Presiden Jokowi Restui Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Dibiayai APBN Gara-Gara Biayanya Bengkak, Ekonom: Pemerintah Terlalu Percaya Diri
Kereta Cepat Jakarta-Bandung. (Foto: Dok. KCIC)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah merestui penggunaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk pendanaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Seperti diketahui, kebutuhan investasi proyek tersebut membengkak dari 6,07 miliar dolar AS atau sekitar Rp86,67 triliun (kurs Rp14.280 per dolar AS) menjadi 8 miliar dolar AS atau setara Rp114,24 triliun.

Penggunaan APBN untuk proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung tersebut terungkap dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 yang baru diteken tanggal 6 Oktober 2021. Beleid tersebut merupakan perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung.

Adapun bantuan tersebut diberikan dalam bentuk pemberian modal negara (PMN), penjaminan proyek, hingga izin penerbitan surat utang atau obligasi bagi PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI selaku pimpinan konsorsium proyek.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai proyek ini sejatinya memang sudah tidak layak sejak awal ingin digarap pemerintah. Sebab, menurutnya, pemerintah terlalu percaya diri menggarap proyek ini secara bisnis ke bisnis atau business-to-business (B2B).

"Sejak awal pemerintah terlalu pede model B2B tanpa uang APBN akan berjalan. Ya enggak bisa, tanpa pandemi saja, memang pemerintah harus terlibat jadinya G to B (government to business)," katanya kepada VOI, Senin, 11 Oktober.

Menurut Bhima, pembengkakan biaya proyek yang cukup tinggi sebenarnya 'alarm' bagi keberlanjutan proyek kereta cepat milik PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).

"Penggunaan APBN dalam proyek kereta cepat jadi indikasi secara bisnis proyek tidak layak, sehingga harus ada uang Negara yang masuk. Enggak bisa pakai Business to Business lewat konsorsium, pasti uang pajak juga yang harus suntik dana pembangunan," tuturnya.

Menurut Bhima, ketika proyek ditata kembali, lalu pemerintah mengambil 'jalan keluar' dengan memberikan suntikan melalui APBN, hal ini tak serta merta membuat beres. Pasalnya, ada sejumlah dampak yang akan terjadi ke depan. Salah satunya adalah APBN tekor.

Bhima beralasan, tanpa proyek ini saja, sudah banyak aliran dana negara untuk perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) dalam rangka menjalankan penugasan infrastruktur dari pemerintah. Bahkan, sebagian PMN kepada perusahaan pelat merah diberikan hanya untuk menyelamatkan bisnis perusahaan.

Khusus untuk KAI saja, Bhima mencatat rencana PMN sudah disiapkan sekitar Rp4,1 triliun untuk beberapa proyek, apalagi bila ditambah dengan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

"Itu baru bentuk penyertaan modal negara belum suntikan dana langsung ke proyeknya," jelasnya.

Selain itu, kata Bhima, pemerintah perlu memaksimalkan APBN juga untuk penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN). Di antaranya untuk vaksinasi gratis kepada masyarakat, bantuan sosial (bansos), belanja pembangunan, hingga pembayaran utang dan bunga utang yang menumpuk.

Masalahnya, kata Bhima, dengan begitu banyak pos pengeluaran, pemerintah tetap harus menjaga defisit APBN. Apalagi, pemerintah juga memasang target, defisit kembali normal ke kisaran 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2023.

"Dengan target defisit APBN ini, pertanyaannya, besarnya dana proyek kereta cepat mau diambil dari pos belanja yang mana? Pasti ada belanja prioritas yang akan digeser untuk proyek kereta cepat," katanya.

Bhima mengatakan selain efek jangka pendek, ada pula efek jangka menengah dari kebijakan APBN mendanai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, yaitu anggaran subsidi naik. Menurut Bhima, kondisi ini dipastikan akan terjadi karena ketika proyek selesai, pemerintah tidak mungkin langsung mengenakan tarif tiket mahal sesuai perhitungan pengembalian investasi proyek.

Lebih lanjut, Bhima menilai bahwa akan ada anggaran subsidi transportasi untuk operasional KAI di awal penggunaan moda tersebut. Kendati belum memiliki hitung-hitungan besaran subsidi yang dibutuhkan, namun Bhima yakin angka subsidinya akan besar karena kebutuhan dana proyek sudah bengkak sejak masa konstruksi.

"Gambarannya sederhana, biaya proyek bengkak, sementara yang memakai kereta cepat kan kalangan menengah atas karena enggak mungkin tiketnya murah. Di sinilah proyek yang dipaksakan jalan, akhirnya jadi beban bagi belanja pemerintah dan masyarakat. Apakah masyarakat yang bayar pajak ke pemerintah rela uangnya digunakan untuk subsidi kereta cepat?," tuturnya.