Bagikan:

Dengan jumlah penduduk yang besar dan tersebar di ribuan pulau dari Sabang hingga Merauke, Indonesia, kata Ketum INACA (Indonesia National Air Carriers Association - Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia) Denon Prawiraatmadja, adalah pasar yang amat menjanjikan. Namun, sampai saat ini, baru 6 persen penduduk Indonesia yang bisa menikmati moda transportasi udara ini.

***

Jika dibandingkan dengan moda transportasi lain seperti angkutan darat; bus dan KA, dan kapal laut, transportasi udara masih lebih mahal. Karena itu wajar bagi masyarakat miskin naik pesawat udara masih menjadi mimpi. Menurut Denon Prawiraatmadja, sampai saat ini penduduk Indonesia yang mencapai 270 juta lebih, yang bisa menggunakan moda angkutan udara seperti pesawat dan helikopter masih sangat kecil. “Dari jumlah penduduk kita yang besar, baru 6 persen yang bisa memanfaatkan transportasi udara,” ujarnya.

Hal ini disebabkan karena untuk naik pesawat, biayanya masih lebih tinggi dibandingkan moda transportasi lain. “Artinya, daya beli masyarakat kita masih lemah. Dengan membaiknya perekonomian, diharapkan prosentase masyarakat yang bisa menggunakan angkutan udara bisa terus bertambah,” katanya.

Ke depan tantangan yang harus dilalui pelaku idustri penerbangan adalah dekarbonisasi dan penggunaan EBT. Karena itu, secara bertahap penggunaan bio avtur yang merupakan blended fuels harus terus ditingkatkan prosentasenya. Sebab, setelah tahun 2050, maskapai yang tidak menggunakan EBT akan dikenakan pajak karbon. “Artinya itu akan menambah ongkos produksi. Kalau sudah begini, masyarakat juga yang akan terbebani,” ujarnya.

Pemanfaatan minyak jelantah sebagai bahan yang dapat diolah menjadi bio avtur kata Denon Prawiraatmadja menjadi salah satu solusi. Selain itu, penggunaan bahan lain untuk sumber EBT masih terus dilakukan. “Selain CPO, saya dengar Pertamina sedang mengembangkan penggunaan tebu dan jagung untuk blended aviation fuels ini. Semoga upaya ini bisa membantu membuat bumi kita ini lebih baik,” katanya kepada Edy Suherli, Savic Rabos, dan Irfan Medianto saat bertandang ke kantor VOI di bilangan Tanah Abang Jakarta Pusat, belum lama berselang. Inilah petikannya.

Indonesia kata  Ketum INACA Denon Prawiraatmadja punya pasar penerbangan yang besar, baru 6 persen penduduk yang bisa menikmati layanan penerbangan. (Foto Savic Rabos, DI Raga VOI)

Indonesia kata  Ketum INACA Denon Prawiraatmadja punya pasar penerbangan yang besar, baru 6 persen penduduk yang bisa menikmati layanan penerbangan. (Foto Savic Rabos, DI Raga VOI)

Selama pandemi COVID-19, industri penerbangan dunia mati suri. Sekarang situasi sudah melandai, apakah keadaan sudah pulih seperti sebelumnya?

Alhamdulillah, setelah COVID-19 melandai, keadaan berangsur-angsur membaik. Dari sisi permintaan terus meningkat mendekati seperti sebelum pandemi terjadi. Namun, dari sisi kapasitas pesawat yang bisa disediakan maskapai belum pulih, baru sekitar 70 persen saja dari kapasitas yang bisa disediakan sebelum pandemi. Berdasarkan kajian yang dilakukan INACA dan Universitas Padjadjaran Bandung, sektor penerbangan lokal ini baru akan pulih benar di tahun 2024. Sedangkan untuk pasar internasional sekitar 2025.

Kalau begitu, prospek industri penerbangan ini cerah?

Indonesia ini negara kepulauan, penerbangan bisa menjadi pilihan untuk transportasi bisnis, dinas, atau liburan. Jadi prospeknya cerah, apalagi pasar domestik kita besar.

Apa saja tantangan terbesar dalam dunia penerbangan Indonesia dan juga dunia saat ini?

Tantangan itu ada banyak, tapi kalau saya garisbawahi ada beberapa; pertama dari sisi biaya. Dari segi market dengan 270 juta jiwa lebih penduduk adalah market yang menjanjikan. Tantangannya hampir sebagian besar pesawat yang kita gunakan produk asing, seperti buatan Boeing dan Airbus yang terbesar. Ada juga pabrikan lain seperti Embraer, Cessna, dll. Dominasi pendapatan maskapai kita masih dalam rupiah, sedangkan mata uang negara pabrikan berbeda. Ini adalah tantangan tersendiri saat nilai tukar mengalami fluktuasi. Ini menyumbang sekitar 30 persen biaya produksi maskapai (leasing).

