Bagikan:

JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan sejumlah jurus yang akan dilakukan pemerintah untuk mengatasi lifting minyak dalam negeri yang terus menurun setiap tahun.

Bahlil mengatakan, sebelumnya RI pernah menjadi negara anggota OPEC dengan lifting minyak 1,6 juta barel per hari dan konsumsi sebesar 700.000 barel per hari.

Namun kini, RI hanya mencatat lifting sebesar 600.00 barel dengan dan konsumsi sebesar 1,6 juta barel, sehingga menyebabkan RI harus mengimpor 900.000 hingga 1 juta barel.

Apalagi konsumsi elpiji RI tercatat kurang lebih sebesar 7 juta ton dan industri dalam negeri hanya menghasilkan 1,9 ton dan sisanya diimpor dari luar negeri.

"Ini tantangan besar menurut saya yang Indonesia harus lakukan ke depan. Ke depan salah satunya adalah kemandirian energi. Tidak ada cara lain, adalah bagaimana meningkatkan lifting mingas dengan memakai tiga pendekatan," ujar Bahlil kepada wartawan, Rabu, 11 September.

Bahlil menjelaskan, langkah pertama yang akan dilakukan adalah dengan melakukan eksplorasi terhadap potensi sumur minyak baru.

Selanjutnya dengan optimalisasi sumur minyak yang ada.

"Karena 65 persen total lifting dikuasai Pertamina dan 20 persen oleh Exxon," sbung dia.

Untuk itu, kata dia, diperlukanadanya intervensi dari teknologi untuk meningkatkan lifting lewat teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR).

Langkah ketiga, Bahlil menyebut pihaknya tengah melakukan identifikasi untuk mengoptimalkan sumur idle atau sumur nganggur yang masih produktif.

Dengan tingginya angka impor yang masih dilakukan RI, Bahlil mengaku perlu peningkatan penggunaan energi baru Terbarukan (EBT), salah satunya mulai menggunakan bioenergi seperti B35 yang saat ini mulai beralih ke B40.

"Ke depan kita akan mendorong B50. Ini salah satu program Pak Prabowo," sambung dia.

Tak hanya itu, terkait konsumsi elpiji dan tingginya angka impor, ia menyebut ke depan akan dibangun industri elpiji dalam negeri dengan memanfaatkan potensi C3 dan C4.

"Ini kita harus bangun supaya mengurangi impor karena impor terlalu banyak akan berdmpak pada neraca perdagangan, neraca pembayaran, devisa kita bahkan devisa kita setiap tahun keluar kurang lebih Rp450 triliun untuk membeli minyak dan gas khususnya elpiji," pungkas dia.