Bagikan:

JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai pemerintah tak memiliki peta jalan atau roadmap yang jelas dalam membangun industrialisasi nasional. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab turunnya status Indonesia dari negara berpenghasilan menengah ke atas menjadi menengah ke bawah.

Sekadar informasi, World Bank atau bank dunia menetapkan kelas baru atau spesifik baru bahwa negara upper middle income itu kisarannya antara 4.096 sampai 12.695 dolar per kapita. Klasifikasi ini meningkat dari 4.046 dolar menjadi 4.096 dolar per kapita.

Adapun di tahun lalu Indonesia berada di level negara berpendapatan menengah dengan Gross National Income (GNI) sebesar 4.050 dolar per kapita. Sementara tahun ini GNI Indonesia hanya sebesar 3.870 dolar per kapita.

Ekonom Senior Indef, Didin S Damanhuri mengatakan jika dibandingkan dengan Malaysia dan Korea Selatan industrialisasi di Indonesia sangat tertinggal jauh. Meskipun semua negara saat ini tengah mengalami krisis akibat adanya pandemi COVID-19, namun kedua negara itu tetap dapat mempertahankan kinerja industrinya.

"Ke sininya kita bilang strategi industrialisasi tidak ada grand design, tidak ada blue print dan tidak ada peta jalan yang konkret. Walaupun per dokumen ada saja, tetapi tidak konkret, sudah hampir tidak ada perspektifnya," katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Selasa, 13 Juli.

Didin menjelaskan strategi industrialisasi dalam menggenjot ekonomi di Indonesia dimulai sejak era tahun 1980. Namun, hingga saat ini tidak ada perubahan yang berarti dalam perjalanannya. Bahkan, permasalahan telah terjadi jauh sebelum pandemi merebak tanpa disadari oleh pemerintah.

Kata Didin, alhasil kondisi ini membuat Indonesia dapat masuk dalam jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap.

"Ada problem struktural, mengapa Indonesia bukan hanya ketinggalan dari Korea Selatan dan Malaysia tetapi bisa terancam jebakan negara berpendapatan menengah," tuturnya.

Menurut Didin, beberapa permasalahan yang ada di Tanah Air sehingga menyulitkan untuk menjadi negara berpendapatan menengah ke atas yakni besarnya jumlah penduduk yang mencapai 270 juta jiwa.

Tak hanya itu, kata Didin, wilayah Indonesia yang terdiri dari kepulauan serta komposisi penduduknya yang sangat heterogen membuat kebijakan yang diambil kerap berbeda-beda.

"Tetapi yang pertama problem strukturalnya adalah tidak ada strategi industrialisasi terutama di era reformasi. Dampak akhirnya kepada konten teknologi dalam pertumbuhan ekonomi itu zaman Presiden Soeharto masih positif, sedangkan zaman reformasi negatif," ujarnya.