Tahun 2007 Indonesia meratifikasi Capetown Convention. Kalau kita meratifikasi perjanjian itu, ketika beli pesawat pembayarannya bisa dengan skema operating leasing. Kalau tidak meratifikasi kita harus bayar tunai. Ini amat kondusif untuk industri penerbangan kita.

Apalagi tantangan berikutnya?

Setelah biaya leasing, ada 30 persen lagi tantangan dari biaya bahan bakar pesawat; avtur. Selama ini kita amat tergantung pada Pertamina untuk pengadaan avtur, kami harus mengucapkan terima kasih. Cuma harapan kami Pertamina bisa hadir dengan harga yang kompetitif. Dalam rangka bahan bakar berkelanjutan dengan isu dekarbonisasi, Pertamina juga harus mendukung.

Untuk masa yang akan datang, penggunaan EBT (energi baru dan terbarukan) kata Ketum INACA  Denon Prawiraatmadja adalah keniscayaan. Maskapai yang tak menerapkan EBT di tahun 2050 akan dikenai pajak karbon. (Foto Savic Rabos, DI Raga VOI)

Untuk masa yang akan datang, penggunaan EBT (energi baru dan terbarukan) kata Ketum INACA  Denon Prawiraatmadja adalah keniscayaan. Maskapai yang tak menerapkan EBT di tahun 2050 akan dikenai pajak karbon. (Foto Savic Rabos, DI Raga VOI)

Apakah pelaku industri penerbangan sudah mengoptimalkan peluang ini?

Tahun 2018, penumpang di bandara seluruh Indonesia tercatat sebanyak 190 juta/tahun untuk domestik. Dari 270 lebih bandara, 35 bandara yang dioperasikan Angkasa Pura. Tapi dari jumlah penduduk kita yang besar, baru 6 persen yang memanfaatkan transportasi udara. Pertanyaannya mengapa baru sebesar itu yang menggunakan transportasi udara? Karena untuk naik pesawat itu biayanya masih lebih tinggi dibandingkan moda transportasi lain. Artinya daya beli masyarakat kita masih lemah. Jadi harus susun lagi cost structure-nya agar lebih terjangkau oleh masyarakat. Antara operator penerbangan dan operator bandara harus duduk bersama membuat road-map agar sektor ini lebih efisien. Ini tantangan yang harus dilalui agar prosentase publik yang menggunakan transportasi udara meningkat.

Pemerintah akan menjadikan negara kita ini sebagai negara tujuan wisata. Kami dari sektor penerbangan amat mendukung upaya ini. Kalau sektor pariwisata berkembang, dampaknya akan sangat luas. Dari sektor penerbangan akan meningkatkan trafik, berbagai pihak yang terlibat juga akan merasakan dampaknya. Semua potensi wisata, dari budaya, alam, kuliner, dan lain-lain harus dikembangkan secara simultan.

Situasi perkotaan yang macet, seperti Jakarta, juga peluang yang tak kalah besar, apakah anggota asosiasi sudah mengoptimalkannya?

Selain commercial airlines (penerbangan berjadwal), ada juga general aviasi seperti private jet dan helikopter, yang penumpangnya di bawah 20 orang. Di kota yang padat dan macet seperti Jakarta, memang harus menyelenggarakan angkutan seperti helikopter, drone, VTOL (Vertical Take of Landing). Cuma regulasinya memang harus dikaji ulang. Seperti helikopter, jam operasinya baru jam 6 pagi sampai jam 6 sore, untuk malam hari belum diizinkan terbang. Mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa terbang malam. Terutama untuk kepentingan medis dan saat kecelakaan, itu penting sekali agar sektor ini bisa tumbuh. Saat ini tercatat sekitar 35 operator carter untuk helikopter, yang melayani penerbangan di Jakartan dan sekitarnya ada 3 atau 4 saja.

Kendaraan terbang otonom akan meramaikan angkasa Indonesia, peluang dan tantangannya sebesar apa? Apakah regulasi soal ini sudah disupport pemerintah?

VTOL adalah produk penerbangan yang berubah dari mekanik ke digital, dari penggunaan energi fosil menjadi baterai. Artinya ini terus bertransformasi suka atau tidak akan digunakan di masa mendatang. Di Amerika dan Eropa masih mensyaratkan pilot dalam produk penerbangan ini. Jadi belum boleh murni otonom.

