Bagikan:

JAKARTA - Direktur Kepatuhan dan SDM PT Asuransi Jiwasraya Mahelan Prabantarikso menyebut jika pembentukan Lembaga Penjamin Polis bagi industri asuransi di Tanah Air semakin relevan untuk segera direalisasikan.

Menurut dia, upaya tersebut bisa meniru pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang telah lebih dulu hadir bagi industri perbankan. Untuk itu dia mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator untuk dapat mengambil inisiatif ini.

“Disini kami mengusulkan adanya Lembaga Penjamin Polis seperti yang di perbankan ada Lembaga Penjamin Simpanan. Hal ini memungkinkan agar bisa mengelola dan menindaklanjuti apabila ada gagal bayar, dan perusahaannya bisa disehatkan kembali apabila ada masalah,” ujarnya dalam sebuah webinar yang diselenggarakan pada Selasa, 31 Agustus.

Mahelan menambahkan, kondisi industri asuransi yang kini tengah mendapat tekanan pasca gagal bayar Jiwasraya bisa menjadi momentum tersendiri untuk segera melakukan reformasi. Bahkan, dia menilai apabila masalah di sektor bisnis pertanggungan ini berlarut, maka dikhawatirkan bisa berdampak buruk bagi sektor lainnya.

“Ini nampaknya sangat perlu untuk kita evaluasi kembali menjadi suatu peran baru bagi LPS untuk menjaga keseimbangan ketika ada gagal bayar semacam ini. Nah, ini bisa sistemik,” tegas dia.

Lebih lanjut, mantan Direktur Bank Tabungan Negara (BTN) itu mengusulkan pula OJK dapat meningkatkan risk based supervision sesuai kondisi perusahaan asuransi masing-masing.

“Tentu dengan didukung infrastruktur yang terintegrasi dan memadai dengan pula mengimplementasikan integrated GRC (governance, risk management, and compliance),” katanya.

Adapun, usul lain yang disampaikan Mehelan kepada OJK adalah kolaborasi antar berbagai pihak agar dapat menyusun undang-undang mutual fund.

“Khususnya untuk permasalah AJB Bumiputera 1912 maka undang-undang mutual fund sangat diperlukan agar bisa mempercepat penyelesaian masalah,” ucap dia.

Sebagai informasi, saat ini terdapat dua masalah besar dalam industri asuransi nasional. Pertama yang menyangkut problem gagal bayar Jiwasraya dengan nilai penundaan pembayaran sebesar Rp20 triliun.

Kedua, permasalahan di AJB Bumiputera 1912 terkait tata kelola perusahaan buruk sehingga menyebabkan catatan aset perusahaan pada 2020 lebih kecil dengan Rp9,9 triliun dibandingkan kewajiban yang sebesar Rp30,4 triliun.