Bagikan:

JAKARTA - Di era kekinian, menjalankan bisnis konveksi jadi makin menantang. Pertama, soal pandemi COVID-19. Yang kedua, soal derasnya produk impor China berharga murah. Tantangan itu begitu berat, bagi para pengusaha konveksi hingga tukang-tukang tukang jahit. Kami mendatangi kawasan konveksi Kota Bambu di Palmerah, Jati Pulo, Jakarta Barat untuk melihat langsung bagaimana tekanan ini berlangsung.

 [Klik untuk Menambah Rasa]

Selasa, 2 Februari, pukul 14.00 WIB, kami tiba di lokasi. Di kawasan ini kami menemukan puluhan usaha konveksi yang memproduksi berbagai macam pakaian dan aksesori, termasuk dalaman kerudung ragam jenis: ciput bandana, ciput ninja, hingga ciput turban.

Kawasan ini termasuk wilayah padat penduduk di Jakarta. Deretan usaha konveksi di sana berdiri di antara gang-gang sempit berukuran satu sepeda motor. “Selamat datang di kampung literasi,” begitu mural yang kami lihat di tembok saat memasuki area padat Kota Bambu.

Jalan masuk ke kawasan Kota Bambu (Detha Arya Tifada/VOI)

Di sekitar, anak-anak bermain. Ibu-ibu bertukar cerita. Dan yang pasti, geliat pedagang makanan hidup berlalu-lalang. Usai memarkir sepeda motor di Masjid An-Nur, kami masuk ke salah satu rumah konveksi bernama Khanza, yang memproduksi kerudung dan berbagai aksesorisnya. Rumah konveksi Khanza terdiri dari tiga lantai. Ukuran yang cukup besar di sini.

Seorang pria menyapa, menanyakan maksud kedatangan kami. Mahabrata, namanya. Ia adalah pemilik konveksi Khanza. Bagi Brata, konveksi adalah bisnis turun-temurun. Keluarganya telah memulai tradisi usaha konveksi sejak 2000-an awal.

Rumah konveksi Khanza (Detha Arya Tifada/VOI)

Perbincangan kami dengan Brata terjadi di tengah kinerja mesin-mesin jahit yang suaranya dapat Anda dengar. Brata yang telah memulai usaha konveksi sejak tahun 2010 mengungkap beratnya menjalani usahanya kini. Ada yang bertahan, ada juga yang memerkecil risiko dengan menekan produksi. Dan yang paling adaptatif adalah mereka yang geser ke daring.

Tekanan pertama dari usaha ini adalah pandemi COVID-19, sebagaimana dialami bisnis lain. Pandemi COVID-19 membuat mereka jatuh. Kedua, yang lebih spesifik dan membuat mereka tertimpa tangga adalah derasnya impor tekstil murah dari China. Brata hampir habis. Ia yang semula punya tiga rumah konveksi, kini menyisakan satu, dengan enam pegawai yang jadi denyut nadinya.

“Harusnya pemerintah bisa mengatur regulasi itu, harga. Dia menentukan pasar. Kalau memang ada barang impor dari luar, gimana pemerintah mengatur harga antara pedagang lokal dan pedagang luar enggak terlalu jauh beda. Jadi kita bisa bersaing harga di situ. Gimana kalau barang impor itu harganya bisa Rp1.500 sampai Rp2.000, (sementara) kita beli bahan sendiri, jahit sendiri. Kita masih harus modal Rp10 ribu, gimana kita bisa bersaing?” ungkapnya.

Derita yang dialami Brata turun langsung ke para penjahitnya. Mereka yang sebelumnya mendapat upah mingguan Rp2,5 juta, kini hanya mengantongi Rp500 sampai Rp600 ribu saja. Salah satu penjahit, Ruslan menceritakan keresahannya.

Pria yang jauh merantau dari Palembang itu sadar penjualan item konveksi sedang turun drastis. Hal itu yang jadi penyebab menurunnya produksi, yang tentu berimplikasi pada penghasilannya. Ruslan mengaku dahulu ia biasa menjahit bahan hingga ratusan potong per hari.

