Bagikan:

JAKARTA - PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) melihat kondisi perekonomian global masih terjaga di tengah koreksi pasar saham ataupun surat utang.

Portfolio Manager Fixed Income MAMI Laras Febriany menyampaikan, pemicu utama pelemahan pasar obligasi di bulan April adalah data inflasi Amerika Serikat (AS) yang lebih tinggi dari ekspektasi. Dimana, inflasi umum AS cenderung meningkat di periode Januari hingga Maret 2024.

Imbasnya, The Fed mengindikasikan masih butuh waktu lebih lama untuk lebih yakin lagi bahwa inflasi domestiknya sudah benar-benar dalam tren penurunan, sebelum melakukan pemangkasan.

“Kondisi ini meningkatkan volatilitas di pasar saham, obligasi, dan mata uang secara global, Asia, hingga Indonesia, yang kemudian mendorong pasar untuk menyesuaikan kembali ekspektasinya terkait suku bunga,” ungkap Laras dalam keterangannya, Minggu 26 Mei.

Namun kabar baik terakhir, Ketua The Fed mengemukakan bahwa walaupun suku bunga belum akan turun secepat ekspektasi pasar sebelumnya, potensi kenaikan lebih lanjut pun sangat kecil. Sehingga, langkah berikutnya ke depan adalah pemotongan suku bunga.

Laras menyampaikan, kemungkinan pemotongan suku bunga itu dapat dipahami karena sebenarnya mayoritas komponen inflasi AS telah mereda, kecuali komponen shelter dan transportasi yang memang masih cukup tinggi.

Di tengah ekspektasi suku bunga acuan yang dinamis, tercermin dari International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan ekonomi global tahun ini tumbuh 3,2 persen.

Laras menyampaikan penopang utama pertumbuhan ekonomi global adalah kawasan negara berkembang yang diproyeksikan tumbuh 4,2 persen, disusul oleh kawasan negara maju yang tumbuh 1,7 persen.

"Menariknya, semua angka-angka ini lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya yang dirilis bulan Januari lalu, sehingga kekhawatiran resesi sepertinya sudah tidak menjadi skenario di pasar," jelasnya.

Menurut Laras, optimisme pertumbuhan ini didukung oleh tingkat permintaan yang kuat, tabungan era pandemi yang masih lebih dari cukup, dan juga dampak positif stimulus pemerintah.

Laras menyampaikan ekonomi yang resilien juga terjadi bersamaan dengan tren disinflasi, didukung oleh pemulihan rantai pasok global, ketersediaan tenaga kerja, dan turunnya harga energi.

“Tapi memang benar, walaupun inflasi global sudah menjinak, bank sentral dunia belum dapat menurunkan suku bunga, karena cenderung menunggu langkah The Fed. Masalahnya, The Fed memberi sinyal masih butuh waktu untuk lebih yakin lagi bahwa inflasi domestiknya sudah benar-benar dalam tren penurunan, sebelum melakukan pemangkasan,” imbuhnya.

Laras mengatakan, kuartal kedua 2024 memang akan diawali perubahan-perubahan ekspektasi, yang kemudian diikuti dengan volatilitas tinggi dan sentimen pasar yang kurang kondusif. Namun dengan berjalannya waktu, pasar pun melakukan penyesuaian, volatilitas terlihat mereda, dan sentimen mulai pulih.

Laras menyampaikan secara keseluruhan perekonomian global tahun ini diperkirakan masih bertumbuh, dan inflasi global pun dalam tren menurun. Di Indonesia sendiri, fundamental ekonomi masih terjaga kuat, dan katalis-katalis penopang dan potensi pasar finansial pun masih sangat cukup.

“Mari kita fokus pada peluang jangka menengah panjang, dan jadikan volatilitas jangka pendek sebagai peluang yang belum tentu datang kembali, terutama dengan pandangan pemangkasan suku bunga yang masih dapat terjadi,” tutur Laras.

Laras optimistis terhadap pasar surat utang seiring potensi pemangkasan suku bunga ke depan. Namun memang perlu dicermati dalam jangka pendek volatilitas masih dapat terjadi karena faktor ketidakpastian suku bunga The Fed.

“Oleh karena itu, kami selalu mengelola portofolio secara aktif, bergerak dinamis antara defensif dan agresif untuk membentuk portofolio yang optimal,” tandasnya.