Rencana pemerintah untuk memberlakukan cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) mendapat tanggapan serius dari Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim), Triyono Prijosoesilo. Menurutnya, pemerintah harus mengkaji dari mana sesungguhnya asupan gula yang dikonsumsi masyarakat. Tidak adil melimpahkan 'kesalahan' kepada produsen MBDK sehingga harus membayar cukai minuman berpemanis.
***
Pemerintah memiliki alasan mengapa menerapkan cukai MBDK yang akan berlaku pada tahun 2024 ini. Salah satu alasannya adalah meningkatnya penyakit tidak menular (PTM) dalam beberapa dekade terakhir. Menurut data dari WHO (Noncommunicable disease country profiles 2018, Geneva, Switzerland, 2018) yang dilansir di laman www.unicef.org, PTM menyumbang 73% risiko kematian, sebuah angka yang tidak bisa dianggap enteng.
Dalam kurun waktu yang sama, juga terjadi peningkatan drastis kasus obesitas atau kelebihan berat badan yang merupakan faktor risiko utama PTM, termasuk diabetes, penyakit kardiovaskular, dan stroke. Pemicu utamanya adalah pola makan yang mengonsumsi makanan dan minuman yang tinggi gula, garam, dan lemak yang tidak sehat secara berlebihan. Produknya adalah MBDK atau sugar-sweetened beverages (SSBs), minuman non; alkohol seperti minuman ringan, jus buah/sayuran, minuman energi dan olahraga, teh dan kopi siap minum, serta susu berasa yang mengandung kadar gula tinggi (WHO, Taxes on sugary drinks: Why do it? Together Let’s Beat NCDs).
Itulah mengapa pemerintah menyasar MBDK dengan mengenakan cukai. Harapannya, perlahan-lahan konsumen akan terbiasa sehingga bisa mengonsumsi MBDK dalam ukuran yang wajar menurut standar kesehatan. 'Kami tahu tujuan pemerintah itu untuk mengelola kesehatan masyarakat agar bisa lebih baik. Namun menuduh MBDK sebagai penyebab utama dengan menerapkan cukai itu perlu dikaji lebih dalam,' kata Triyono Prijosoesilo.
Dia berargumentasi, sumber asupan gula masyarakat tidak hanya dari minuman, tetapi juga dari sumber lainnya. 'Jika pemerintah hanya fokus pada minuman siap saji, tujuan besarnya tidak akan tercapai. Jadi jika ini diterapkan, kami dari produsen minuman siap saji akan terdampak. Artinya, dikenakan beban tambahan bayar cukai, harga jual akan meningkat. Karena ini bukan produk primer, masyarakat akan lari jika harga naik. Secara prinsip, kebijakan ini kurang tepat. Jadi kami belum siap,' papar kepada Edy Suherli, Bambang Eros, dan Irfan Medianto dari VOI yang menemuinya di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan belum lama ini. Berikut adalah petikan selengkapnya.
Kapan Asrim berdiri dan seperti apa perkembangannya sekarang?
Asrim ini berdiri sejak 1977, didirikan oleh tiga pemilik perusahaan minuman terkemuka di Indonesia, yaitu Coca-Cola, Aqua, dan Teh Botol. Ketiganya bersatu untuk membentuk asosiasi minuman ringan dan berharap bisa menjadi rujukan bagi pengusaha minuman siap saji lainnya. Setelah asosiasi ini terbentuk, banyak pengusaha yang bergabung dalam Asrim hingga saat ini. Asosiasi ini terus eksis sampai sekarang.
Setelah melewati pandemi COVID-19 yang lalu, bagaimana pertumbuhan industri minuman dalam kemasan di Indonesia saat ini?
