Jadi Negara Maju, Mampukah Indonesia Menjawab Tantangan AS?
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Beberapa negara yang semula ada di daftar negara berkembang, salah satunya Indonesia kini naik kelas jadi negara maju. Hal ini karena Amerika Serikat lewat US Trade Representative (USTR) merevisi daftar kategori negara berkembang mereka untuk urusan perdagangan internasional. Namun, perubahan status ini dikhawatirkan berdampak buruk pada kinerja perdagangan Indonesia.

Kenaikan kelas dari negara berkembang menjadi negara maju, memiliki risiko untuk Indonesia. Salah satunya, Indonesia akan kehilangan Generalized System of Preferences (GSP) sehingga berpotensi mengalami defisit neraca perdagangan.

GSP adalah kebijakan perdagangan suatu negara yang memberi pemotongan bea masuk impor. Ini merupakan kebijakan perdagangan sepihak dari Amerika Serikat untuk membantu perekonomian negara berkembang, tetapi tidak bersifat mengikat bagi negara pemberi maupun penerima.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan, jika melihat proporsi ekspor non-migas Indonesia ke Amerika cukup besar dan beberapa impor dari Amerika juga besar. Data sampai 2018, ekspor ke Amerika totalnya 10,85 persen nilainya atau sekitar 17 miliar dolar AS.

"Itu kan besar sekali ya. Tentu saja dengan proporsi yang besar ini, akan menjadi ancaman ketika Amerika mengajukan usulan ke WTO agar kita masuk ke negara maju. Kalau kita lihat perjanjian misalnya pertemuan Bali pada tahun 2013, negara-negara yang masuk ke dalam negara berkembang itu mendapatkan fasilitas GSP ataupun katakan lah mendapatkan bea masuk yang tidak besar dibandingkan negara maju," ujarnya ketika dihubungi VOI, di Jakarta, Selasa, 25 Februari.

Tauhid menjelaskan, dengan dilepaskannya status Indonesia sebagai negara berkembang, tentu saja ada kemungkinan mengalami kenaikan tarif yang awalnya lebih rendah akan naik ke tarif normal. Ini tentu saja akan menghantam berbagai komoditas yang termasuk dalam GSP dan jumlahnya cukup banyak.

"Kalau kita sekitar masih 800 komoditas yang memanfaatkan fasilitas GSP. Jadi kalau ini nanti kita dicabut otomatis berbagai kemudahan yang 800-an produk ini akan berkurang begitu. Nah proporsinya saya belum bisa menyebutkan angka. Tapi saya kira ini cukup besar dan ini pengaruh ke kinerja pedagang kita juga cukup besar," tuturnya.

Menurut Tauhid, lima tahun terakhir kondisi Indonesia ke Amerika memang surplus dan karena itu Amerika menerapkan usulan menaikkan kelas Indonesia menjadi negara maju. Tujuannya agar defisit terhadap Indonesia berkurang.

"Otomatis bagi kita, situasinya akan menyebabkan secara umum. Nanti ekspor kita akan melemah terhadap Amerika dan secara umum defisit neraca perdagangan kita juga semakin melemah. Ini yang menurut saya kita rugi dengan diterapkannya. Kalau kita menerima, menurut saya ini kebangetan. China saja sudah menolak, beberapa negara sudah menolak," jelasnya.

Tauhid menjelaskan, tidak bisa suatu negara dikatakan sebagai negara maju hanya melihat dari indikator Indonesia masuk negara G20. Padahal, kata dia, kalau melihat indikator lain misalnya GDP per kapita, Indonesia baru memperoleh sekitar 4.000 ribu dolar AS per kapita per tahun. Sementara, negara-negara maju sudah hampir tiga kali lipat di atasnya yakni 12.000 bahkan 15.000 ribu dolar AS per kapita per tahun.

"Menurut saya tidak fair mentang-mentang kita agak surplus, langsung Amerika membuat strategi ini. Memang tujuannya adalah memukul pasar ekspor China tapi kita juga mau nggak mau terkena imbasnya. Karena kita juga surplus ke Amerika," tuturnya.

Menurut Tauhid, pemerintah Indonesia berjuang untuk menolak kenaikan kelas ini. Sebab, risikonya jika pemerintah menerima eksportir Indonesia yang terdampak dan akan merugikan industri dalam negeri. Terutama industri tekstil, karet dan sebagainya yang memang terdistorsi dengan keputusan Amerika ini.

"Pasti akan berdampak, karena itu saya kira pemerintah pertama harus resmi mengajukan gugatan ke WTO. Kita harus meningkatkan daya saing daripada produk kita sendiri. Jadinya kalau nanti kita tarifnya ke normal dan otomatis biaya masuknya ke Amerika lebih tinggi dari sebelumnya, ya kita harus punya daya saing. Sehingga, kalaupun nanti naik kita masih tetap memberikan ekspor yang tidak menurun," ucapnya.

Masalahnya, kata Tauhid, salah satu daya saing selain produk adalah harga. Ia menilai, terkait harga Indonesia harus bersaing dengan mengurangi biaya-biaya yang tidak penting. Contohnya, yang menjadi kendala adalah biaya logistik yang besar sekali mencapai 27 persen GDP. Jika Indonesia berhasil mengatasi biaya logistik saja, itu sudah lumayan menurunkan biaya ekspor.

"Itu lumayan kita bisa bersaing dari sisi harga dengan mengurangi biaya logistik, selain tentu saja akan meningkatkan daya saing produk itu sendiri dengan harga relatif mahal sedikit," tuturnya.

Selain itu, kata Tauhid, pemerintah harus memberikan insentif-insentif lain bagi industri-industri yang akan terkena dampak dari kenaikan kelas ini. Sebab, beberapa industri eksportir akan terpukul. Sehingga, penting insentif menjadi penting, misalnya penundaan pajak atau fasilitas pajak yang lain yang memang bisa membantu industri bertahan dulu di tengah situasi yang kurang menguntungkan nantinya.

"Kita tidak boleh bergantung pasar dari Amerika. Perlu mencari alternatif negara-negara yang punya karakter konsumen yang sama dengan Amerika. Misalnya Korea, Jepang ataupun negara-negara maju lainnya yang mungkin memang cocok dan sesuai dengan market dari produk-produk kita," katanya.

Negara Harus Lakukan Negosiasi

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani mempertanyakan langkah Amerika Serikat mencoret Indonesia dari negara berkembang. Rosan mengatakan, kategori apa yang dipakai dalam menentukan sebuah negara dikatakan berkembang atau maju.

Rosan berujar, identifikasi negara berkembang atau bukan mestinya juga dilihat dari angka kemiskinan, angka pengangguran. Pemerintah Indonesia diminta menegosisasikan ulang tindakan Amerika Serikat ini.

"Apakah indikator itu dikesampingkan? Hal itu kembali lagi harus dinegosiasikan antara pemerintah kita dengan Amerika Serikat," katanya.

Negosiasi ini, kata Rosan, juga berlaku untuk fasilitas pengurangan bea masuk atau GSP tetap dipertahankan. Menurut Rosan, pemerintah juga bisa menerapkan sistem imbal balik kepada Amerika Serikat agar mendapat bea masuk lebih ringan, seperti meminta Amerika Serikat untuk membeli garmen lebih banyak dan sebagai balasannya maka Indonesia mengimpor kapas lebih banyak.

"Mungkin saja karena perdagangan Amerika Serikat kan enggak hanya fair trade, tapi resiprokal antara kedua belah pihak," jelasnya.