Eksklusif Vice President KAI Aprillia Supaliyanto: Yang Paling Ditakutkan Koruptor adalah Kemiskinan
Para koruptor di negeri ini seperti tak ada jera-nya. Padahal mereka yang menduduki jabatan publik, menteri, anggota dewan, petinggi partai, dan pengusaha yang terjerat kasus korupsi dan OTT (operasi tangkap tangan) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah tak terhitung. Menurut Vice President Kongres Advokat Indonesia (KAI Pimpinan Erman Umar), Aprillia Supaliyanto MS, SH, CLA, perlu upaya lebih serius untuk meminimalisir laku korupsi. Salah satunya adalah upaya pemiskinan. Kenapa pemiskinan? Karena koruptor paling takut dengan kemiskinan.
***
Seperti kata pepatah, patah tumbuh hilang berganti. Tertangkap satu koruptor muncul lagi koruptor berikutnya. Hukuman yang sudah diterapkan bagi para koruptor tampaknya tak membuat calon koruptor berikutnya takut. Baru dipublikasikan seorang tertangkap OTT KPK tak lama kemudian ada lagi yang tertangkap. Belum lama ini Wali Kota Bandung Yana Mulyana tertangkap tangan oleh KPK karena menerima suap pengadaan CCTV dan jasa penyediaan jaringan internet pada 14 April 2023 lalu.
Yang tak kalah mengejutkan meski tidak terjaring OTT KPK adalah dugaan korupsi yang dilakukan Menteri Komunikasi dan Informasi Jhonny G. Plate dengan nilainya Rp 8 triliun lebih. Dan masih banyak kasus korupsi lainnya yang sudah inkrah dan yang masih dalam proses persidangan.
Pertanyaannya apa yang menjadi motivasi seseorang mau melakukan tindakkan korupsi? Menurut teori GONE yang dikemukakan Jack Bologne, ada beberapa alasan seseorang mau melakukan tindak korupsi. Yaitu Greedy (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan).
Sedangkan menurut teori CDMA dari Robert Klitgaard, korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan monopoli yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas. Jadi Corruption = Directionary + Monopoly + Accountability (CDMA).
Saol laku korurpsi ini Aprillia punya pandangan sendiri. “Menurut pengamatan saya ada beberapa hal menyebabkan orang korupsi. Pertama pelakunya memang punya mental tak baik. Kedua, ada peluang yang memungkinkan untuk melakukan kejahatan itu. Dan yang ketiga hukum yang diterapkan untuk terpidana korupsi ternyata tak memberikan efek jera bagi orang lain,” ujarnya.
Para koruptor, kehidupan mereka terbilang layak. Dengan jabatan yang disandang ia punya gaji yang cukup untuk hidup. Namun keserakahan membuat mereka merasa kurang sehingga tergiur untuk melakukan tindak pidana korupsi. “Yang paling ditakutkan oleh pelaku tindak pidana korupsi adalah ketika mereka menjadi miskin. Soalnya mereka itu mentalnya serakah, ingin hidup hedon dengan fasilitas yang berlebih,” kata Aprillia Supaliyanto kepada Iqbal Irsyad, Edy Suherli, Savic Rabos, Rifai dan Irfan Medianto saat bertandang ke kantor VOI Media belum lama berselang. Inilah petikannya.
Bagaimana Anda mengamati proses penegakan hukum di Indonesia belakangan ini?
Dalam UUD 1945 Indonesia ini sudah dijelaskan sebagai negara hukum. Tapi dalam keyataannya apakah negara kita sudah menjadi negara hukum dalam implementasinya? Ini pertanyaan besar yang harus kita jawab. Bicara tentang persoalan hukum, sejak dulu sudah ada. Cuma yang menjadi perhatian mengapa akhir-akhir ini persoalan hukum itu luar biasa. Dalam bahasa saya complicated dan menjadi-jadi.
