JAKARTA - Peneliti Pusat Pengkajian Kebijakan Ekonomi Universitas Brawijaya Malang Imanina mendukung wacana pemerintah yang berniat mengenakan pungutan cukai terhadap produk soda dan plastik.
Menurut dia, pola konsumsi soda dalam jangka panjang juga membahayakan kesehatan. Sementara penggunaan plastik jangka pendek maupun jangka panjang juga mengganggu lingkungan hidup.
“Barang kena cukai (BKC) adalah barang-barang yang dibatasi peredaran ataupun konnsuminya (penggunaan). Hal ini disebabkan karena mengganggu kesehatan maupun dampak eksternalitas negatif seperti kerusakan lingkungan,” ujarnya dalam keterangan resmi seperti yang dikutip pada Selasa, 10 Agustus.
Imanina menambahkan, plastik, soda, dan makanan berpemanis adalah beberapa barang yang dapat dikenai pungutan perpajakan sebagai alternatif barang kena cukai.
“Ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) tersebut diharapkan mampu menyokong penerimaan cukai, sekaligus penerimaan negara,” tuturnya.
Dalam penjelasannya, akademisi itu juga mengungkapkan jika pemerintah perlu memperluas tax bases (basis penerimaan pajak) dalam rangka meningkatkan penerimaan ataupun pencapaian target pajak. Contoh lain yang dia kemukakan adalah pajak karbon bagi perusahaan maupun individu yang kegiatan usahanya dapat mencemari lingkungan.
“Pajak karbon sendiri sebenarnya memang telah lama diterapkan di beberapa negara, bahkan penjelasannya pun ada dalam teori perpajakan. Pada dasarnya tujuan pajak karbon adalah baik, karena tujuannya untuk kebaikan lingkungan yakni mendorong pengurangan emisi karbon. Di sisi lain pajak karbon dapat mendorong penerimaan negara,” katanya.
BACA JUGA:
Sebagai informasi, dalam APBN 2021 pemerintah menargetkan pendapatan negara sebesar Rp1.743,6 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari penerimaan pajak Rp1.229,6 triliun, kepabeanan dan cukai RpRp215,0 triliun, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp298,2 triliun.
Hingga semester I 2021, realisasi pendapatan negara diketahui sebesar Rp886,9 triliun atau setara dengan 50,9 persen pagu anggaran.
Sementara belanja negara pada sepanjang tahun ini diyakini akan menyentuh nilai Rp2.750 triliun. Itu artinya bakal terjadi defisit APBN sebesar Rp1.006,4 triliun atau 5,7 persen dari produk domestik bruto (PDB).