Bagikan:

JAKARTA – Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang mengatakan adalah sebuah hal ironis jika Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) menjadi pemegang saham mayoritas atas korporasi yang berlabel Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Pernyataannya tersebut dia lontarkan menyusul rencana pengambilalihan saham PT KCI dari PT KAI sebesar 51 persen oleh PT MRT Jakarta (MRTJ) yang merupakan BUMD milik Pemprov DKI Jakarta.

“Secara bisnis boleh saja KCI dan MRTJ disatukan secara korporasi, namun ironisnya adalah BUMD dapat porsi lebih besar sahamnya daripada BUMN,” ujarnya kepada VOI melalui keterangan tertulis, Jumat, 8 Januari.

Menurut Deddy, idealnya BUMN harus mendapat saham mayoritas ketimbang saham BUMD karena bisnis milik negara lebih strategis dalam pengembangan nasional.

“Sangatlah paradoks apabila KAI ingin mengembangkan bisnisnya dengan PT MRTJ akan operasikan KRL di lintas Solo-Yogyakarta atau kota lain nantinya harus disetujui oleh MRT dulu, selaku pemilik saham terbesar,” tutur dia.

Deddy menambahkan, amanah Presiden untuk integrasikan antar moda tersebut termasuk moda darat dan kereta api (KRL/MRT/LRT) adalah tepat sebagai indikator keberhasilan shifting ke public transport. Meski demikian, terlalu banyak eksekusi teknis yang mengabaikan fungsi regulasi lainnya.

“Sebenarnya untuk integrasi aglomerasi wilayah Jabodetabek kita sudah punya BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek),” ucap dia.

BPTJ menurutnya dibentuk berlandaskan hukum Peraturan Presiden Nomor 103 Tahun 2015 yang telah ditetapkan pada 18 September 2015. Untuk itu perlu dioptimalkan fungsi dari otoritas transportasi di wilayah ini.

“Mengapa tupoksi BPTJ ini tidak dioptimalkan? Jadi ada fungsi regulatornya di samping PT MITJ yang berfungsi sebagai operator. Kalau hanya MITJ saja, nantinya berpotensi buat aturan sendiri dan dilaksanakan sendiri,” tegas Deddy.

Untuk diketahui, BPTJ telah mempunyai master plan penataan transportasi terintegrasi di Jabodetabek, dengan nama RITJ ( Rencana Induk Transportasi Jabodetabek ).

RITJ ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi Tahun 2018-2029.

Meskipun demikian, bos Instran ini menilai RITJ kurang dijadikan landasan kreasi dalam pengembangan konsep konektivitas antar moda. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap para pemangku kebijakan lebih suka menunjuk operator langsung untuk integrasi antar moda ataupun antar wilayah.

“Dari dulu problem integrasi angkutan umum tersebut selalu terkendala akibat ego sektoral dan masih lemahnya regulasi yang mengatur. Bila masalah ini terlalu lama eksekusinya, konsumen yang akan dirugikan dan target mode share 60 persen publik transport semakin sulit tercapai pada 2029,” sebut dia.