Untuk saat ini, bagaimana pangsa pasar untuk private jet, berapa banyak yang beroperasi di Indonesia dan siapa saja pemain untuk sektor ini?

Untuk yang dikelola oleh perusahaan yang bernaung di bawah INACA ada sekitar 35 operator. Dari sisi layanan ada yang memberikan layanan medis dan VIP. Nilainya besar terutama untuk sektor medis. Saat pasien membutuhkan pelayanan cepat, private jet bisa menjadi alternatif.

Kecelakaan pesawat terbang komersial masih sering terjadi, faktor apa yang paling dominan dalam kecelakaan pesawat, bagaimana meminimalisir hal ini?

Kalau tidak salah data di KNKT, 98 persen penyebab kecelakaan adalah human factor. Teknologi digital yang berkembang sekarang bisa membaca dan memberikan masukan misalnya soal komponen yang tidak berfungsi atau ada yang berfungsi tapi tidak maksimal. Jadi fitur-fitur yang ada di pesawat dan helikopter era sekarang sudah sangat canggih. Selain itu, kami dari asosiasi juga menjalin kerja sama dengan produsen pesawat untuk memberikan training kepada pilot untuk materi yang tidak diantisipasi sebelumnya.

Apakah penggunaan teknologi baru seperti artificial intelligence (AI) sudah diimplementasikan?

Untuk saat ini belum. Yang terjadi saat ini adalah transisi dari mekanik ke digital dan untuk bahan bakar dari energi fosil / avtur ke blended avtur (bio avtur).

Sampai saat ini, pilot Susi Air belum juga dibebaskan, bagaimana Anda melihat hal ini?

Kami prihatin sebagai asosiasi, sebagai Ketum INACA, saya menyampaikan rasa prihatin. Susi Air adalah anggota kami. Instansi terkait masih berupaya mencari solusi untuk membebaskan pilot yang disandera. Semoga upaya yang dilakukan ada hasilnya.

Soal pemanasan global dan emisi karbon menjadi isu yang menarik, bagaimana industri penerbangan menerapkan EBT dalam operasionalnya?

Tahun 2050 semua operator penerbangan harus menggunakan EBT. Yang tidak akan dikenai pajak karbon. Itu artinya peningkatan biaya bagi maskapai dan secara tidak langsung akan membebani masyarakat. Secara bertahap, bio avtur harus digunakan sampai 2050 benar-benar menggunakan EBT. Jadi ke depan industri penerbangan menggunakan bahan bakar yang berkelanjutan atau sustainable aviation fuels.

Saat ini bagaimana harga bio avtur?

Inilah yang menjadi concern kami, harga blended aviation fuels itu harus terjangkau oleh maskapai. Kalau tidak, akan membebani masyarakat yang akan terdampak. Jadi dekarbonisasi tercapai namun menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Penduduk Indonesia makin jauh lagi untuk dapat menikmati sarana transportasi udara.

Saat ini harapan ada pada pemanfaatan UFO (used cooking oil) atau minyak jelantah yang dikumpulkan dari restoran-restoran. Neste Singapore saat ini salah satu produsen yang memproduksi bio-fuels dan digunakan oleh berbagai maskapai.

Indonesia ini negara produsen CPO terbesar di dunia, apakah masih ada masalah untuk menghasilkan bio avtur?

Secara ekonomi, UFO masih lebih murah dari CPO. Soalnya yang satu adalah bahan yang sebelumnya dibuang sedangkan yang satunya bahan yang baru. Selain CPO, saya dengar Pertamina sedang mengembangkan penggunaan tebu, jagung, dan juga UFO untuk blended aviation fuels ini.

Kanibalisme kadang terjadi di dunia otomotif saat sebuah komponen atau suku cadang sulit ditemukan, apakah ini juga terjadi di dunia penerbangan? Kalau ya, bagaimana meminimalisirnya?

Saat ini, dari semua suku cadang yang ada, hampir 49 persen masuk dalam kategori larangan dan pembatasan. Saat melakukan impor suku cadang, harus ada ACC dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perhubungan. Permasalahannya, misalnya baut, kita bisa membuatnya. Cuma produsen baut kita tidak mensertifikasi ke pabrikan seperti Airbus atau Boeing. Jadi tidak bisa digunakan untuk kedua pabrikan itu. Akhirnya, untuk impor baut saja butuh waktu sampai 3 pekan. Makanya terjadi kanibalisme. Namun sepanjang historical record ada, praktik seperti ini masih bisa ditoleransi.

