JAKARTA - Bagi Nurul Arifin, putri kesayangannya akan selalu indah dikenang. Meninggal dunia pada Selasa, 25 Januari, Maura Magnalia kini telah dimakamkan di Sandiego Hills.
Bagi Nurul, ini sudah takdir yang tak bisa ditolak. Dia ingin memberikan yang terbaik untuk terakhir kalinya bagi Maura. "Ini sudah berjalan dari kemarin, prosesinya sesuai dengan kepercayaannya. Ini puncak dimakamkannya, sudah selesai," ujar Nurul Arifin di Karawang, Jabar, Rabu, 26 Januari.
Menurut Nurul, Maura adalah korban pandemi. "Masa pandemi saya rasa bukan cuma anak saya. Yang biasanya main nggak bisa main. Yang biasanya sekolah nggak bisa ke sekolah. Dia kan sedang mengambil S2 di Sidney University, sejak awal sekolah tidak bisa ke Autralia. Dia ambil online sampai selesai. Rencananya Maret wisuda, namun anaknya sudah tidak ada," kenang Nurul.
Maura, lanjutnya, adalah sosok yang cerdas dengan caranya sendiri. "Maura itu sangat unik, ekspresif, tapi karena keterbatasan yang membuat terakumulasi semua kekecewaan. Maura mungkin gambaran dari kita semua. Ini salah satu contoh frustrasi yang berkepanjangan. Ya sudahlah, dia sudah menemukan surganya," terang Nurul.
BACA JUGA:
Salah satu bukti kecerdasannya adalah buku tulisan Maura yang sudah siap cetak dan diterbitkan. "Dia sudah mencari penerbit, beberapa penerbit ada yang berminat. Sekilas yang dia ceritakan pada kami, buku itu agak kontroversial. Memang Maura tidak mainstream, karena sekolah S2 dengan culture studies. Kebudayaan baru di masa kini, yang kami di generasi dulu nggak pernah membayangkan bakal ada studi yang mendobrak banyak tatanan, mengevaluasi pemikiran dan tatanan lama. Dan itu ternyata diterima," kata Mayong.
Yang membuat Nurul Arifin bangga, Maura Magnalia lulus dengan pujian. "Dia lulus dengan excelent, thesisnya dapat nilai 100 dari dosennya," katanya.