menerus waspada jika suara tersebut muncul. Bahkan bisa memicu reaksi tertentu.
Sebuah studi dilakukan tahun 2021 menyelami penyebab misophonia. Salah satunya adalah aktivitas neuron yang meniru seolah-olah melakukan tindakan yang menyebabkan suara. Respons ini berada di luar kendali sehingga impuls bekerja secara spontan.
MIsophonia bukan gangguan kecemasan, pula tidak masuk dalam ketegori gejala kecemasan. Tetapi orang-orang dengan misophonia dapat merespons suara dengan gejala kecemasan. Nah, orang dengan gangguan obsesif-kompulsif (OCD) mungkin mengalami sensitivitas suara. Menurut pendapat peneliti, misophonia yang berdiri sendiri merupakan aspek intoleransi sensorik.
Cara untuk mengobati misophonia, dengan mengelola rasa marah, cemas, dan jengkel. Dengan bantuan profesional kesehatan mental, kepekaan diri terhadap suara tertentu bisa diatasi.