Tak Hanya Olahraga, Denon Prawiraatmadja Belajar Banyak Hal dari Golf

Bagi Ketum INACA Denon Prawiraatmadja golf bukan sekadar olahraga, banyak hal yang bisa ia dapatkan melalui golf. (Foto Savic Rabos, DI Raga VOI)

Bagi Ketum INACA Denon Prawiraatmadja golf bukan sekadar olahraga, banyak hal yang bisa ia dapatkan melalui golf. (Foto Savic Rabos, DI Raga VOI)

Bagi pria yang menjabat sebagai Ketua Umum INACA (Indonesia National Air Carriers Association - Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia), olahraga golf adalah aktivitas penting yang ia lakukan di luar tugas rutin di kantor. Ada alasan kuat mengapa Denon Prawiraatmadja memilih golf sebagai olahraga.

Selain manfaat berolahraga, ia juga bisa belajar banyak hal dari permainan golf. Hal itu bisa dia implementasikan dalam kehidupan nyata di kantor dan aktivitas pribadi, serta saat membina hubungan dengan anaknya.

“Saya memang hobi bermain golf. Anak laki-laki saya juga punya hobi yang sama. Kami bermain golf di akhir pekan,” ujar Denon yang mengidolakan pegolf Rory McIlroy.

Bagi Denon, dengan bermain bersama anaknya dia bisa membangun keakraban dengan buah hatinya. “Saya mencoba membangun dan menguatkan bonding dengan anak saat bermain golf itu,” kata Denon yang mulai mengajak anaknya – Luca Adriano Prawiraatmadja -- bermain sejak dia berumur 9 tahun dan kini sang anak sudah berusia 14 tahun.

Ada satu kebanggaan saat ia bisa mengajari sendiri anaknya bermain golf dari nol sampai akhirnya bisa bermain bersama. “Kalau saya bisa main golf bermain bersama teman atau relasi itu biasa. Tapi saat saya bisa bermain bersama anak saya, itu kebanggaan tersendiri. Itu sesuatu banget kata anak sekarang. Artinya apa yang saya lakukan selama ini mengajari dan membimbing dia menekuni golf itu ada hasilnya,” lanjut Denon yang bisa rileks saat selesai bermain golf.

Setiap lapangan golf, kata Denon, punya keunikan; ada yang nuansa pegunungan, pantai, dan di pinggir kota. “Kita tinggal pilih ingin merasakan nuansa yang mana. Ke arah puncak akan bertemu lapangan dengan pemandangan pegunungan. Untuk nuansa pantai, bisa ke Kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) atau ke Bali dan Bintan yang keren lapangannya. Semuanya punya ciri khas. Cuma untuk sekarang main golf di akhir pekan itu agak sulit dan buang waktu. Sementara untuk main di weekday tidak bisa,” katanya.

Kepada anaknya saya tekankan untuk mencapai sebuah prestasi, harus dengan usaha dan menginvestasikan waktu, komitmen, dan dedikasi. “Tanpa itu tak mungkin bisa meraih impian dan prestasi. Saya hanya membukakan jalan kalau dia mau lanjut sebagai pegolf professional silahkan,” kata Denon yang tidak memaksakan putranya dalam mengejar sesuatu.

Filosofi Golf

Denon Prawiraatmadja bangga bisa mengajari anaknya bermain golf hingga sekarang bisa bermain golf bersama anaknya. Selanjutnya dia menyerahkan kepada anaknya apakah akan menekuni golf secara professional atau tidak. (Foto Savic Rabos, DI Raga VOI)

Denon Prawiraatmadja bangga bisa mengajari anaknya bermain golf hingga sekarang bisa bermain golf bersama anaknya. Selanjutnya dia menyerahkan kepada anaknya apakah akan menekuni golf secara professional atau tidak. (Foto Savic Rabos, DI Raga VOI)

Setelah menekuni golf, Denon Prawiraatmadja banyak menemukan filosofi yang bisa diaplikasikan untuk kehidupan, baik di kantor atau kehidupan pribadi. “Kalau kita melakukan pukulan pertama dan ternyata salah atau jauh dari sasaran, kita dituntut untuk tidak larut dalam kegagalan itu. Lupakan yang sudah terjadi, lihat ke depan, fokus pukulan berikutnya agar bisa lebih baik,” kata pria yang semula sekolah arsitektur namun dalam perjalanan karier justru masuk dan sukses di dunia penerbangan.

Dalam karier, lanjut pria yang lahir di Jakarta pada 17 September 1972 ini, filosofi yang ia temukan di lapangan golf itu ternyata ada kesamaannya. “Dalam karier juga begitu, kalau melakukan kesalahan. Yang penting dilakukan adalah memperbaiki kesalahan itu agar tidak terjadi di masa yang akan datang. Jangan biarkan rasa bersalah itu mendominasi ruang berpikir kita terlalu lama,” tegasnya.