Tahun 2023, pertumbuhannya secara total kurang lebih 3%. Jika kita cermati lebih lanjut, pertumbuhan itu disumbang oleh Air Minum dalam Kemasan (AMDK). Namun, kategori lainnya seperti minuman karbonasi, jus, teh, dll., pertumbuhannya masih negatif. Jadi jika kita kurangi pertumbuhan AMDK, pertumbuhannya menjadi -2,6%. Dari sudut kinerja industri, masih belum stabil, belum kembali seperti sebelum pandemi COVID-19. Inilah pekerjaan rumah kami di organisasi dan juga pelaku usaha ini.
Untuk produk minuman dalam kemasan, dari yang diproduksi berapa banyak yang diekspor dan berapa banyak diserap pasar dalam negeri?
Tipikal produk minuman dalam kemasan ini tidak cocok untuk diekspor. Lebih banyak digunakan untuk memenuhi pasar dalam negeri karena bentuknya cairan dan berat, sehingga jika dipaksakan untuk diekspor, harganya tidak kompetitif karena biayanya sudah mahal.
Perlu dicatat, Indonesia sendiri memiliki wilayah yang luas dengan 270 juta penduduk, ini adalah pasar yang sangat besar. Bahkan pasar dalam negeri saja belum bisa dipenuhi sepenuhnya. Target kami, pelaku usaha minuman dalam kemasan bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Tingkat konsumsi masyarakat Indonesia masih di bawah negara lain, jadi peluang untuk bertumbuh masih sangat besar.
Pandemi membuat banyak usaha terganggu, bagaimana dengan anggota Asrim, apa kiat untuk bangkit lagi?
Awal pandemi pada tahun 2020, penjualan kami turun drastis. Namun, pada tahun 2021 dan 2022, penjualan mulai naik meskipun pandemi belum berakhir. Tetapi, kenaikan selama dua tahun tersebut tidak cukup untuk menutupi kerugian yang terjadi pada tahun 2020. Jika ditotal, pertumbuhan hanya impas, dengan kata lain, pertumbuhan nol. Pada tahun 2023, terjadi pertumbuhan sebesar 3%, namun ini terjadi hanya dalam satu kategori, yaitu AMDK. Dari data tersebut, jelas masih ada tantangan bagi kami, dan kami harus fokus untuk mengembangkan usaha ke depan agar bisa lebih baik lagi.
Apa saja tantangan yang dihadapi pelaku usaha minuman dalam kemasan?
Tantangan terbesarnya adalah bahwa minuman dalam kemasan ini bukan merupakan kebutuhan pokok, berbeda dengan sembako yang selalu dibutuhkan dalam berbagai kondisi. Minuman siap saji masuk dalam kategori produk sekunder, bukan primer. Jadi, setelah orang memiliki daya beli yang cukup, mereka memiliki pilihan untuk alasan kepraktisan, keamanan pangan, dan juga rasa yang berbeda. Mereka akan memilih AMDK. Namun, jika daya beli masyarakat turun, mereka akan fokus pada belanja sembako, sementara minuman dalam kemasan akan diganti dengan produk yang lebih biasa. Inilah tantangan terbesar kami.
Bicara soal menjaga daya beli, itu bukan tugas kami dari asosiasi, tugas itu menjadi tanggung jawab pemerintah. Selama ini, 50% konsumsi dalam negeri berasal dari domestik. Harapan kami, pemerintah bisa menjaga daya beli masyarakat.
Dari asosiasi, apakah ada kolaborasi dengan pemerintah atau pihak luar saat akan melakukan inovasi produk?
Sebagai asosiasi, kami terus menyampaikan fakta-fakta di lapangan agar bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan mereka. Di satu sisi, yang kita lakukan secara internal adalah memastikan bahwa produk kami itu kompetitif. Enggak bisa kalau mahal, tapi kami juga sebagai suatu perusahaan harus berusaha untuk tetap untung agar bisa menjalankan usaha, membayar gaji karyawan, dan lain-lain. Jadi kreativitas kami sebagai produsen dituntut bagaimana membuat produk yang sesuai dengan keinginan konsumen, baik dari sisi harga maupun kualitas.
