Bagikan:

JAKARTA - Asosiasi Biofarmasi dan Bahan Baku Obat (AB3O) menjelaskan, sejumlah tantangan dalam membangun kemandirian industri bahan baku obat (BBO) dalam negeri. Antara lain berkaitan dengan daya saing produk impor dan skala ekonomi yang masih terbatas.

Ketua Umum Asosiasi Biofarmasi dan Bahan Baku Obat (AB3O) FX Sudirman mengatakan, BBO merupakan industri yang baru berkembang dan belum memiliki kemampuan untuk bersaing dengan industri yang lebih matang, terutama pemain global.

"Tantangan terbesarnya competitiveness. Karena di Indonesia baru, economic scale-nya terbatas. Kalau yang bahan baku obat, ya, mungkin akan lebih mahal," ujar Sudirman ketika ditemui dalam agenda Seminar Nasional bertajuk 'Ketahanan dan Kesinambungan Percepatan Kemandirian Bahan Baku Obat dan Vaksin di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Selasa, 10 September.

Hal ini senada dengan laporan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang menyebut bahwa harga BBO produksi dalam negeri lebih tinggi dari impor. Alhasil, harga produk menjadi lebih mahal, terutama produk yang mengandung komponen bahan baku lebih dari 50 persen.

Berdasarkan catatan AB3O, dari total 1.105 BBO, industri nasional baru mampu memproduksi 62 bahan baku obat. Untuk dapat meningkatkan kemampuan produsen, pemerintah perlu turun tangan dari sisi pengembangan hingga perluasan skala ekonomi.

Menurut Sudirman, langkah yang dapat didorong yakni mengoptimalkan pemanfaatan bahan baku lokal untuk industri obat nasional. Dia mencontohkan kondisi India dan China dengan potensi domestik yang besar, sehingga mendorong produksi dalam skala besar sekaligus ekspansi ke pasar global.

"Mungkin perlu dukungan pemerintah supaya industri obat atau industri farmasi yang ada di dalam negeri itu mau pakai. Supaya mereka hidup," katanya.

Salah satu contohnya seperti Pemerintah India yang memberikan subsidi, sehingga harga jual obat lebih terjangkau. Dalam jangka pendek, pengembangan industri BBO cukup mahal, namun hal ini diperlukan untuk jangka panjang demi kemandirian farmasi nasional.

Di sisi lain, Sudirman mengapresiasi pemerintah yang sudah memberikan beberapa insentif seperti program dari Kemenkes, yaitu change source atau penggantian bahan baku impor yang dibayar pemerintah.

Tak hanya itu, stimulus lain yang diberikan pemerintah yaitu fasilitas uji klinik. Sementara dari sisi fiskal diberikan tax holiday, tax deduction dan lainnya.

"Kemudian banyak insentif lain. Tapi, mungkin karena syaratnya banyak, (jadi) masih ribet. Mungkin nggak banyak yang bisa manfaatkan," tuturnya.

Sementara itu, Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Emmy Suryandari mengatakan, angka ketergantungan impor untuk bahan baku obat (BBO) nasional mencapai 90 persen hingga saat ini.

Emmy bilang, angka ketergantungan impor ini sejalan dengan bertambahnya produsen BBO nasional di Tanah Air.

"Terkait profil industri BBO secara nasional saat ini, alhamdulillah sudah ada 20 industri. Saya mengatakan alhamdulillah karena memang tantangannya cukup besar ditengah saat ini angka impor kami terhadap BBO sendiri itu masih sekitar 90 persen dari luar," jelasnya.

Dia berharap, jumlah produsen BBO nasional bisa terus bertambah. Dengan demikian, angka impor bisa ditekan ke depannya.

"Kami berharap 20 (produsen BBO) ini bisa bertambah dari sisi jumlahnya dan juga bertambah dari sisi BBO yang bisa diproduksi dan saya rasa dengan semangat kami semuanya kali ini, sangat possible terjadi industri farmasi di Indonesia bisa tumbuh menjadi raja di negara sendiri," ucapnya.