Dalam istilah sekarang dikenal dengan move on. “Kita harus berpikir bagaimana mengimprovisasi diri ke depan. Begitu yang saya alami saat bermain golf, dalam aktivitas di kantor juga bisa diterapkan pola seperti itu,” lanjut Chief Executive Officer (CEO), Whitesky Group (2010 – sekarang).

Masih dalam permainan golf, saat masuk bunker, kata Denon, itulah saatnya menganalisis apa yang harus dilakukan selanjutnya. “Saat masuk bunker, itu kita harus menganalisa situasi. Apakah kita akan bertahan atau menyerang,” lanjut Denon yang melalui Whitesky kini dipercaya mengelola Bandara Halim Perdana Kusuma, satu-satunya operator swasta yang mengelola bandara.

“Dalam kehidupan karier atau kehidupan sosial, akan jauh lebih baik kalau kita mengetahui kapan harus bertahan dan kapan harus menyerang. Filosofi ini saya terapkan saat berkarier dan bergaul. Kepada anak saya, filosofi golf ini saya ajarkan juga,” kata Denon yang aktif juga dalam Kadin, dipercayai sebagai Wakil Ketua Umum KADIN Bidang Perhubungan.

 

Tak Ada yang Sempurna

Belajar dari golf, kata Denon Prawiraatmadja, saat melakukan kesalahan bisa menjadi pelajaran untuk pukulan berikutnya agar lebih baik. Segera move on dan fokus pada permainan ke depan. (Foto Savic Rabos, DI Raga VOI)

Belajar dari golf, kata Denon Prawiraatmadja, saat melakukan kesalahan bisa menjadi pelajaran untuk pukulan berikutnya agar lebih baik. Segera move on dan fokus pada permainan ke depan. (Foto Savic Rabos, DI Raga VOI)

Dalam kehidupan ini tak ada yang sempurna. Pasti ada saja kesalahan, meski sudah berhati-hati, karena itu yang bisa dilakukan saat Denon adalah meminimalisir kesalahan. “Sebagai manusia biasa, yang bisa dilakukan adalah meminimalisir kesalahan. Kita ini manusia, tak mungkin bisa nol dari kesalahan, nobody's perfect,” kata Denon yang pertama kali memegang perusahaan ketiga menerima tantangan memegang Kura-kura Aviasi (2010).

Saat bermain golf, kita selalu punya target untuk mencapai angka tertentu. Makin kecil makin bagus. “Misalnya saat bermain di 18 hole di lapangan golf, target saya 80. Setiap mengawali permainan, saya harus merujuk ke angka itu, kalau bisa di bawah angka itu. Effort kita berupaya mengurangi kesalahan dengan practice and makes perfect,” katanya.

Sebagai insan yang beriman, kita, kata Denon, jangan melupakan peran yang Maha Kuasa dalam setiap yang dikerjakan. “Sebagai orang yang beriman, usaha itu wajib dilakukan dengan sungguh-sungguh. Kita harus berusaha yang diiringi dengan doa. Namun soal hasil itu sudah rahasia Allah SWT. Kita serahkan semuanya pada Dia yang Maha Berkehendak. Tapi biasanya kalau kita sudah berusaha kuat dan maksimal, hasilnya enggak akan jauh dari itu,” katanya.

Dan, lanjut Denon, Ketika usaha keras sudah dilakukan namun hasilnya belum seperti yang diharapkan, kita harus introspeksi. “Artinya ada kuasa lain yang berkehendak. Kita harus evaluasi apa yang kurang. Dan kadang kita tidak menyadari ada maksud dan tujuan dari apa yang ditentukan Tuhan untuk kita. Kira-kira itu yang saya temukan di dunia golf,” kata pria yang sudah tak sempat menekuni hobi lawasnya, melukis.

Saat menekuni dunia bisnis, Denon Prawiraatmadja yang pertama berbisnis dalam bidang IT punya prinsip harus membangun kepercayaan konsumen, pemegang saham, dan mitra bisnis. “Saya banyak belajar dari Agus Sudwikatmono dalam membangun kepercayaan kepada costumer dan para pihak lainnya,” ungkapnya.

"Dari jumlah penduduk kita yang besar baru 6 persen yang memanfaatkan transportasi udara. Pertanyaannya mengapa baru sebesar itu yang menggunakan transportasi udara? Karena untuk naik pesawat itu biayanya masih lebih tinggi dibandingkan moda transportasi lain. Artinya daya beli masyarakat kita masih lemah,"

Denon Prawiraatmadja