Pemerintah akan menerapkan cukai untuk minuman berpemanis, bagaimana sikap anggota Asrim?
Wacana ini sudah cukup lama digulirkan dan diangkat di media. Ini adalah upaya pemerintah untuk ikut menjaga kesehatan masyarakat. Pendapat kami, pemerintah harus melihat lebih dalam, apakah ini adalah kebijakan yang tepat. Karena minuman siap saji itu masuk kategori pangan olahan. Data dari IPB 2019 mengungkapkan masyarakat Indonesia mengonsumsi pangan non-olahan 70% sianya 30% pangan olahan. Dari 30% itu, salah satunya ada minuman dalam kemasan.
Dalam konteks ini yang dibidik adalah isu gula atau kalori. Kalau mau lebih detail, kalori yang dikonsumsi publik itu datang dari mana saja. Selain minuman, banyak produk makanan yang juga mengandung gula. Kalau pemerintah hanya fokus pada minuman siap saji saja, tujuan besarnya tidak akan tercapai. Jadi kalau ini diterapkan, kami dari produsen minuman siap saji akan terdampak. Artinya, dikenakan beban tambahan bayar cukai. Artinya, harga jual akan meningkat. Karena ini bukan produk primer, masyarakat akan lari jika harga naik. Secara prinsip, kebijakan ini kurang tepat.
Jadi sebagai ketum Asrim, apa yang Anda harapkan?
Kalau tujuannya mengelola risiko kesehatan, mari kita duduk bersama. Kembali lagi, sumber kalori masyarakat itu bukan hanya dari minuman dalam kemasan atau minuman siap saji. Masih banyak sumber makanan lain yang menjadi penyuplai kalori. Dan itu dengan mudah bisa didapat oleh publik.
Kalau soal kesiapan, anggota Asrim seperti apa?
Berdasarkan data pertumbuhan dan perkembangan tiga tahun terakhir, kita belum siap. Apalagi di tahun 2023 yang mengalami pertumbuhan itu hanya AMDK, yang lainnya masih minus dan daya beli masyarakat masih tergerus. Jadi kita belum siap. Kalau dipaksakan cukai minuman berpemanis di tahun 2024 ini, saya yakin kinerja kami akan anjlok. Apalagi tahun 2025, pemerintah akan menaikkan PPN dari 11% menjadi 12%, artinya seluruh produk yang dipasarkan akan naik harga. Produk kita ini mayoritas dijual di warung-warung yang tidak punya status perpajakan. Kalau ada kompensasi PPN, mereka tidak bisa menikmati. Jadi ini berat sekali bagi kami.
BACA JUGA:
Dengan problem ini, apakah bisa diatasi dengan cara diversifikasi usaha?
Soal diversifikasi, atau dalam istilah kami deformulasi, misalnya dengan produk rendah gula atau diet, merupakan upaya kami untuk mengurangi gula. Ini sudah ada di pasaran, tapi memang belum banyak. Faktanya, konsumen Indonesia suka yang manis, jadi untuk mengubah kebiasaan yang ada selama ini butuh proses. Perlu edukasi dan itu tidak sebentar. Dan itu butuh biaya. Sebagai contoh, di Perancis, mereka mengurangi gula pada minuman siap saji bertahap sampai kadar yang dianggap sehat.
Langkah lain yang kami lakukan adalah menampilkan FOP (front of pack) di kemasan minuman. Informasi kandungan yang ada di minuman kemasan. Harapannya dengan informasi itu, mereka akan mengetahui berapa banyak gula yang sudah mereka konsumsi dari makanan dan minuman.
Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) mewajibkan pedagang makanan dan minuman, baik UMKM maupun pedagang kaki lima (PKL) mengantongi sertifikasi halal sebelum 18 Oktober 2024. Apa tanggapan Anda?
