Bagikan:

JAKARTA - Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai isu mengenai bergabungnya Indonesia dengan BRICS atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) telah beredar cukup lama, sehingga Indonesia perlu segera memutuskan langkah ke depan.

"Menghabiskan waktu terlalu lama untuk memilih dan memilah akan menghasilkan skenario terburuk bagi Indonesia, yaitu bukan angota keduanya; kalaupun bergabung nantinya akan sangat terlambat dan tidak ikut terlibat dalam diskursus penting penyusunan garis kebijakan keduanya," ujarnya dalam keterangannya, Minggu, 27 Oktober.

Untuk diketahui, anggota BRICS terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Ethiopia, Iran, Mesir, dan Uni Emirat Arab (UEA). Sementara, Anggota OECD saat ini berjumlah 38 negara, di antaranya, Australia, Austria, Belgia, Kanada, Cile, Kolombia, Kosta Rika, Republik Ceko, dan Denmark, Estonia.

Wijayanto menjelaskan jika Indonesia menjadi anggota BRICS tidak harus diartikan menjaga jarak dengan Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS). Contohnya India, Uni Emirat Arab (UEA), Brasil dan Arab Saudi adalah anggota BRICS yang juga memiliki hubungan dekat dengan AS. Demikian pula, menjadi anggota OECD tidak berarti harus menjaga jarak dengan negara-negara BRICS terutama China dan Rusia.

"OECD dan BRICS bukanlah blok yang rigid, masing-masing anggota tetap bebas melakukan Kerjasama. Dalam konteks ini, pertimbangan kita mestinya lebih pragmatis bukan politis, mana yang lebih memberikan keuntungan bagi Indonesia itulah yang akan dipilih," tuturnya.

Menurut Wijayanto OECD jelas ingin mempertahankan status quo dimana beberapa negara Barat mendominasi ekonomi dunia termasuk terkait dengan sistim perdagangan dunia dan sistim moneter, dimana dolar AS menjadi reserve currency dunia. Selain itu, World Trade Organization (WTO) yang menjadi wadah.

Sementara BRICS ingin melakukan terobosan dari yang paling ekstrem yaitu Dedolarisasi dengan membentuk mata uang alternatif pengganti Dolar AS seperti dipelopori oleh Rusia dan China.

"Rusia semakin semangat mewujudkannya setelah negara Barat membekukan aset-aset Rusia di luar negeri pasca conflict Ukraina; banyak negara pun bertanya-tanya, jika ini bisa terjadi pada Rusia, pasti bisa juga terjadi pada mereka," ujarnya.

Selain itu, BRICS juga menginginkan agenda yang lebih moderat, seperti kerjasama dagang dan pembentukan sistim pembayaran alternatif menggunakan mata uang lintas negara BRICS, yang ide ini dimotori salah satunya oleh India.

Menurut Wijayanto jika akhirnya memutuskan bergabung dengan BRICS, idealnya Indonesia menjadi bagian yang moderat, mendorong Kerjasama dagang serta mewujudkan sistim pembayaran baru yang tidak terlalu tergantung pada dolar AS.

Wijayanto menjelaskan sistim moneter saat ini, dimana dolar AS mewakili lebih dari 90 persen reserve dan mata uang perdagangan dunia, cenderung tidak sehat, apalagi Amerika Serikat cenderung meng-abuse posisi tersebut dengan menerbitkan utang berlebih yang kemudian dibiayai oleh bank note yang mereka terbitkan.

"Idealnya US Dolar akan tetap menjadi mata uang penting, tetapi dunia perlu alternatif, agar otoritas moneter dan Pemerintah Amerika Serikat lebih berhati-hati mengelola ekonominya," tuturnya.

Sementara terkait keanggotaan OECD, Wijayanto menyampaikan hal tersebut juga pilihan yang bagus, Namun unsur status quonya masih sangat kental, misalnya untuk menjadi anggota calon anggota harus memenuhi kriteria yang disusun dengan values dan parameter yang sangat Barat minded.

Sehingga terdapat kesan ada pihak yang superior dan inferior. Dan dalam era dunia yang makin multipolar, hal seperti ini harus perlahan dihilangkan.

Wijayanto menyampaikan untuk menjadi anggota, Indonesia harus berjuang keras untuk dapat memenuhi kriteria tersebut, yang tidak seluruhnya relevan. Sebagai contoh sudah hampir 10 tahun kita membahas EU-CEPA dengan EU, tetapi belum ada progress yang berarti hingga saat ini; selalu muncul isu yang terkesan dicari-cari.

Sementara diskusi EU dengan negara lain seperti India, Thailand dan Vietnam terkesan lancar-lancar saja prosesnya.

"Dengan USA, kita saat ini hanya mempunyai Preferential Trade Agreement (PTA) yang sangat terbatas, padahal kita perlu FTA yang komprehensif, sehingga produk kita bisa masuk ke pasar Amerika Serikat, sama dengan posisi negara tetangga seperti Filipina, Thailand, dan Vietnam," ucapnya.

Wijayanto menyampaikan skenario terbaik adalah bergabung dengan keduanya seperti yang coba dilakukan Thailand dan Turki (Turki adalah anggota OECD tetapi mendaftar menjadi anggota BRICS), karena memang tidak ada ketentuan formal yang tidak memungkinan hal ini terjadi.

Sementara skenario kedua yaitu, Pemerintah harus memilih salah satu dan prioritaskan kelompok yang lebih menghargai posisi Indonesia, indikatornya sederhana yaitu yang paling mungkin dieksekusi dengan cepat.

"Jika memilih OECD, tentunya kita perlu afirmasi bahwa berbagai perjanjian dagang yang masih menggantung, akan segera dituntaskan. The worst scenario adalah kita dalam posisi digantung; tidak menjadi bagian dari keduanya adalah, akibat kita ragu menentukan sikap. Kita sudah terlalu lama dalam posisi ini dan harus segera diakhiri," ujarnya.