Bagikan:

JAKARTA - Pengamat tata kota Yayat Supriatna menilai, ketidakadaan otoritas tunggal yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengelola seluruh sistem transportasi secara terpadu lintas wilayah administrasi masih menjadi salah satu tantangan utama dalam integrasi transportasi Jabodetabek.

Dia mengatakan, saat ini belum ada badan yang memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dan mengintegrasikan seluruh moda transportasi di Jabodetabek.

Meskipun Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), yang berada di bawah naungan Kementerian Perhubungan, telah memiliki beberapa program dan inisiatif, seperti JR Connexion Jabodetabek dan subsidi buy the service (BTS), kewenangan mereka masih terbatas.

Di sisi lain, Kemenhub juga memiliki peran dalam mengatur transportasi, yakni mengatur besaran subsidi yang diberikan kepada angkutan massal termasuk KRL Jabodetabek.

Yayat menilai, integrasi tarif kombinasi KRL, MRT, LRT dan TransJakarta membutuhkan koordinasi teknis dengan Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Jakarta.

“Jika sepenuhnya subsidi layanan diberikan ke Pemprov DKJ maka otomatis kelembagaan Jabodetabek sepenuhnya menjadi kewenangan DK Jakarta,” katanya.

Yayat juga mempertanyakan apakah Dewan Aglomerasi, yang diusulkan dalam Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ), nantinya memiliki wewenang untuk mengatasi masalah integrasi transportasi di Jabodetabek.

“Dibutuhkan penjelasan terkait tugas dan tanggung jawab Dewan Aglomerasi di bidang transportasi,” kata Yayat.

Ada beberapa operator utama integrasi layanan Jabodetabek saat ini, yakni PT KCI, PT Trans Jakarta, LRT Jabodebek dan JR Connexion.

Yayat mengatakan tarif kombinasi antar layanan antara KRL, MRT, LRT Jabodetabek, LRT Jakarta, Trans Jakarta, JR Connexion​​​​​​​, serta perhitungan tarif untuk jarak antar kota dan waktu tempuh perjalanan menjadi salah satu hal yang harus dipertimbangkan guna mewujudkan integrasi pembayaran transportasi Jakarta.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo.

Ia mengatakan ketidakadaan otoritas transportasi yang memiliki kewenangan lintas wilayah administrasi antar pemerintah daerah menjadi salah satu tantangan dalam mewujudkan integrasi tarif dan sistem transportasi di Jabodetabek.

"Sepanjang tidak ada lembaga yang punya otoritas yang memiliki kewenangan lintas wilayah administrasi antar pemda, menurut saya, integrasi tarif tidak mudah diimplementasikan," ujar Sudaryatmo.

Pembentukan otoritas ini juga, menurut dia, membutuhkan produk hukum yang jelas dan dukungan dari pemerintah daerah.

"Otoritas sendiri kan butuh produk hukum. Apakah pemerintah rela sebagian kewenangannya diambil oleh otoritas tersebut?" tanya dia.

Selain kelembagaan, ketidakseragaman rute dan trayek angkutan umum serta model bisnis operator angkutan umum juga disebut menjadi tantangan dalam integrasi transportasi Jabodetabek.

"Perlu ada rute atau trayek angkutan umum yang berbasis kepada kebutuhan masyarakat," ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya melibatkan perusahaan swasta dalam integrasi transportasi.

"Saya harap kalau nanti integrasi terbentuk itu tidak hanya BUMD, tetapi juga perusahaan swasta itu bisa sejalan dengan sistem yang ada sehingga jangkauannya bisa lebih luas," tuturnya.