JAKARTA - Pengusaha pusat perbelanjaan atau mal, restoran, hingga hotel meminta Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dimulai sejak 11 Januari tidak dilanjutkan. Mereka mengaku kian terpuruk untuk bisa bertahan di kondisi saat ini.
Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta, Ellen Hidayat mengatakan, kebijakan tersebut menyebabkan kunjungan ke pusat perbelanjaan di DKI Jakarta kembali turun sekitar 8 persen menjadi tinggal 32 persen.
Padahal sebelum PPKM diberlakukan, tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan atau okupansi berada di angka 40 persen dari kondisi normal sebelum pandemi. Penurunan jumlah pengunjung ini dikarenakan adanya pembatasan jam operasional pusat perbelanjaan yang hanya sampai pukul 19.00 WIB.
Apalagi, kata Ellen, dine in atau makan di tempat juga hanya diizinkan sebanyak 25 persen, ditambah adanya aturan 75 persen work from home (WFH) dan hanya 25 persen yang boleh work from office (WFO). Menurut Ellen, kondisi ini memaksa pusat perbelanjaan dan para tenant untuk mengurangi tenaga kerja.
"Kebijakan ini dampaknya sangat luas bagi pusat perbelanjaan. Dari hasil pantauan kami sejak 11 Januari 2020 sampai hari ini, trafik yang tadinya 40 persen hanya sampai rata-rata sekitar 32 persen. Bahkan beberapa pusat belanja mencapai 30 persen. Jadi drop sekitar 8 persen," tuturnya, konferensi pers secara virtual, Senin, 18 Januari.
Tak hanya itu, kata Ellen, sekitar 15 persen retailer ataupun tenant juga tidak melanjutkan sewanya lagi karena sudah habis masa sewanya, sehingga ke depan akan terjadi kekosongan di pusat belanja. Padahal, menurut dia, pusat perbelanjaan selama ini selalu disiplin menerapkan protokol kesehatan.
"Sampai saat ini perlu kami tegaskan bahwa pusat belanja di DKI Jakarta bukan merupakan klaster COVID-19. Sedangkan peraturan-peraturan yang selalu dikenakan kepada kami, bilamana ada peraturan apapun yang muncul setiap PSBB ataupun PPKM selalu pusat perbelanjaan menjadi sasaran tembak," tegasnya.
Ancaman PHK massal
Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Emil Arifin mengatakan, ribuan restoran berpotensi tutup permanen jika pemerintah memperpanjang pelaksanaan PPKM Jawa-Bali. Angka ini khusus di DKI Jakarta saja.
"Ujung-ujungnya ini akan berdampak ke lay off (pengurangan pekerja), karyawan lagi yang kena," ujar Emil dalam konferensi pers secara virtual, Senin, 18 Januari.
Ia menjelaskan hasil survei yang dilakukan PHRI terhadap 4.800 restoran di DKI Jakarta pada September-Oktober 2020 lalu, tercatat sebanyak 1.030 restoran sudah tutup permanen dan 400 restoran tutup sementara.
Lebih lanjut, kata Emil, hal itu tak lepas dari kebijakan pembatasan kegiatan yang terus berulang dilakukan sepanjang tahun lalu. Banyak restoran yang tak mampu bertahan di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi COVID-19.
"Kalau ini (PPKM) diperpanjang mungkin yang tutup permanen itu bisa sampai 1.600 restoran," kata Emil.
Emil bilang, ketidakpastian usaha di masa pandemi sangat tinggi, sebab tiap dua pekan pemerintah selalu melakukan evaluasi untuk kebijakan pembatasan selanjutnya. Ini membuat pengusaha sulit membuat rencana bisnis jangka panjang.
Industri perhotelan kehilangan omzet Rp50 triliun
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani mencatat bahwa industri hotel berpotensi kehilangan pendapatan berkisar Rp50 triliun karena pandemi COVID-19 dan kebijakan pembatasan kegiatan dari pemerintah.
Kata Hariyadi, pandemi COVID-19 dan berbagai pembatasan tersebut membuat cash flow atau arus kas perusahaan semakin tertekan sepanjang tahun 2020.
"Kami perkirakan selama 2020 itu, kita kehilangan potensial pendapatan paling sedikit setidaknya sekitar Rp50 triliun untuk sekitar hampir 800 ribuan kamar," tuturnya, dalam konferensi pers virtual pada Senin, 18 Januari.
Menurut Hariyadi, kondisi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali yang terjadi saat ini pun dinilai akan semakin menekan arus kas sektor usaha di berbagai bidang. Sehingga kata dia, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak bisa dihindari.
"Agar tidak ada lay off bagaimana? Ini sangat bergantung dari cash flow, kalau tertekan terus ya tidak bisa dihindari," tuturnya.
Hariyadi menjelaskan, selama 11 bulan terakhir sudah terjadi pengurangan tenaga kerja secara signifikan. Namun memang bukan PHK murni, karena jika demikian maka pengusaha harus membayar uang pesangon yang akhirnya memberatkan.
Minta keringanan pajak untuk bertahan
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan bila pemerintah bersikukuh untuk tetap melanjutkan kebijakan pembatasan aktivitas dan kegiatan secara ketat setelah 25 Januari 2021 nanti, maka pemerintah diminta untuk memberi sejumlah bantuan kepada para pelaku usaha.
Tujuannya, kata Hariyadi, agar para pengusaha bisa bernapas dan melanjutkan usaha mereka di tengah meluasnya dampak pandemi COVID-19.
Adapun beberapa bantuan yang dimaksud adalah tetap bisa mengajukan atau mendapatkan modal kerja tambahan baik dari dana hibah pemerintah atau dari dana perbankan bagi pengusaha yang telah merestrukturisasi kredit karena terdampak pandemi.
Hariyadi juga mengusulkan agar penyewa (tenant) di pusat-pusat perbelanjaan dibantu pembayaran biaya sewa dan service charge agar tetap bisa membuka usahanya dan berkontribusi di sektor konsumsi.
Sejumlah fleksibilitas terkait pajak bisa berupa penghapusan atau pengurangan pembayaran pajak oleh pemda adalah pajak restoran, pajak hotel, pajak reklame, pajak hiburan, PBB.
Sementara pajak yang dipungut pemerintah pusat berupa penghapusan atau pengurangan pembayaran berbagai jenis pajak termasuk PPN untuk penagihan listrik, pajak penghasilan final Pasal 4 ayat 2 atau disebut juga PPh Sewa. Dalam hal ini, Hariyadi meminta agar PPh Sewa para pemilik mal, peritel, dan tenant dikurangi atau dibebaskan.
Sementara itu, Ketua DPD Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta Ellen Hidayat mengungkap, pusat-pusat perbelanjaan belum pernah mendapatkan insentif apapun. Termasuk PPh Sewa sebesar 10 persen yang paling utama diharapkan para pengusaha mal agar diringankan atau dihapuskan.
Padahal, kata Ellen, selama sembilan bulan pemberlakuan pembatasan aktivitas dan sosial, para pengusaha mal terpaksa berbagi beban kepada retailer. Para pengusaha pusat belanja mau tidak mau membantu retailer untuk membebaskan uang sewa agar kondisi mal tidak sepi.
"Selama sembilan bulan ini rata-rata antara enam sampai tujuh bulan itu uang sewa sudah digratiskan kepada para tenant, kalau enggak, tenant bakal kesulitan. Apalagi sekarang ada pembatasan jam operasional dan lain sebagainya," tuturnya.