Dari sisi kami, sudah cukup siap. Alhamdulillah, anggota Asrim sudah punya sertifikasi sejak lama. Dengan label halal yang baru sekarang, kami berharap sertifikasi yang sudah ada tidak hilang. Yang agak sulit itu, usaha kecil dan rumahan atau UMKM, mereka perlu mendapat dukungan dari pemerintah. Bagaimana pemerintah, dalam hal ini BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal), bisa membantu UMKM.
Apakah produsen minuman dalam kemasan di Indonesia sudah bisa bersaing dengan produsen dari negara lain?
Kita tidak kalah dengan negara lain. Produksi dalam negeri sudah bisa menjadi favorit masyarakat Indonesia. Memang ada produk tertentu yang diimpor, tapi jumlahnya tidak banyak. Itu lebih karena keunikan produknya. Yang dominan tetap perusahaan minuman lokal. Inovasi produsen minuman dalam kemasan di tanah air cukup bagus, dan perlu dicatat, tidak ada satu perusahaan pun yang bisa mendominasi semua kategori. Artinya, terjadi kompetisi yang intens di sektor ini.
Momen Ramadan dan Idulfitri, berapa besar kontribusinya dalam penjualan secara sepanjang tahun?
Dalam setahun, ada dua momen yang paling penting, yaitu Ramadan - Idulfitri, yang bisa mencapai 30%, dan akhir tahun Natal dan Tahun Baru. Sisanya tersebar di antara dua momen itu. Kalau digambarkan dengan kurva, saat musim Ramadan - Idulfitri, kurvanya naik, setelah itu melandai. Dan menjelang akhir tahun, kurvanya naik lagi. Setelah itu, melandai lagi, dan seterusnya.
Apakah ada program Asrim untuk meningkatkan mutu produksi anggota?
Mewakili asosiasi, kami sering menghadiri pertemuan, seminar, atau simposium dari organisasi sejenis di tingkat regional dan juga internasional. Kami sering membawa isu-isu yang dibahas di pertemuan itu untuk ditularkan kepada para anggota. Misalnya, soal kemasan yang ramah lingkungan, karena ini sudah menjadi isu global bahwa sektor industri makanan dan minuman juga harus peduli pada penyelamatan lingkungan.
Triyono Prijosoesilo, Terapkan Konsep Keseimbangan dalam Hidup
Di tengah kesibukan sebagai seorang profesional dan juga Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim), Triyono Prijosoesilo berupaya menerapkan konsep keseimbangan dalam menjalankan hidupnya. Seperti menyeimbangkan penggunaan waktu antara pekerjaan dan keluarga. Konsep keseimbangan juga ia terapkan dalam olahraga dan makanan yang ia konsumsi sehari-hari.
"Sebagai seorang profesional, setiap hari selalu ada rutinitas yang saya kerjakan di kantor dan urusan organisasi. Tapi bagaimana menyikapinya, kesibukan itu menurut saya sesuatu yang harus disyukuri. Alhamdulillah, itu adalah bagian dari proses kita sebagai manusia untuk berkarya dan memberikan kontribusi kepada banyak orang," kata pria kelahiran 1 Januari 1970 ini.
Di tengah kesibukan itu, ia berusaha membagi perhatian antara pekerjaan dan keluarga. Dalam pandangan Triyono, harus ada keseimbangan antara pekerjaan dan memberikan perhatian untuk keluarga. "Harus punya waktu untuk keluarga dan juga untuk diri sendiri agar bisa nyaman," ujarnya.
Dan waktu itu bagi dia bersifat fleksibel. "Bisa di akhir pekan menyisihkan waktu untuk keluarga atau saat ada tugas di luar kota. Usai misi utama, saya minta keluarga menyusul di tempat saya beraktivitas. Lalu kami menikmati waktu bersama dengan pergi ke tempat wisata atau mencari kuliner di daerah itu," papar Tri yang sempat belajar di SMA Negeri 70 Jakarta ini.
Dalam momen bulan Ramadan, Triyono menyempatkan diri untuk berbuka bersama dengan istri dan anaknya. "Tempatnya bisa di rumah atau di rumah makan yang disepakati bersama," kata Tri yang melanjutkan studi di MacArthur High School, Texas Amerika Serikat lalu melanjutkan kuliah di University of North Texas, Texas (1986 - 1992).
