Marak Barang Impor di E-commerce, Ekonom Usul Erick Thohir Perintahkan BUMN Jadi <i>Aggregator</i>
Ilustrasi. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Pembatasan aktivitas masyarakat menyebabkan kebiasaan belanja pun berubah menjadi pemesanan lewat aplikasi atau e-commerce. Namun beberapa waktu lalu mantan Presiden RI Megawati menyebut bahwa mayoritas barang-barang di platform digital e-commerce adalah impor. Ekonom pun menyarankan Menteri BUMN Erick Thohir membentuk aggregator untuk membantu UMKM bersaing di platform digital.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa porsi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) masih sangat kecil sekitar 16 persen yang masuk ke platform digital. Artinya, produk yang ditawarkan pun masih sangat sedikit.

Karena itu, kata Bhima, perlu ada dukungan dari platform digital dan juga pemerintah berupa regulasi. Seperti misalnya membatasi maksimum 30 persen barang impor yang ada di e-commerce seperti yang berlaku di ritel modern.

"Saya usul selain adanya pembatasan barang impor, sebaiknya juga dari BUMN bertindak sebagai aggregator. Jadi fungsi dari aggregator ini mengumpulkan barang-barang dari UMKM yang tersebar dari berbagai daerah dalam satu tempat. Kemudian BUMN tadi bekerja sama dengan platform e-commerce sehingga ada quality control," katanya saat dihubungi VOI, Rabu, 30 Juni.

Kehadiran aggregator ini, lanjut Bhima, akan menghadirkan kepastian logistik. Apalagi, selama ini masalah kendala UMKM untuk masuk ke dalam pasar digital atau e-commerce itu adalah sulitnya akses untuk internet.

"Kemudian melakukkan standarisasi produk. Jadi produk pengiriman pertama bagus, pengiriman ketiga mulai turun kualitasnya. Nah itu perlu ada quality control yang bisa berperan seperti itu aggregator. Jadi aggregator ini ada di BUMN yaitu menghubungkan UMKM dengan platform e-commerce," ujarnya.

Menurut Bhima, hal ini mungkin bisa menjadi salah satu terobosan yang dilakukan oleh pemerintah dalam membatu semakin banyak UMKM masuk ke dalam pasar digital.

"Dari situ nanti bisa ada subsidi-subsidi khusus kepada pengusaha UMKM. Sehingga porsi produknya lebih banyak lagi di e-commerce," jelasnya.

Menurut Bhima, Indonesia memiliki potensi yang luar biasa di sektor pasar digital ini. Karena itu, ia menilai sangat disayangkan jika UMKM hanya menjadi penonton di negaranya sendiri.

"Di masa pandemi pertumbuhan e-commerce itu sangat cepat. Indonesia itu porsi belanja e-commerce terhadap PDB-nya itu 5,3 persen. Itu salah satu yang tertinggi porsi belanja e-commerce terhadap PDB. Tapi kita kan kalau hanya sebagai konsumen tentu rugi. Harusnya kita juga menguasai dari sisi produksi barang yang dijual itu," ucapnya.