MTI Dapati Oknum Aparat Terima Rp300.000 per Bulan untuk Angkutan Pelat Hitam yang Masuk Jabodetabek
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA – Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengatakan situasi pandemi dan pembatasan mobilitas membuat keberadaan angkutan umum pelat hitam kian marak.

Menurut dia, kondisi ini terjadi akibat ada kebutuhan antara pemilik kendaraan dan penumpang yang tinggi.

“Belum lagi ditambah ada perlindungan dari oknum aparat hukum bekerjasama dengan perantara (makelar) yang turut menambah subur angkutan umum pelat hitam,” tuturnya dalam keterangan tertulis kepada VOI seperti yang dikutip pada Minggu, 31 Juli.

Kata Djoko, para pengusaha angkutan umum pelat hitam, makelar, oknum aparat melihat adanya keterbatasan Kementerian Perhubungan dan Dinas Perhubungan yang hanya bisa menertibkan angkutan di dalam terminal.

“Angkutan umum pelat hitam beroperasi di luar terminal. Masyarakat yang mau ke terminal inginnya praktis, tanpa harus jalan jauh di dalam terminal, akhirnya menggunakan jasa angkutan umum pelat hitam walaupun konsumen tahu minim perlindungan,” tutur dia.

Djoko menambahkan, saat ini sudah ada jaringan angkutan pelat hitam yang bekerjasama dengan makelar (agen).

“Mereka juga bayar bulanan ke oknum aparat melalui perantara, yaitu masuk wilayah Jabodetabek bayar Rp300.000 per bulan, sehingga jadi binaan yang menguntungkan,” tegasnya.

Jika kendaraan pelat kuning tidak operasi, sambung dia, maka para perantara dapat memobilisasi sejumlah angkutan umum pelat hitam. Adapun armada yang digunakan biasanya berkapasitas 8-20 penumpang, seperti Toyota Hiace, Toyota Innova, Isuzu Elf, Toyota Avanza, dan Daihatsu Gran Max.

“Makin maraknya angkutan umum pelat hitam sejak pemberlakuan larangan mudik untuk mencegah penyebaran COVID-19. Di saat angkutan umum resmi tidak boleh beroperasi, angkutan umum pelat hitam mengambil alih sejumlah penumpang masih melakukan perjalanan antarkota,” jelasnya.

Dalam kesempatan tersebut Djoko juga mengungkapkan bahwa negara sebenarnya sudah mempunyai instrumen hukum yang mengatur dan menindak pelaku angkutan umum yang tidak sesuai dengan regulasi.

Pertama, Pasal 173 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyebutkan Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib memiliki:

(a) izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek

(b) izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek

(c) izin penyelenggaraan angkutan barang khusus atau alat berat

Kewajiban memiliki izin tidak berlaku untuk (a) pengangkutan orang sakit dengan menggunakan ambulans atau (b) pengangkutan jenazah.

Sementara sanksi ada di pasal 308, menyatakan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500.000, untuk setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor umum yang:

(a) tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang dalam trayek

(b) tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang tidak dalam trayek

(c) tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan barang khusus dan alat berat (d) menyimpang dari izin yang ditentukan

“Sanksi yang dikenakan pemilik kendaraan sangatlah ringan, sehingga perlu merevisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,” tutup Djoko.