Ombudsman: Tanpa Impor Beras pun Kehidupan Petani Memang Masih Jauh dari Sejahtera, Penghasilan Cuma Rp150 Ribu per Bulan
Ilustrasi. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Polemik impor 1 juta ton beras yang akan dilakukan pada tahun ini menuai berbagai kritik. Bahkan, ada juga yang menilai impor ini akan membuat petani di dalam negeri akan semakin miskin. Ombudsman Republik Indonesia menyebut tanpa ada impor pun, kehidupan petani memang jauh dari kata sejahtera.

Anggota Ombudsman Yela Hendra Fatika mengatakan merujuk data sensus petani yang dilakukan badan pusat statistik (BPS) 2013 rata-rata pengusaha lahan per rumah tangga tani di dalam negeri hanya sekitar 0,66 hektare. Sensus ini dilakukan 10 tahun sekali.

Lebih lanjut, kata dia, jika dibandingkan lahan petani padi di dalam negeri dengan lapangan sepak bola, masih lebih luas lapangan sepak bola. Kepemilikan lahan ini menjadi indikator dalam melihat kesejahteraan petani pada di dalam negeri.

Merujuk data survei struktur ongkos tanaman pangan yang dirilis BPS 2017, pendapatan yang diterima petani padi sawah per hektare tanam itu adalah sebanyak Rp4,95 juta setiap musim tanam atau sekitar Rp1,25 juta per bulan. Perhitungan ini dengan asumsi setahun terdapat 3 musim tanam.

"Dan data tadi mengatakan bahwa rata-rata petani padi kita memiliki 0,66 hektare. Jadi artinya apa? Bahwa sebetulnya pendapatan petani per bulan itu tidak lebih dari Rp800 ribu. Jadi ini sangat miris lagi," katanya dalam konferensi pers secara virtual, Rabu, 24 Maret.

Pendapatan petani per bulan hanya Rp150 ribu

Namun, kata Yeka, jika dibedah lebih dalam, ditemukan sebanyak 60 persen petani padi hanya memiliki 1.000 meter persegi lahan tanam. Dengan hitungan tersebut, secara rata-rata, 60 persen petani memiliki pendapatan kurang dari Rp150 ribu per bulan.

"Kan tadi kalau 0,66 hektare luas rata-rata keseluruhan. Kalau kita bedah lagi, ternyata 13,16 juta petani kita ini hanya menguasai lahan 1.000 meter persegi. Artinya apa? Rp150 ribu per bulan," tuturnya.

Merujuk pada data-data di atas, kata Yeka, dapat disimpulkan kalau produksi padi Indonesia didominasi oleh petani cilik yang memiliki lahan sempit. 

"Lahannya sempit, lahannya terbatas itu pasti demotivasi. Susah bagi kita mengajarkan ke mereka tentang efisiensi karena lahannya sempit buat apa juga," ucapnya.

Harga gabah dilakukan dua kali lipat tak bikin petani sejahtera

Yeka mengatakan bila harga gabah dinaikkan dua kali lipat pun, mayoritas petani di dalam negeri masih belum bisa dikatakan sejahtera kehidupannya. Karena pendapatan mereka hanya naik Rp150 ribu per bulan.

Lebih lanjut, Yeka memberikan perumpamaan jika UMR di dalam negeri setiap tahun terus meningkat, petani padi pendapatannya hanya segitu-gitu aja. Salah satunya karena kepemilikan lahan yang sempit.

"Jadi apa yang bisa saya sampaikan? Karena ada yang mengatakan petani padi kita miskin, tidak sejahtera gara-gara polemik impor beras. Saya mau menyampaikan, harga gabah dinaikkan dua kali lipat pun, 60 persen petani kita itu hanya naik pendapatannya dari Rp150 ribu menjadi Rp300 ribu per bulan," tuturnya.

Meningkatkan kesejahteraan petani harus dari sisi peningkatan skala usaha

Kata Yeka, untuk meningkatkan kesejahteraan petani, bukan dengan hanya sekadar meningkatkan harga gabah tapi juga meningkatkan area tanam petani padi.

Lebih lanjut, Yeka mengatakan, produksi padi di dalam negeri diproduksi oleh petani dengan rata-rata usia di atas 50 tahun dan 63 persen rata-rata pendidikannya tidak tamat SMP.

"Instrumen yang tepat dalam peningkatan kesejahteraan petani bukan peningkatan harga melainkan peningkatan skala usaha atau luas lahan. Jadi mohon maaf kepada para tokoh yang meributkan masalah turunnya harga beras (karena isu impor). Harga beras bagus pun keadaan petani kita seperti itu masih jauh dari kata sejahtera," tuturnya.