Dosen Universitas Brawijaya ‘Bela’ Pengusaha Rokok: Bebannya Sudah Berat, Cukai Saja Plastik dan Soda
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Dosen yang juga peneliti Pusat Pengkajian Kebijakan Ekonomi Universitas Brawijaya Malang Imaninar mendukung langkah pemerintah yang berencana memperluas cakupan jenis barang dan jasa yang dikenai pajak (tax base).

Menurut dia, upaya tersebut bisa menjadi solusi atas kondisi penerimaan negara mengalami yang tekanan berat akibat pandemi COVID-19.

“Hampir semua sektor perekonomian mengalami pelemahan dan menyebabkan penerimaan perpajakan tidak optimal,” katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa, 10 Agustus.

Meski demikian, terdapat dua hal penting yang mesti diperhatikan penyelenggara negara atas wacana tersebut. Pertama, perlu kecermatan untuk memilah sektor mana saja yang tidak terdampak dan sektor mana saja yang terdampak pandemi.

Kedua, adalah waktu atau timing. Menurut Imaninar, ada beberapa kebijakan yang sebetulnya berpotensi untuk menjadi opsi diversifikasi pajak, namun belum bisa diterapkan di masa pandemi saat ini karena sektor tersebut misalnya masih terdampak dan butuh dukungan pemerintah.

“Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah barang atau jasa yang akan dibebani pajak tersebut harus tepat sasaran, karena tidak semua dapat dikenakan tarif yang sama untuk menciptakan keadilan,” ujarnya.

Lebih lanjut Imaninar menjelaskan, jika saat ini pemerintah cenderung hanya berfokus pada penerimaan cukai dari produk industri hasil tembakau (IHT).

“Saat ini IHT telah cukup berat dibebani oleh berbagai pajak yang harus ditanggungnya. Pemerintah tidak bisa selalu mengandalkan IHT dengan terus-menerus menaikkan tarif cukai,” tuturnya.

Kata dia, kebijakan yang ada saat ini tidak hanya bisa berdampak negatif pada keberlangsungan IHT saja, tetapi juga memicu semakin maraknya peredaran rokok ilegal. Kondisi itu disebutnya dapat menjadi boomerang bagi penerimaan berupa hilangnya potensi penerimaan negara.

“Pemerintah perlu meningkatkan tax base atau barang barang lain yang kena cukai. Beberapa diantaranya adalah plastik, soda atau sugar tax,” tegas Imaninar.

Dalam catatannya, barang kena cukai yang telah diterapkan di beberapa negara lain dapat diadopsi oleh Indonesia untuk dapat menjadi alternatif penerimaan cukai pemerintah selain cukai hasil tembakau.

Dijelaskan Imaninar, barang kena cukai (BKC) adalah barang-barang yang dibatasi peredaran ataupun konsumsinya (penggunaan). Hal ini disebabkan karena mengganggu kesehatan maupun dampak eksternalitas negatif seperti kerusakan lingkungan.

“Plastik, soda, dan makanan berpemanis adalah beberapa barang yang dapat dikenai cukai sebagai alterntaif barang kena cukai. Ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) tersebut diharapkan mampu menyokong penerimaan cukai, sekaligus penerimaan negara. Kita tidak dapat terus mengandalkan cukai hasil tembakau (CHT) saja untuk mengakselerasi penerimaan negara,” kata dia.

Sebagai informasi, pada APBN 2021 penerimaan kepabeanan dan cukai ditargetkan bisa menembus angka Rp215 triliun. Adapun, hingga semester I 2021 jumlah yang berhasil terkumpul adalah sebesar Rp122,2 triliun atau 56,9 persen dari pagu yang ditetapkan.