Salah Kaprahnya Interpretasi Mengenai Indonesia Jadi Negara Maju
Konferensi pers Indef dengan tema "Salah Kaprah Status Negara Maju", di Jakarta, Kamis 27 Februari. (Mery Handayani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Indonesia diprediksi akan menyandang status negara maju setidaknya 10 tahun lagi apabila mengacu pada indikator ekonomi dan sosial sesuai hukum Countervailing Duty (CVD). Namun, untuk saat ini Indonesia masih belum masuk dalam indikator negara maju.

CVD adalah aksi penerapan pungutan tambahan terhadap produk impor dari suatu negara. Ekonom Senior Institute of Development for Economics and Finance (INDEF) Aviliani mengatakan, keputusan Amerika Serikat menghapus Indonesia dari daftar negara berkembang menjadi negara maju tidak tepat. Menurut dia, pemerintah bisa menolak keputusan ini seperti langkah pemerintah China.

Aviliani mengatakan, Amerika Serikat hanya menggunakan indikator penilaian dari sisi ekonomi. Indonesia dianggap memiliki share ekspor lebih dari 0,5 persen di dunia serta menjadi salah satua anggota G-20.

"Indonesia bisa jadi negara maju, tetapi kemungkinan baru 10 tahun lagi. Menurut saya, 10 tahun mendatang kondisi Indonesia akan membaik. Namun, hal itu harus dicapai dengan berbagai upaya," katanya, saat konferensi pers dengan tema "Salah Kaprah Status Negara Maju", di ITS Tower, Pasar Minggu, Kamis, 27 Februari.

Parameter sebagai negara berkembang dari sisi ekonomi di mana angka gross national income (GNI) per kapita di bawah 12.375 ribu dollar Amerika. Sementara, berdasarkan data BPS realisasi 2019 hanya sebesar 4.100 dolar Amerika Serikat (AS). Namun, ini tidak menjadi pertimbangan penting. 

Aviliani menganggap, Amerika Serikat tidak mengacu pada parameter pembangunan sosial. Seperti tingkat kemiskinan, angka kematian bayi, tingkat melek huruf orang dewasa, dan tingkat harapan hidup di Indonesia saat ini. 

Kemudian, lanjut Aviliani, yang jadi catatan penduduk dengan tingkat pengeluaran penduduk di bawah 1,9 dolar AS per hari di Indonesia mencapai 5,7 persen dan 3,2 dolar AS per hari sebanyak 27,3 persen.

"Sementara itu, negara berpendapatan tinggi (high inconomies) masing-masing sebesar 0,6 persen dan 0,9 persen. Gap-nya jauh sekali," tuturnya.

Terkait ekspor, Aviliani membenarkan share ekspor Indonesia terhadap total ekspor dunia pada 2018 mencapai 0,9 persen. Namun, dia menilai hal itu tidak cukup menjadikan Indonesia sebagai negara maju karena tidak didukung dengan indikator lain, seperti GNI per kapita atau indikator kesejahteraan lainnya.

Ekspor Terkecil dari Negara G20

Namun, Aviliani menegaskan, meskipun share ekspor Indonesia ke dunia mencapai 0,9 persen, peringkat ekspor RI justru melorot ke level 29 pada 2018. Indonesia dan Turki juga mencatat kinerja ekspor terkecil di antara negara anggota G20 lain.

"Ekspor Indonesia saat ini di bawah Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Peranan ekspor terhadap PDB (produk domestik bruto) baru mencapai 20-25 persen. Realisasi ini jauh tertinggal dibandingkan Vietnam yang sudah mencapai 105 persen dari PDB," jelasnya.