JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Byarwati mengkritisi kondisi utang pemerintah yang disebutnya telah mencapai Rp 6.527 triliun per April 2021 atau setara 41,18 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Menurut dia, kondisi tersebut tidak sepenuhnya aman. Pasalnya, debt to GDP ratio melonjak, dari 30 persen menjadi 41 persen, atau meningkat lebih dari 10 persen dalam kurun waktu 1 tahun terakhir. Bahkan, Anis mencatat situasi yang terjadi saat ini diperparah dengan defisit primary balance selama beberapa tahun terakhir.
“Tax ratio Indonesia selama lima tahun terakhir yang jauh dari optimal, malahan di bawah 10 persen menjadi penyebab lebarnya jurang defisit anggaran, hingga memperparah kondisi utang pemerintah,” ujarnya dalam keterangan pers seperti yang dikutip VOI pada Kamis, 3 Juni.
Anis menambahkan, bahwa ketika utang negara semakin banyak maka APBN harus menanggung beban bunga pinjaman yang tidak sedikit. Berdasarkan data yang dimilikinya, setiap tahun lebih dari Rp250 triliun anggaran APBN harus dialokasikan hanya untuk membayar bunga utang.
“Angka tersebut bahkan jauh di atas angka subsidi energi ataupun bantuan sosial,” tuturnya.
Anis yang juga menjabat sebagai wakil ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini menilai, problematika utang negara ini dimulai dari perencanaan anggaran dan kebijakan fiskal yang dianggap kurang tepat sejak 2014.
Sebagai contoh dia menjelaskan bahwa target pertumbuhan yang tidak realistis pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 menyebabkan target pajak yang tinggi, sehingga berdampak pada shortfall perpajakan.
“Ini awal dari tidak terkendalinya utang pemerintah,” katanya.
BACA JUGA:
Adapun solusi yang ditawarkan Anis kepada pemerintah adalah berupaya menekan pembiayaan belanja negara.
“Supaya utang tidak naik terus tentu harus ada upaya untuk menguranginya,” imbuhnya.
Anis berharap, pemerintah melakukan perbaikan dari perencanaan dan kebijakan fiskal dengan menjaga kebijakan fiskal serta defisit APBN.
“Dan keberhasilannya tidak terlepas dari pengelolaan utang secara profesional dan selalu dilakukan secara prudent,” tutup dia.