JAKARTA – Inflasi pada Agustus 2024 tercatat 2,12 persen secara tahunan atau year on year (yoy), bergerak stabil didorong oleh penurunan sebagian besar harga pangan.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu menyampaikan terkendalinya harga pangan diharapkan menjadi sinyal positif bahwa harga pangan semakin terjangkau bagi masyarakat.
Meskipun demikian, Febrio menyampaikan Pemerintah tetap mewaspadai potensi risiko musim kemarau yang dapat berdampak pada produksi beras dan hortikultura.
"Koordinasi TPIP-TPID terus dilanjutkan untuk menjaga stabilitas harga serta mengantisipasi potensi kebencanaan dan cuaca ekstrem. Selain itu, komunikasi efektif terus dilakukan untuk mendukung terjaganya ekspektasi inflasi,” ujarnya dalam keteranganya, Selasa, 3 September.
Adapun berdasarkan komponen, inflasi inti mengalami kenaikan menjadi sebesar 2,02 persen (yoy). Peningkatan ini didukung kenaikan inflasi pada kelompok pakaian dan alas kaki, perumahan, rekreasi, dan perawatan pribadi (termasuk emas).
Selain itu, inflasi harga diatur pemerintah (administered price) tercatat mengalami kenaikan, yaitu menjadi sebesar 1,68 persen (yoy) didorong oleh kenaikan harga BBM nonsubsidi dan rokok.
Sementara itu, inflasi harga bergejolak (volatile food) melanjutkan tren penurunan, tercatat 3,04 persen (yoy). Penurunan harga pangan terutama didorong oleh pasokan yang melimpah seiring dengan masa panen serta turunnya biaya produksi seperti pakan jagung.
Febrio menyampaikan beberapa komoditas yang tercatat mengalami penurunan harga, di antaranya bawang merah, daging ayam ras, tomat, dan telur ayam ras.
Sementara itu, Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Agustus 2024 tercatat pada level 48,9. Febrio mengatakan hal ini tidak terlepas dari menurunnya kinerja sektor manufaktur global di tengah tekanan permintaan.
Menurut Febrio pelemahan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, Kawasan Eropa, dan Amerika harus semakin diantisipasi ke depannya.
Selanjutnya, aktivitas manufaktur negara mitra dagang dan kawasan ASEAN juga mengalami tantangan yang sama, antara lain Amerika Serikat (48,0) dan Jepang (49,8).
"Negara tetangga seperti Malaysia dan Australia juga kembali mencatatkan PMI manufaktur yang terkontraksi masing-masing pada level 49,7 dan 48,5," jelasnya.
Di tengah perlambatan PMI Indonesia, Febrio menyampaikan optimisme masih terjaga dengan kinerja sejumlah leading industry di tanah air tercermin dari industri makanan dan minuman serta kimia farmasi hingga kuartal II-2024 konsisten tumbuh di atas 5 persen (yoy).
Bahkan menurut Febrio industri logam dasar tumbuh hingga 18,1 persen seiring proses hilirisasi yang semakin menunjukkan hasil. Kendati demikian, perhatian terus diberikan untuk lagging industry yang menghadapi tantangan berat.
“Industri padat karya seperti Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dan Alas Kaki saat ini tengah menghadapi tantangan berat. Tidak hanya dari sisi kinerja ekspor, namun juga daya saing di pasar domestik yang tergerus produk impor. Pemerintah terus berupaya mendorong daya saing industri seperti ini dengan berbagai bauran kebijakan.” ujar Febrio.
BACA JUGA:
Sebagai langkah menjaga daya saing produk TPT, Febrio menyampaikan Pemerintah telah menerapkan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP), di antaranya untuk Pakaian dan Asesori Pakaian sampai dengan November 2024, Tirai, Kelambu Tempat Tidur, serta Benang dari Serat Staple Sintetik dan Artifisial hingga Mei 2026.
Selanjutnya, Kain dan Karpet sampai Agustus 2027; serta penerapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk produk Poliester Staple Fiber (benang) dari India, Tiongkok, dan Taiwan hingga Desember 2027.
"Kebijakan ini dimaksudkan untuk melindungi dan meningkatkan daya saing industri TPT dalam negeri yang memiliki serapan tenaga kerja besar," pungkasnya.