Apa yang ia lakukan ini amat berarti, dan memberikan keseimbangan dalam hidupnya. Juga memberikan rasa segar dan semangat baru di awal pekan setelah melewati akhir pekan yang penuh makna bersama orang tersayang.
Olahraga Sesuai dengan Umur
Dalam urusan olahraga bagi Triyono Prijosoesilo, tidak ada muda ataupun tua. Semua umur harus berolahraga dengan kadar yang sesuai. Namun, haruslah sadar diri jika usia sudah tidak muda lagi. "Dulu saya hobi lari dan bersepeda. Tapi sekarang, seiring bertambahnya usia, saya menghindari olahraga yang berat. Sekarang saya hanya berjalan kaki," kata pria yang sering bepergian ke daerah dan manca negara karena tugas kantor dan organisasi.
Untuk menambah keseruan dan keakraban, ia tidak melakukannya sendirian. Acara jalan kaki dilakukan bersama istri tercinta. "Kalau di hari biasa, kami hanya berjalan-jalan di sekitar rumah selama 30 sampai 60 menit. Namun, jika sudah akhir pekan, kami bisa berjalan lebih jauh. Bisa pergi ke arena car free day di Jakarta, durasi bisa sampai 3 jam," tambah Director of Public Affairs, Communications, and Sustainability PT Coca-Cola Indonesia ini.
Dalam hal makanan, Triyono juga menerapkan konsep keseimbangan. "Saya tidak akan menghindari secara total makanan yang ditakuti banyak orang, tapi berusaha menguranginya. Contohnya, saya suka sekali makan durian. Namun, tidak mungkin melakukannya setiap hari. Biasanya, hanya dua bulan sekali," ungkapnya.
Makanan lain yang sudah dikurangi adalah jeroan. "Tetapi jika ingin, saya masih mengonsumsi hidangan dari paru atau babat yang sering dibuat soto. Jadi harus tahu diri dan berimbang," ujar Triyono yang suka mencari makanan lokal saat ada tugas di luar kota.
Diakui Triyono, yang harus dia tambah adalah asupan buah dan sayur. "Saya selama ini memang kurang sekali makan buah dan sayur. Jadi target saya adalah lebih banyak makan sayur dan buah agar seimbang," lanjutnya.
Waktu untuk Keluarga
Komunikasi menjadi kunci bagi Triyono Prijosoesilo agar terjadi keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga. "Saya selalu berkomunikasi dengan keluarga tentang kalender kegiatan saya sehari-hari," katanya.
Dari situlah ia dan keluarga bisa merencanakan kegiatan bersama. "Kegiatan bersama itu bisa nonton film, makan, olahraga, atau aktivitas lainnya bersama anak dan istri," kata bapak satu anak.
Dalam hal menonton film, meskipun ia suka genre misteri, aksi, dan fiksi sains, namun ia bisa berkompromi dengan yang ditonton oleh istri dan anaknya. "Kadang-kadang anak saya mengajak nonton anime, ya saya ikut. Jika tidak mengerti, tinggal tanya anak saya. Kali lain, nonton drama Korea dengan anak dan istri," kata Triyono yang rela mengalah demi kebersamaan dengan keluarga.
Dengan konsep keseimbangan itulah Triyono Prijosoesilo menjalani hari-harinya dengan gembira. Soal durasi memang relatif, bagi dia yang penting adalah quality time. Waktu yang singkat pun bisa bermakna ketika dimanfaatkan dengan optimal.
"Tipikal produk minuman dalam kemasan ini tidak cocok untuk dieskpor. Lebih banyak untuk memenuhi pasar dalam negeri. Karena bentuknya cairan dan berat, kalau kita paksakan eskpor produk kita harganya tidak kompetitif karena sudah mahal ongkos transpornya,"