Yang lebih menyedihkan, persoalan hukum besar yang amat menyentuh rasa keadilan itu dilakukan oleh kalangan atas. Ini tak lepas dari; satu tatanan hukum di Indonesia, kedua manajerial penegakan hukum di Indonesia. Dan yang ketiga berkaitan dengan mentalistik dari pejabat hukum di Indonesia.
Soal tatanan hukum, di Indonesia ada tiga lembaga hukum; Kepolisian, Kejaksaan dan KPK, bagaimana Anda melihat ketiga lembaga ini, apakah sudah harmonis hubungannya?
Saat ketiga lembaga ini harmoni, dalam arti tupoksinya masing-masing berjalan. Koordinasi untuk menyelaraskan fungsinya masing-masing, akan bisa menekan banyak terjadinya kasus hukum, terutama yang melibatkan orang-orang penting dan public figur. Ini penting, saat ketiga lembaga ini disharmoni akan terjadi potensi untuk saling menjatuhkan, berebut kasus, dll. Sekarang kita bisa melihat sendiri bagaimana ketiga lembaga ini seperti bersaing satu sama lain. Padahal yang kita harapkan mereka itu bersinergi.
Mengapa banyak kasus hukum itu melibatkan public figure, orang penting dan pejabat negara?
Soal ini tak lepas dari bagaimana pemerintah harus merekrut pejabat publik secara benar. Ukurannya kapasitas, kapabilitas dan integritas. Track record-nya seperti apa ini akan memengaruhi mental sebagai pejabat publik. Ini bisa menjadi koreksi bersama agar bisa dieliminir, kasus hukum itu tak terulang.
Korupsi sebagai kejahatan luar biasa masih menjadi momok, menurut pengamatan Anda mengapa perkara korupsi ini masih terjadi dan terjadi lagi?
Kita sudah punya UU dan lembaga super-body yaitu KPK dan dalam tugasnya sudah banyak yang ditangkap oleh KPK melalui OTT atau di luar itu. Pertanyaannya kok terjadi lagi dan terulang terus meski sudah banyak yang ditangkap, ini kan tak menjerakan. Menurut pengamatan saya ada beberapa hal menyebabkannya pertama pelakunya memang punya mental tak baik. Kedua, ada peluang yang memungkinkan untuk melakukan kejahatan itu. Dan yang ketiga hukum yang diterapkan untuk terpidana korupsi ternyata tak memberikan efek jera bagi orang lain.
Ke depan saya mengusulkan syarat untuk menjadi pejabat publik, karena mereka ini yang selama ini kerap tertangkap korupsi, harus melibatkan berbagai unsur. Tak hanya kapasitas, kapabilitas dan integritas, libatkan juga tokoh agama di daerah tersebut. Mereka ini bisa memberikan masukan soal akhlak calon pejabat itu.
Soal efek jera yang tidak terjadi, bagaimana penerapan pasal-pasal yang ada di UU Tindak Pidana Korupsi menurut Anda?
Selama ini ada pidana mati pada pelaku tindak pidana korupsi, apakah sudah diterapkan? Ada juga soal pemiskinan untuk mereka yang tertangkap, apakah sudah diterapkan? Yang paling ditakutkan oleh pelaku tindak pidana korupsi adalah ketika mereka menjadi miskin. Soalnya mereka itu mentalnya serakah, ingin hidup hedon dengan fasilitas yang berlebih. Soal pidana mati memang masih menjadi pro dan kontra. Dalam sistem hukum kita pidana mati itu masih dimungkinkan. Yang menjadi catatan, tujuan pemidanaan itu bukan untuk balas dendam, tapi untuk menjerakan. Untuk kepentingan bangsa dan penjeraan, hukuman maksimal memunginkan dikenakan. Jadi upaya ini bisa mengurangi tindak pindana korupsi. Negara tidak bisa diam, harus men-support kalau hal ini sudah menjadi kesepakatan bersama.
Selain penindakan bagaimana dengan upaya pencegakan laku korupsi selama ini?
