JAKARTA - Sektor perhotelan masih tertekan di tahun 2021 ini. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) memperkirakan, rata-rata tingkat okupansi perhotelan secara keseluruhan masih berkisar 30 persen hingga 34 persen. Kondisi ini diperburuk dengan adanya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4 di Jawa-Bali.
Sekjen PHRI Maulana Yusran mengatakan bahwa saat ini industri perhotelan sudah kritis. Tak sedikit yang pada akhirnya tak mampu bertahan di masa PPKM karena tidak memiliki dana cadangan.
"Kalau ditanya kondisi tentu sama jawabannya seperti kemarin sudah kritis. Jadi yang masih bisa bertahan tetap bertahan, yang tidak bisa ya sudah tidak bisa bertahan lagi. Karena sebenarnya kalau kami ceritakan kondisi dari PPKM Darurat sebenarnya situasinya sudah tidak bagus," ujarnya saat dihubungi VOI, Rabu, 4 Agustus.
Bahkan, kata Yusran, pengurangan karyawan pun tak bisa terelakkan. Sebab, baik hotel maupun restoran sejak ada pandemi tahun 2020 konsumennya menurun jauh. Namun, kondisi kali ini berbeda dengan 2020 di mana pengusaha masih memiliki dana cadangan yang cukup untuk bertahap.
"Apalagi di hotel itu kan kita berjalan dengan okupansi rate 34 persen. Di tahun 2020 sampai semester 1 tahun 2021 ini rata-ratanya masih antara 30-34 persen. Belum lagi dengan average yang rendah. Itu menandakan pendapatan hotel itu tidak terlalu banyak," ujarnya.
Yusran juga mengatakan pengusaha hotel dan restoran masih memiliki gap antara kewajiban dan pendapatan. Sehingga harus ditutupi di bulan berikutnya. Kondisi ini berdampak kepada sulitnya perusahaan itu untuk mendapatkan dana cadangan bertahan jika terjadi sesuatu hal.
BACA JUGA:
"Karena kedua sektor ini sangat bergantung dengan mobilitas orang atau pergerakan orang. Nah begitu ditahan tentu dampaknya akan signifikan terhadap konsumennya. Kondisinya seperti itu," katanya.
Karena itu, Yusran berharap pemerintah memberikan kompensasi pajak daerah hingga listrik. Sebab, kata dia, sektor pariwisata itu tidak bisa hanya boleh buka saja atau berkegiatan tapi hambatan untuk orang bergerak itu masih ada. Sebab, demand-nya tidak akan ada.
"Karena tidak bisa berkegiatan tentu terkait pajak daerahnya. Kemudian terkait juga perbankan. Kemudian masalah listrik, dihilangkan abonemen," ucapnya.
Selain itu, kata Yusran, apapun yang dilakukan pengusaha untuk bertahan tetap akan percuma selama pergerakan orang dibatasi. Sebab, dalam sektor pariwisata demand-nya adalah wisatawan.
"Karena kalau dari sisi pelaku usaha sendiri ditanya seperti apa? Ya sulit ya, kita mau usaha seperti apa kalau memang demand itu hilang. Kan yang menjadi masalah demand-nya," jelasnya.