Ruslan (Detha Arya Tifada/VOI)

Kata Ruslan, mereka benar-benar membutuhkan dukungan kebijakan dan regulasi dari pemerintah. Bukan apa-apa, Ruslan sebagai pelaku di industri konveksi telah mengamati bahwa secara kualitas, barang mereka tak kalah dengan barang impor. Namun, perbedaan harga yang terlampau jauh membuat mereka gigit jari.

Hal yang sama diungkap penjahit lainnya, Abdul. Pria asal Pekalongan itu mengungkap hal senada. Memang, ia jauh lebih optimis dari yang lain. Ia yakin bisnis konveksi dapat bertahan dengan segala tantangan yang ada. Tapi, tanpa dukungan pemerintah, berat rasanya.

“Kalau penjahit itu tergantung konveksinya ramai apa enggak. Kalau ramai bisa ngalahin orang-orang yang gajinya UMR. Itu nilai plusnya kalau lagi ramai. Ngalahin orang-orang yang gajinya bulanan. Jeleknya, kalau sepi, ini bingung ngapain,” Abdul.

Membangun bisnis konveksi

Kembali ke kisah Brata. Ia menuturkan bagaimana jatuh bangunnya membangun bisnis konveksi. Jawabannya begitu 'Ketuhanan'. Secara spiritual dirinya yakin bisnis konveksi adalah jalan Tuhan bagi ia dan sebagian besar anggota keluarganya yang lain. Ia yakin, dengan izin Tuhan pula dirinya bisa bertahan. Namun, seperti yang dikatakan penjahitnya, Abdul: berat.

Brata memulai bisnis konveksi dari membuka sebuah toko di Thamrin City. Awalnya ia cuma penjual. Ia memasok dagangannya dari produsen lain. Usaha itu berkembang hingga Brata pun menggeluti lapangan produksi.

 “Sampai dalam perjalanan itu, abang gue yang satunya diundang lagi. Jadi, keluarga itu, satu-satu ditarik dari Palembang, dari Sumatera. Tarik satu, tarik satu. Sampai terakhir gue masuk. Tahun 2010 gue masuk, usaha sudah lumayanlah. Maksudnya (keluarga) kita sudah berani sewa toko. Ya keluarga-keluarga semua. Kita enggak ada kasih kepercayaan sama orang. Bukannya enggak mau. Tapi karena memang keluarga kita banyak yang enggak ada kerjaan. Jadi, ngajak-ngajak keluarga aja,” kata Brata.

Abdul, salah satu penjahit yang dipekerjakan Brata (Detha Arya Tifada/VOI)

Brata dan keluarga membangun ekosistem bisnis mereka, yang meski kecil tapi mandiri. Seluruh toko yang dikelola keluarga Brata hanya memasok barang yang diproduksi rumah-rumah konveksi mereka sendiri.

Mengawali itu pun bukan langkah ringan. Di tahun 2000-an awal, hanya dua anggota keluarga yang memulai: ibu dan kakak tertua Brata. Perlahan, usaha itu dilebarkan kepada kakak perempuan Brata dan Brata sendiri.

Ada satu hal yang menurut Brata membuat bisnis keluarganya maju: taste. Brata dan keluarganya peka memantau perkembangan item-item fesyen. Hal itu yang menurut Brata jadi jalan menuju kejayaan.

Puncaknya, Brata sampai memiliki tiga rumah konveksi dengan 70-80 penjahit, mereka termasuk tukang potong, tukang lipat, hingga tukang kemas. Keuntungan yang didapat Brata pun meningkat berkali-kali lipat.

Brata memiliki toko fisik di Thamrin City untuk menjual langsung barang ke konsumen. Berbicara keuntungan, penjualannya secara grosir bisa mencapai 40 juta di hari-hari pasar (Senin sampai Kamis).

Di luar hari pasar (Jumat dan Sabtu), penjualan ritelnya menghasilkan keuntungan Rp5 sampai Rp6 juta. Kini, turun drastis. Dari Rp40 juta, kini pendapatannya di hari-hari pasar berkisar di Rp1 sampai Rp2 juta.

JURNALISME RASA LAINNYA