Upaya penindakan dan pencegahan mestinya seiring sejalan. Satu sisi ada penindakan dan sisi lain ada upaya untuk mencegah. Lembaga penegak hukum harus melakukan keduanya. Tapi tidak hanya Kepolisian, Kejaksaan dan KPK, rakyat dan pemerintah juga harus punya andil dalam pencegahan laku korupsi ini. Karena itu saya apresiasi sekali pada salah seorang capres yang mengusulkan konsep untuk mencegah tindak korupsi. Semoga ini bisa diikuti oleh capres yang lain.
Pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD saat RDPU dengan Komisi III DPR RI dalam kasus transaksi illegal Depkeu beberapa waktu yang lalu sudah mendesak agar DPR meluluskan RUU soal perampasan aset pelaku korupsi, tapi itu belum ada realisasinya?
Saya kira itu adalah concern Pak Menko Polhukam yang merupakan representasi pemerintah. Sekarang bola sudah di tangan DPR, kita lihat saja seperti apa kelanjutannya. Apakah DPR punya cukup nyali untuk menggolkan RUU itu. Saya yakin kalau UU ini jadi, para pelaku korupsi itu asetnya bisa dirampas negara, mereka menjadi miskin. Dan ini akan menjadi efek jera. Orang jadi berpikir ulang untuk korupsi. Soalnya kalau tertangkap nanti hasilnya akan dirampas negara. Kalau meniru gaya China dan negara lainnya, yang menghukum mati pelaku korupsi, saya yakin akan dipersoalkan karena dianggap melanggar HAM.
Soal hak politik juga harus kita kritisi, ada terpidana korupsi yang usai menjalankan hukuman disambut seperti pahlawan, dia juga bisa langsung terjun lagi di pentas politik, bagaimana dengan hal ini?
Orang-orang di republik ini aneh. Bagaimana seorang terpidana korupsi yang terbukti dan meyakinkan, inkrah sampai Mahkamah Agung, bahkan sampai PK. Artinya saat proses peradilan dia tidak bisa membuktikan sebaliknya. Jadi dia bersalah dong. Tiba-tiba selesai hukuman dia disambut seperti pahlawan, ini yang salah siapa? Pelaku korupsinya atau cara berpikir masyarakat kita? Masyarakat harus diedukasi, jangan orang yang sudah terbukti korupsi diberi panggung lagi.
SEE ALSO:
Belum lama ini ada seorang Advokat : Stefanus Roy Rening (Kuasa Hukum Lukas Enembe) yang menjadi tersangka dugaan perintangan penyidikan, bagaimana Anda melihat persoalan ini?
Advokat itu adalah pekerjaan profesional yang terikat pada nilai-nilai. Setidaknya ada tiga aspek yang harus dimiliki seorang advokat, pertama keilmuan (knowledge), keahlian (skill) dan sikap (attitude). Yang banyak terjadi pada para advokat itu adalah persoalan etika atau attitude. Sehebat apa pun seorang lawyer atau advokat, saat dia melupakan attitude atau adab, maka dia bukan siapa-siapa. Jadi kontrol seorang advokat itu ada pada etika atau adab, ilmu dan skill bisa dicari. Namun adab atau etika harus terus diasah.
Soal advokat yang sampai menjadi tersangka dan dulu ada yang terpidana, ini terkait dengan hak imunitas seorang advokat. Memang kami dilindungi hak imunitas yang diatur UU tentang advokat, tapi itu ada parameternya. Yaitu itikad baik. Kenapa harus dikoridori dengan hal ini. Agar para advokat itu tidak berlaku seenaknya sendiri dengan berlindung di balik hak imunitas tadi. Dalam menangani perkara korupsi kita diintai oleh pasal 21 UU No 31/1999 yang telah diubah menjadi UU no 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Makanya harus berhati-hati ketika memberikan advise kepada klien. Jangan sampai saran kita tidak mencerahkan dan menyelesaikan perkaranya. Kita saat menerima kuasa dari klien dibenarkan wajib melakukan tindakan apa pun sepanjang dibenarkan oleh hukum.
