JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan pemerintah akan sulit meningkatkan penerimaan pajak dari masyarakat. Penyebabnya, karena sejauh ini ekonomi nasional ditopang oleh sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) informal masih belum terdaftar legalitasnya.
Peneliti Indef Rusli Abdulah mengatakan bahwa kondisi ini semakin buruk dengan sedikitnya aparatur pemungut pajak atau fiskus yang hingga sekarang hanya berjumlah 45.000 orang. Dari semua fiskus yang ada harus melakukan pungutan pajak terhadap 270 juta penduduk di seluruh Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah UMKM di seluruh Indonesia pada tahun 2020 adalah 64 juta unit. Seperti diketahui, kontribusi UMKM sebesar 60,3 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Selain itu, usaha kerakyatan menyerap 97 persen dari total tenaga kerja dan 99 persen dari total lapangan kerja.
"Itulah sebenarnya masih besarnya sektor informal di perekonomian Indonesia sehingga perluasan basis pajak itu akan susah dan banyak tantangannya, terutama di data," kata Rusli dalam dialog daring di Jakarta, Selasa, 14 September.
Dari sisi jumlah pemungut pajak, kata Rusli, sangat berbeda jauh dengan negara maju seperti Jepang. Di sana fiskus alias aparatur pajak yang tersedia sebanyak dua kali lipat dari jumlah di Indonesia.
Lebih lanjut, Rusli mengatakan, kondisi itu semakin diperparah dengan buruknya sistem tata kelola usaha di Indonesia. Rusli mengatakan hingga sekarang banyak usaha yang statusnya bukan UMKM tapi tak mendapatkan status formal sebagai usaha besar atau industri. Sehingga, kata dia, potensi penerimaan pajak pun luput dari perhatian pemerintah.
BACA JUGA:
"Pedagang bakso yang bukan UMKM beromzet sebulan Rp1 miliar apakah itu UMKM? Itu kan sebenenarnya salah satu sasaran pajak yang bisa dilakukan pemerintah, tapi masih belum terdaftar jadi masih sulit," ucapnya.
Di sisi lain, Rusli menyayangkan sikap pemerintah yang bakal mewacanakan untuk memungut pajak pertambahan nilai (PPn) dari kebutuhan pangan atau sembako. Menurut dia, kebijakan tersebut akan semakin memberatkan masyarakat kalangan menengah ke bawah yang sekarang justru tengah babak belur untuk bertahan hidup di tengah pandemi COVID-19.
"Potensinya cuma Rp21 triliun, itu juga tidak ujug-ujug (tiba-tiba) datang tapi banyak tantangannya yang harus dihadapi pemerintah. Narasi kenaikan sembako kurang tepat di tengah pandemi," tuturnya.