Apa upaya yang dilakukan advokat atau lawyer terhadap intaian pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu?
Kami sudah melakukan upaya untuk merevisi UU yang mengancam profesi advokat dan lawyer. Soalnya kami ini juga penegak hukum, bedanya kami tidak menggunakan fasilitas negara. Kami butuh UU Advokat yang kuat yang memproteksi profesi kami. Ke depan kami harapkan ada equalitas antara advokat dengan Jaksa, Polisi dan KPK. Jadi kalau sudah equal bisa berkolaborasi dalam menegakkan hukum. Tidak ada niat untuk menghalang-halangi penyidikan sepanjang semua dilakukan secara jernih dan objektif. Saya yakin kalau hal ini dijalankan tak akan ada kasus seperti seorang advokat yang menjadi tersangka itu.
Selama ini apakah penegak hukum sudah melibatkan organisasi advokat saat ada kasus advokat menjadi tersangka?
Itulah yang sebenarnya yang kami harapkan. Kami organisasi advokat itu ada kode etik dan dewan etik. Mereka punya wewenang untuk memeriksa apakah advokat itu melanggar etik atau tidak. Tinggal bersurat ke organisasi advokat tempat advokat itu bernaung.
Dengan kondisi negara kita sekarang ini bagaimana optimisme Anda dalam pemberantasan korupsi ke depan?
Kita pegang teguh kalau kita ini negara hukum, jangan hukum dijadikan sarana untuk menyandera lawan politik. Hukum harus menjadi panglima. Ke depan kita berharap akan ada pemimpin yang bisa meneguhkan kembali Indonesia sebagai negara hukum. Kalau kondisi itu sudah terjadi kita optimis pemberantasan korupsi bisa dilakukan.
Aprillia Supaliyanto, Antara Kuliner, Organisasi dan Keluarga
Berburu kuliner adalah kegemaran yang dilakoni Vice President Kongres Advokat Indonesia (KAI Pimpinan Erman Umar) Aprillia Supaliyanto MS, SH, CLA, sejak muda. Sembari melakoni hobinya mengendarai sepeda motor, ia akan berburu kuliner di berbagai tempat di kota Yogyakarta. Kepala kambing, sate kambing, dan aneka olahan lainnya dari kambing adalah makanan favoritnya. Namun setelah lewat setengah abad, ia harus berkompromi.
“Kalau sudah ketemu kepala kambing yang diolah dengan dengan bumbu rempah dan bahan tertentu, lezatnya bukan main. Di Jogja saya punya langganan Warung Sate Klatak Pak Pong. Waktu saya masih usia di bawah 50 semua saya sikat,” kata Anto begitu dia biasa disapa soal kegemarannya itu.
Sekarang bagaimana? “Saya harus tahu diri, usia tak bisa dilawan. Karena keadaan dan kesehatan saya harus mengerem hobi saya mengonsumsi daging kambing dan olahan lainnya. Saya sekarang beralih ke ikan laut yang lebih bersahabat untuk kesehatan. Namun sesekali saya nyicipin juga daging kambing meski dalam porsi yang sedikit,” ujar pria yang lahir di Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, 24 April 1964.
Selain kuliner hobi yang sejak belia ia lakoni adalah berorganisasi. “Lewat organisasi kita berinteraksi dengan kawan-kawan, bertukar pikiran, termasuk membangun jejaring. Ini juga sarana untuk memberikan sumbangsih pada kehidupan,” ujar pentolan Young Lawyers Club (YLC) Yogyakarta ini.
Tak terbendung hanya di Yogyakarta, berikutnya Anto berkiprah di kancah nasional. Di organisasi Kongres Advokad Indonesia (KAI), ia sempat menempati posisi sebagai Sekjen. Dan kini ia duduk sebagai Vice President. “Banyak hal bisa kita perjuangkan lewat organisasi,” kata alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Bekerja sebagai Hobi
Bagi Anto, bekerja sebagai seorang advokat adalah hobi. Karena itu ia amat menikmati profesi dan pekerjaanya yang berkutat dengan dunia hukum. “Saya bekerja itu sebagai hobi. Jadi bukan sekadar tuntutan pekerjaan semata,” katanya.
Karena pekerjaan dilakoni sebagai hobi, tak ada rasa capek. “Teman-teman saya heran dan bertanya kepada saya, apa tidak capek bepergian ke sana ke mari. Bolak-balik Jogja – Jakarta sudah lebih dari 29 tahun. Saya bilang engga, saya menikmati semua ini. Niat saya jalan-jalan sambil bekerja,” kata pria yang keluarganya menetap di kota Kota Gudeg.
Saking asyik bekerja ia sempat mendapat sindiran yang amat menohok tapi bikin geli dari anak-anaknya. “Suatu kali saya pulang ke Jogja disambut dengan spanduk. Wah saya exited sekali dong. Jarang anak-anak saya menyambut saya dengan spanduk segala. Setelah spanduknya dibuka ternyata isinya apa? Anak saya menulis kan ucapan; Selamat Datang Bang Toyib,” katanya terkekeh.
Sadar mendapat sindiran dari anak-anaknya karena lebih banyak berada di luar kota daripada bersama mereka, akhirnya Anto membayar kelalaiannya. “Saya akhirnya menebus kesalahan itu dengan beberapa hari engga ke luar kota,” katanya.
Setelah keadaan normal, Anto kembali ke rutinitas semua. “Saat ada aktivitas di luar kota baik itu pekerjaan sebagai advokat atau organisasi ya saya jalankan lagi. Cuma yang penting tak putus komunikasi dengan istri dan anak-anak,” katanya.
Quality Time
Sadar waktunya untuk anak dan istri tak banyak. Anto lebih mengutamakan kualitas pertemuan. “Pokoknya kalau ada kesempatan berkumpul dengan anak-anak saya akan lakukan. Ya sekadar pergi makan bersama, mengobrol untuk mengetahui perkembangan sekolah mereka. Saya maksimalkan sekali waktu yang ada. Pokoknya quality time deh,” katanya.
Anto tak membatasi anaknya bergaul dengan teman-temannya. Caranya dia harus mengetahui dengan siapa anaknya berteman dan di mana kediaman teman anaknya. “Anak-anak saya berteman dengan siapa saja saya harus tahu. Saya juga punya nomor telepon teman anak-anak saya. Jadi kalau ada apa-apa tinggal kontak saja,” ujar Anto yang mengajarkan keterbukaan kepada anak-anaknya termasuk dalam berteman.
Bahkan ada salah seorang teman anaknya yang terus terjalin komunikasi meski dia sudah berdomisili di London, Inggris. “Ada anak saya yang bersahabat dengan temannya dari TK sampai besar. Hampir setiap malam telpon-telponan meski sudah tinggal jauh di London. Jadi hubungannya terus terjalin,” ungkapnya.
Kalau teman-teman anaknya berkumpul di rumah ia sering nimbrung. “Rumah saya terbuka untuk berkumpul, saat teman-teman anak saya bikin acara di rumah saya suka nimbrung, ngorol bareng. Saya bilang kalian harus saling ingatkan, saling support dan harus sama-sama sukses. Jadi engga ada jarak meski saya ini ayahnya,” tambahnya.
Ia juga termasuk sosok yang demokratis dan siap menerima kritik dari-anak-anaknya. “Saya tidak anti kritik. Saya bilang ke anak-anak saya, silahkan kritik kalau bapak keliru. Tapi kritiknya harus dengan sopan dan tetap dengan etika. Jadi saya bangun iklim keterbukaan, dialog dan perdebatan di rumah,” kata Aprillia Supaliyanto.
"Yang paling ditakutkan oleh pelaku tindak pidana korupsi adalah ketika mereka menjadi miskin. Soalnya mereka itu mentalnya serakah, ingin hidup hedon dengan fasilitas yang berlebih,"